CAHAYA HITAM

Keita Puspa
Chapter #9

RAHASIA LAMA

Malam itu, balairung Terang tampak sunyi. Lampu-lampu kristal memancarkan cahaya lembut, hanya menyisakan bayangan tipis di sepanjang dinding marmer putih. Verna menahan napas ketika melangkah keluar dari kamarnya. Ia memastikan tak ada penjaga yang berjaga di lorong, lalu menyusup diam-diam ke arah balairung.

Sepasang pintu besar yang menjulang tinggi terbuka sedikit. Dari celahnya, aroma debu buku kuno menyeruak. Verna mendorong pelan, engselnya berderit lirih, nyaris membuat jantungnya meloncat. Inilah perpustakaan rahasia yang jarang sekali dikunjungi selain para tetua.

Deretan rak-rak kayu menjulang hingga atap kubah. Cahaya bulatan kristal di tengah langit-langit memantul ke punggung buku-buku, menciptakan kilauan seolah bintang terperangkap di dalam ruangan. Verna menyusuri lorong rak dengan hati-hati.

Tangannya terhenti pada sebuah buku besar bersampul hitam kelam, kontras dengan rak-rak lainnya yang berwarna putih keperakan. Sampul itu berdebu, namun di tengahnya terukir simbol lingkaran yang berpendar. Dengan gemetar, ia menarik buku itu keluar. Berat, seolah menyimpan rahasia yang tak seharusnya diketahui.

Ia membuka halaman pertama, aroma tua bercampur dengan sinar halus menyemburat dari huruf-huruf yang terukir. Judulnya: Umbrya: Cahaya dan Gelap.

Mata Verna bergerak cepat membaca baris demi baris ramalan. Tertulis bahwa bulatan hitam bercahaya di langit Umbrya diciptakan sebagai penyeimbang antara Terang dan Gelap. Namun, seiring waktu, kaum Terang telah menyalurkan cahaya mereka ke dalamnya, memelintir perannya. Bulatan hitam bercahaya yang seharusnya menjadi penjaga keseimbangan kini berubah menjadi penindas kegelapan.

Verna terhenti. Tangannya bergetar, bibirnya berbisik lirih, “Jadi… awalnya memang tidak seperti ini. Terang… mereka… memanipulasinya?”

Kilatan cahaya di halaman seolah menegaskan kebenaran itu. Verna menutup buku dengan terburu-buru, matanya penuh keresahan. Untuk pertama kalinya, jantungnya bergetar menggetahui kebenaran tentang Umbrya dan kaumnya.

Dengan perlahan, Verna menutup buku dan mengembalikannya ke rak seperti semula. Akan tetapi ketika ia hendak keluar, seseorang menghalangi pintu.

"A-ayah!" Verna mundur beberapa langkah. Cades, si pemimpin Terang sekaligus ayahnya telah berdiri memandangi Verna dengan sorot mata tajam dan rahang mengeras.

"Kau tahu terlalu banyak, Verna," ucap Cades. Ia menyentuh wajah putrinya kemudian mengangkatnya pelan, membuat tubuh Verna gemetar dan ingin menangis. "Seandainya kau laki-laki." Cades melepaskan wajah putrinya dengan kasar.

"K-kenapa Terang bisa berbuat culas?" tanya Verna. Tubuhnya masih bergetar tetapi kompas moral yang diajarkan padanya sedari kecil jelas membuatnya tidak terima dengan apa yang dilakukan para pendahulunya.

"Kau masih terlalu muda untuk bisa memahaminya. Pulanglah! Jangan sampai ada yang mengetahui apa yang tertulis di buku itu." Cades membuka pintu dan mempersilakan putrinya keluar.

Verna menatap ayahnya dengan penuh amarah campur takut. Pelan, ia melewati ayahnya dan keluar buru-buru untuk kembali ke kamar.

Diam-diam Verna telah menyalin semua yang tertulis di buku pada sebotol kecil memori cahaya yang ia bawa. Verna memasangkan botol itu sebagai bandul kalung dan memakainya. Di kamar, ia mengunci pintu dan jendela rapat-rapat. Melapisi dinding-dinding kamar dengan batasan cahaya agar ia tahu jika seseorang mendekat.

Hari itu, Verna membaca setiap kata dari buku kuno itu sampai selesai hingga tertidur kelelahan.

***

Lihat selengkapnya