CAHAYA HITAM

Keita Puspa
Chapter #16

16. PERTEMUAN KEMBALI

Pilar-pilar yang menyangga atap kaca itu tampak kokoh terlihat dari segala sisi. Padahal, jika dilihat dari dekat maka siapa pun dapat mengetahui bahwasanya setiap pilar terdiri dari susunan kerikil dan batu seukuran kepalan tangan tanpa ada apa pun yang merekatkan mereka. Namun, begitu presisinya posisi batu-batu itu satu sama lain sehingga mereka mampu berdiri menopang kaca-kaca setebal satu setengah inchi yang tersusun di atasnya serta beberapa lempeng logam yang menjadi bingkai dari atap tersebut.

Ruangan tanpa dinding itu tampak berkilau dari kejauhan karena pantulan atapnya yang menyilaukan mata. Suhu di tempat itu panas. Lebih panas dari kening seorang anak yang demam hingga tubuhnya kejang-kejang. Beberapa pot besar yang diletakkan di setiap sudut itu pun kini tak lagi berisi tanaman-tanaman segar seperti seharusnya. Hanya ada sisa tumbuhan mengering yang teronggok begitu saja seperti fosil tanaman purba.

Seorang wanita dengan anggun melangkah melewati pilar-pilar batu itu. Bajunya yang berwarna keemasan tampak berkilau meskipun tidak ditemukan permata barang sedikit pun di baju itu. Kulit kuningnya yang bercahaya menjadikan wanita itu memiliki daya pikat yang luar biasa menarik bagi siapa saja yang melihat. Tak terkecuali Kaum Gelap. Sorot mata penuh ambisi terpancar dari manik mata emasnya. Sesekali mata itu berkilau seolah lampu LED terpasang di dalamnya.

Wanita bermata emas itu berjalan hingga ujung ruangan yang sengaja tidak dipasangi pagar. Ia melihat sekeliling dari tempat yang berada di ujung tebing itu. Tampak olehnya beberapa awan tipis menghiasi langit. Seluruh Dusun Bersinar bisa ia lihat dari tempat itu. Terang benderang. Tidak hanya menerima cahaya dari bulatan hitam raksasa di langit, tetapi Dusun Bersinar itu sendiri memancarkan cahaya yang ia yakini kalau sebentar lagi cahayanya mampu mengalahkan cahaya dari bulatan hitam bersinar di langit.

Sebuah senyum merekah dari bibirnya yang jingga berkilau. Rambut kuningnya tertiup angin, membuat anak-anak rambut yang tidak ikut tergulung ke atas itu bergoyang membelai pipinya yang halus. Tangan kirinya yang sedari tadi memegangi gaunnya kini terangkat dan sesuatu pun terjadi.

Wanita itu menoleh ke belakang, kepada bayang-bayang yang kabur—bayangan yang pudar karena terlalu banyak sumber cahaya. Didekatinya bayangan itu dan seketika cahaya di tubuhnya mulai meredup. Ia hampir menyentuh bayangan itu sampai akhirnya ia menyadari bahwa itu adalah gabungan dari dua bayangan karena kini, sinar yang menyelimuti tubuhnya hampir padam. Ia ragu-ragu kemudian menjauh, menyingkirkan jari-jarinya dari sekitar bayangan itu. Setelah memejamkan mata sesaat, ia kembali ke ujung tempat itu. Jari tangannya kembali terangkat ke udara.

“Helvin, ini di luar dugaanku!”

“Tenanglah. Kita akan baik-baik saja. Dia baru saja melakukannya.”

“Melakukan apa? Kok, aku tak melihat apa-apa.”

“Mungkin dia sudah mengetahui keberadaan kita, Serj. Waspadalah!”

“Aku sudah waspada daritadi. Kau lihat, kita berubah jadi seperti abu rokok. Di sini panas banget, Orang Tua!”

“Apa maksud ucapanmu?”

“Kau, kan, sudah jadi orang tua. Seorang ayah. Kau ingat?”

“Ck! Diam dan perhatikan saja dia!”

“Aku tidak… bisa….”

“Itu pekerjaan mudah. Masa begitu saja tidak be-”

Mata Helvin terbuka lebar. Emosinya yang beberapa jam ini ia atur dengan baik berantakan. Napasnya mulai tidak beraturan, begitu juga detak jantungnya. Helvin menelan ludah ketika ia akhirnya menyadari bahwa wanita itu tak lagi di tempatnya berada. Kini wanita itu tengah mencekik leher Serj.

Dengan cekatan, Helvin mengubah wujudnya menjadi normal. Tidak sepenuhnya normal karena warna kulitnya kini abu-abu. Sangat pucat untuk seorang Kaum Gelap.

“Lepaskan dia, Verna!” Meskipun suara Helvin tegas tetapi masih saja terdengar lembut.

“Hmmm, aku kira tak akan bertemu lagi denganmu,” ucap wanita bersurai kuning itu. Ia melepaskan Serj dan membiarkannya jatuh ke lantai yang juga terbuat dari batu-batu yang untungnya memiliki permukaan rata.

Serj terbatuk dan memegangi lehernya. Meskipun udara telah keluar-masuk paru-parunya, ia masih merasa sesak. Lehernya masih merasakan sengatan tangan Verna seolah-olah kedua tangan wanita itu masih menempel di sana.

“Ah, aku lupa. Selamat datang, kawan lama,” kata Verna dengan memberi penekanan pada kata kawan lama.

Helvin menolong Serj untuk duduk dan mengatur napas. Setelah itu ia memandangi Verna yang terlihat suram. Tidak ada sinar yang memantul dari kulit maupun gaunnya. Helvin mengerti bahwa wanita itu telah menghentikan waktu ketika ia tengah berbicara dengan Serj dari bayangan ke bayangan. Butuh tenaga besar untuk menghentikan waktu dan Helvin bersyukur karena setidaknya, hari ini ia dan Serj terbebas dari ancaman terbesar-- mati di tangan Verna.

“Apa yang membawamu kemari, Sayang?” tanya Verna. “Padahal kuharap kau tidak akan datang, Helvin.” Bola mata Verna meredup. Kini ia tampak seperti manusia biasa dengan gaun emas yang mengembang dan rambut kuning yang menghiasi kepalanya.

“Verna, apa maksudmu melakukan ini semua?” Helvin berdiri.

“Aku ingin membuat dunia baru. Dunia yag lebih teratur dan sejahtera, dan adil.”

“Adilkah jika Kaum Gelap menderita?”

Lihat selengkapnya