Helvin menarik napas dan mengeluarkannya berulang-ulang seperti yang ia pelajari saat ikut kelas yoga. Apa yang dilakukannya rupanya lumayan membantu. Perasaan Helvin kembali membaik meski masih tersisa sedikit kekhawatiran. Helvin mulai berpikir tentang apa yang seharusnya ia lakukan. Ia menimbang-nimbang keadaan sekitar kemudian bergerak menembus lapisan awan kelabu.
Dengan masih mengendap-endap, Helvin pergi ke permukaan awan. Ia melihat beberapa bangunan berbentuk prisma lingkaran bediri sejajar tetapi dengan ukuran yang berbeda-beda. Ia berusaha melacak aura kegelapan di sekitarnya sambil tetap berpijak di bawah bayangan.
Meskipun tipis, Helvin mulai mencium aroma kegelapan di balik bangunan silinder yang berada di tengah-tengah bangunan yang lain. Ia melihat beberapa kaum Petir berjalan dengan beberapa kotak seukuran buah semangka di tangan mereka. Beberapa yang lain hanya membawa tongkat yang permukaannya kasar dan berwarna suram seperti cokelat tua, merah pudar hingga kuning busuk.
Pelan-pelan Helvin melompat dari satu bayangan ke bayangan lain, melewati kaum Petir yang sepertinya memiliki kesibukan masing-masing hingga sama sekali tidak menyadari keberadaannya karena Helvin dengan sangat mudah kini berada di pintu bangunan silinder yang berada di tengah, tempat ia merasakan aroma kegelapan.
Saat suasana sepi, Helvin mulai membuka pintu dan menerobos masuk. Ia tidak merasa ada seorang pun Petir di dalam sana. Sebaliknya, ia merasakan kegelapan yang kuat, cukup kuat hingga Helvin ragu. Bagaimana mungkin Serj memiliki aura gelap seperti itu.
Helvin terkejut ketika ia melihat apa yang ada di dalam gedung berbentuk tabung itu. Saking terkejutnya, ia sampai melepaskan pegangannya pada gagang pintu. Bola mata Helvin membulat tak berkedip. Ia bahkan lupa untuk bernapas.
***
Orang-orang yang berada di gedung silinder kecil itu sedang beraktifitas seperti biasa ketika seseorang masuk dan malah ternganga melihat mereka. Ada yang menghentikan gerakan giginya yang tengah mengunyah makanan, ada yang menatap sekilas sebelum kembali melanjutkan rajutan bajunya, ada yang menatap heran ekspresi orang itu, dan ada pula yang cuek dan bertingkah seolah tidak ada hal apa pun yang terjadi.
“Kalian?” tanya Helvin bingung. “Bagaimana mungkin?”
Seorang pria yang sedari tadi tengah menatap hasli lukisannya mendekati Helvin.
“Selamat datang, Saudaraku! Tempat ini akan memberikanmu suasana seperti rumah,” ujar pria yang memakai setelan jas itu pada Helvin.
“Apa yang… kalian lakukan… di sini?” tanya Helvin bingung mendapati kaum Gelap berada di ruangan itu. Jumlah mereka ada banyak, lebih banyak dari yang Helvin bayangkan dibanding jumlah kegelapan yang dirasakannya.
“Hel-vin? Kau Helvin, kan? Putra Skid yang lama menghilang,” seorang wanita dengan seorang bayi di gendongannya menghampiri Helvin.
Mendadak semua orang menatap Helvin karena wanita tadi berkata dengan kencang. Helvin mengenali wanita itu sebagai orang yang dulu sempat akan dijodohkan dengannya oleh Skid.
“Kemana saja, kau, Pelindung Gunung Hitam?” tanya wanita itu. Ia menghiraukan tangisan bayinya yang mulai terdengar.
Helvin tak bisa mengatakan satu patah kata pun. Mulutnya tak bisa dibuka seolah telah direkatkan oleh lem khusus untuk merekatkan kulit. Perlahan semua orang di ruangan itu mulai menanyakan hal yang sama dengan si wanita. Beberapa bahkan mencibir dan meneriakinya sebagai pengkhianat. Helvin mundur perlahan meski langkahnya tersendat karena para Gelap itu kini mengerumuninya. Ia terus merangsek keluar dari gedung itu.
Kaki Helvin tersandung dan ia jatuh di atas permukaan awan yang hampir basah. Dengan segenap kekuatan, ia segera lari dan menerobos kerumunan Gelap yang seperti menyalahkan dirinya atas semua yang telah terjadi. Langkah Helvin tak beraturan. Ia lebih seperti orang yang tengah mabuk daripada orang yang trauma atau kebingungan. Dan sekali lagi Helvin jatuh terjerembab. Ia melihat sepasang kaki gelap yang telanjang.
“Helvin….”
Entah kenapa, Helvin merasa sangat lega mendengar suara itu. Ia segera meraih tangan yang terulur itu dan berpegangan pada pundaknya kuat-kuat seolah kakinya tak berpijak pada apapun.
“Hai, ada apa?” tanya orang yang kini memegangi Helvin itu. Dia melihat Helvin yang kacau dan berusaha membuat pria itu sadar kembali.
“Kita harus pergi dari sini, Serj,” ucap Helvin. Pandangan matanya masih tertunduk.
“Tenanglah, aku tahu apa yang terjadi di sini. Kaum Petir rupanya memberikan tempat perlindungan untuk kaum kita,” jelas Serj tanpa tahu penyebab sebenarnya Helvin kacau. “Kita aman di sini, Helv….”
“Tidak. Aku ingin kita cepat pergi,” tukas Helvin.
“Baik, tapi aku harus pamit pada seseorang.” Serj jelas-jelas mencium sesuatu yang Helvin sembunyikan darinya. Sepertinya Helvin sedikit takut dengan sesuatu, seperti dirinya yang takut—atau tidak nyaman—dengan air.
Serj mengajak Helvin bertemu seseorang yang telah menariknya ke permukaan beberapa saat yang lalu. Mereka berdua melewati beberapa gumpalan awan tebal yang menyerupai kabut yang tumpah di jalanan. Di sebuah tempat yang tampak seperti taman yang berada di sisi awan, Serj menghentikan langkahnya. Ia menoleh pada sebuah bangku yang cukup besar. Di sana, seorang kaum Petir tengah duduk santai sembari menikmati pemandangan daratan bersama Hitma.
“Wah, kau sudah menemukan kawanmu?” tanya lelaki bersurai biru itu ramah. “Lama tak bertemu, Helvin,” sapanya pada Helvin.
Helvin sedikit terkejut menemukan wajah itu lagi. “Ya, lama sekali, Kauhi.” Helvin membalas senyuman kaum Petir itu. Kauhi adalah salah satu Kaum Petir yang dulu awannya sering Helvin tumpangi. Mereka telah berteman lebih dari satu abad. Wajah Kauhi sama sekali tidak berubah. Lelaki itu masih terlihat gagah dengan kumis dan janggut tebal menghiasi wajah bermata biru itu.
"Akhirnya kau kembali, prajurit Hitam." Hitma memegang kedua bahu Helvin dan menatapnya penuh harapan.
“Bagaimana kalau kita ngobrol dulu?” tanya Kauhi melirik Helvin yang sedikit gelisah.
“Tapi kami mau—”
“Baiklah,” ucap Helvin memotong kata-kata Serj. “Banyak yang harus kita bicarakan, bukan?”