Malam itu Helvin memejamkan mata, berusaha mengingat seperti apa kampung halamannya. Sebuah gunung tinggi yang selalu diliputi awan kelabu muncul di hadapannya. Sungai yang airnya berasal dari mata air gunung itu mengalir, dengan warna bening menampakkan dasarnya yang berupa abu dan arang hitam dengan beberapa garis cahaya merah menyala. Air di sungai itu tidak pernah terasa dingin di tenggorokan tetapi Kaum Gelap sangat menyukai air berbau arang itu.
Di dekat sungai itu, sebuah rumah yang terbuat dari tanah yang dibakar berdiri. Dinding-dindingnya telah hitam dipenuhi jelaga dari perapian yang sengaja dioleskan di dinding sebagai pengganti cat. Atapnya terbuat dari sejenis tanaman merambat yang dianyam dan dikeringkan sedemikian rupa.
Helvin melihat seorang pria tua yang tengah menikmati cerutu yang terbakar. Pria itu memiliki rambut abu keperakan dengan kulit yang hitam legam seperti biji buah sawo. Helvin mengenal betul sosok itu. Ia merindukan beberapa kata-kata yang pria itu sering ucapkan padanya, pada aroma cerutunya yang semerbak serta celotehannya ketika Helvin membuat kesalahan.
Pria tua itu tersenyum menatap Helvin. Ia terbungkuk-bungkuk berusaha berdiri kemudian berjalan menghampiri Helvin yang sedang tidak bergerak. Manik matanya yang hitam terlihat indah di antara kornea mata yang merah.
“Kembalilah, Nak!” seru pria tua itu dengan suara sedikit bergetar. Ia menarik tangan Helvin.
“Kembali.” Tarikan si pria tua semakin kencang.
Helvin bergeming. Entah kenapa ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya sedikitpun. Bahkan bibirnya pun hanya bergerak-gerak tanpa suara.
“Kembalilah jika kau memang Prajurit Gelap. Pelindung Gunung Hitam!”
Usai berkata seperti itu, Helvin merasakan tarikan si pria semakin kuat. Ia berusaha meronta tetapi pria tadi malah terbahak-bahak karena ternyata tangan Helvin telah terputus dari badannya. Helvin menjerit hebat.
“Ayah!!!”
Mata Helvin terbuka kemudian ia mendapati dirinya telah tidur di lantai tanpa alas apa pun. Badannya terasa sedikit pegal. Dia pasti jatuh dari atas kasur. Ia bangkit perlahan setelah mengetahui bahwa ini sudah pagi.
Dengan langkah pelan, Helvin berjalan menuju pintu kamar. Pintu itu sedikit berdecit ketika Helvin membukanya. Lelaki itu tidak terkejut mendapati Serj tengah berdiri di depan kamarnya.
Sebelum Serj sempat mengatakan apa pun, Helvin berkata, “Aku sudah tahu apa yang ingin kau katakan. Aku hanya sedang memikirkan alasan yang tepat untuk putriku.”
Mata Serj mendadak berbinar cerah. Sebuah senyum tercipta di bibirnya. Ia hampir saja melompat gembira jika saja ia tak melihat Auglis yang lewat menuju kamarnya.
“Akan aku pikirkan,” bisik Serj. Lelaki itu menuju kamarnya dengan bersiul-siul menyanyikan sebuah lagu yang ceria.
Helvin menatap kepergian Serj hingga lelaki—yang bagi Helvin masih bocah ingusan—itu menghilang di balik pintu yang terletak di samping kamarnya. Hanya saja, terpisah oleh kamar mandi.
Helvin pergi ke dapur. Ia mengambil sebuah cangkir kecil yang kemudian diisinya dengan bubuk kopi. Ia menyalakan kompor dan meletakkan teko yang sudah diisi air di atasnya. Diambilnya juga sebuah piring kecil beserta sendok kecil. Dibukanya kulkas dan dikeluarkanlah sebuah kue bolu yang dilapisi cokelat hitam.
Sepotong kue kini Helvin bawa ke meja. Tak lama berselang, teko bersuara nyaring dan lelaki bertatapan lembut itu segera menyeduh kopinya. Disesapnya aroma kopi panas itu berkali-kali. Kemudian satu sendok kue masuk ke mulutnya.
“Lumayan,” ucap Helvin pada dirinya sendiri. Kue itu adalah buatannya bedasarkan resep dari salah seorang kawannya di band. Buatannya masih sedikit kurang lembut dari yang sering dibuat kawannya itu.