Di hutan yang sangat lebat, dihuni oleh vegetasi pepohonan dengan batang yang besar dan berdaun lebat, sebuah pelangi monokrom tiba-tiba muncul. Hutan Lweng adalah sebuah hutan di Umbrya yang dasarnya tidak tersentuh oleh cahaya dari bulatan hitam bercahaya di langit. Hutan itu merupakan perbatasan daerah Gunung Hitam dan Dusun Awan, tempat Kaum Petir biasa tinggal di langitnya. Dari pelangi monokrom itu muncul dua kelebatan kegelapan yang jatuh ke dasar hutan.
“Arrrgh….” Serj mengerang. Tubuhnya tertimpa oleh tubuh Helvin yang terjatuh cukup keras di perutnya.
“Jangan berlebihan,” ucap Helvin ketika dirinya bangkit dan mendapati wajah Serj yang asimetris di bawahnya.
Serj cemberut. Meskipun badan Helvin tergolong cukup kecil, rupanya tubuh itu sangat padat seperti logam. Keras dan dingin. Ia mengikuti langkah Helvin di belakang tubuh ayah dari Auglis itu.
Dengan langkah cepat, keduanya berlari menyusuri hutan. Beruntung mereka mendarat di Hutan Lweng, bukan daerah terang seperti Dusun Bersinar atau Dusun Bara, tempat para kaum Api bermukim.
“Kita mau kemana dulu?” tanya Serj membaca gerakan Helvin yang terus saja menuju arah selatan.
“Tentu saja aku akan pulang,” jawab Helvin tanpa mengurangi kecepatannya. Matanya tetap menatap lurus ke depan.
Di ujung hutan ini, tepatnya bagian selatan adalah sebuah kampung kecil yang merupakan bagian dari Gunung Hitam, tempat kelahiran Helvin. Di sana pula, selama beberapa ratus tahun ia hidup bersama ayahnya, Skid. Ibu Helvin—seorang wanita Kaum Gelap yang bersahaja bernama Marink—meninggal ketika usianya masih tujuh puluh tahunan. Bagi warga Umbrya umur tujuh puluhan masih bisa dikatakan usia muda. Itulah sebabnya, Serj yang telah berusia empat puluh tahun itu hanyalah seorang bocah bagi Helvin. Meskipun begitu, Helvin bisa merasakan bahwa bocah itu kelak akan menjadi kaum Gelap yang kuat.
Langkah Helvin terhenti ketika ia dan Serj telah tiba di pinggir hutan Lweng. Helvin melihat beberapa rumah kecil yang tampak tidak terurus. Beberapa bahkan terlihat digerogoti jamur. Seingat Helvin, rumah-rumah itu dulunya sangat bersih dan terawat, serta teduh dan sejuk. Kini udaranya lebih hangat. Awan-awan kelabu yang dulu setia menaungi Gunung Hitam kini berganti menjadi awan tipis putih yang beberapa terlihat berkilat menyilaukan.
“Apa yang terjadi?” Helvin berjalan maju, tak peduli kalau dirinya tidak berada di bawah bayangan sesuatu. Kulitnya yang hitam mulai memucat perlahan.
“Kaum Api dan Terang menyerbu Gunung Hitam dan bertanggung jawab atas semua kerusakan ini.” Serj melangkah hati-hati. Tidak seperti Helvin. Ia memutuskan untuk melompat dari bayangan satu ke bayangan lain dan menghindari cahaya.
Helvin melewati rumah demi rumah, menyusuri jalan setapak yang tak pernah sehijau ini ditumbuhi rumput. Pada sebuah persimpangan terdapat sebuah sumur yang airnya kini lebih tinggi lantaran tidak pernah ada lagi yang mengambil air dari sana. Helvin belok kanan, melintasi sebuah selokan alami kecil yang memisahkan dua rumah yang berdekatan. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Kedua rumah itu sama-sama sepi. Padahal, Helvin sudah mendengar semuanya dari Serj. Namun, sepertinya salah satu rumah yang dulu merupakan rumah Helvin itu menceritakan semua kepedihannya pada Helvin.
Atap-atapnya telah pergi entah kemana seolah mengerti bahwa kini ia tiada berguna. Dinding-dindingnya dilapisi lumut dan jamur kemudian lantainya yang masih berupa pasir alami dari pantai tampak telah kalah oleh rumput-rumput liar yang merangsek masuk memenuhi seluruh ruangan.
“Apa kau yakin bahwa semua ini adalah akibat serangan Kaum Terang?” tanya Helvin dari dalam rumahnya. Ia tengah meraba dinding yang dulu membatasi kamarnya dan kamar Skid. Dengan kuku-kuku jarinya, Helvin menyingkirkan lumut yang menghijau menutupi warna asli dinding itu.
“Mereka bersama Api,” jawab Serj yang kini melangkah masuk mendekati Helvin.
“Terang tak pernah membabi buta seperti ini,” ujar Helvin.
“Selalu ada pertama kali bagi setiap orang,” timpal Serj. “Mereka bahkan telah berhasil menyinari setiap rumah di Gunung Hitam.”
“Siapa pemimpin mereka?”
Serj menatap langit dari balik bayangan dinding lapuk rumah Helvin, “Shoge adalah pemimpin Kaum Api. Sementara kaum Terang dipimpin oleh Verna. Meski Terang masih berdebat soal pemimpin wanita.”
Helvin menoleh hendak protes pada Serj karena tidak memberitahu sedari awal. “Sudah berapa lama kekacauan ini berlangsung?” Helvin meniup debu yang menutupi sebuah kursi di ruang tengah rumahnya. Alih-alih protes, Helvin justru malah menanyakan hal lain. Ia tidak mau Serj tahu kalau ia masih peduli pada Verna.
“Sekitar sepuluh tahun,” jawab Serj menunduk. “Seandainya aku bisa menemukanmu lebih cepat….”
“Jangan merasa bersalah, Bocah.” Helvin mengepalkan kedua tangannya. “Kau sudah melakukan hal yang seharusnya prajurit Gelap lakukan. Jika ada seseorang yang harus merasa bersalah maka akulah orang itu.”