CAHAYA HITAM

Keita Puspa
Chapter #18

MENCARI DUKUNGAN

“Kenapa kawanmu itu tak mau kemari?” tanya sosok bening itu sedikit tersinggung. Tubuhnya berkilau antara air jernih tertimpa cahaya atau besi cair yang menggelegak dalam gerabah raksasa yang amat panas. 

“Ia takut dengan kalian,” jawab Helvin. “Jangan tersinggung. Dia punya semacam trauma,” ungkapnya dengan sok tahu. Padahal Helvin hanya asal bicara. Tak mau membahas hal-hal yang tidak berhubungan dengan misinya. 

“Ah, baiklah.” Raut wajah bening itu sedikit mengendur. Matanya yang hijau—satu-satunya hal yang tidak transparan di tubuhnya—menatap Helvin dengan ketenangan samudra. “Sebenarnya, kami mengutuk perbuatan Terang atas Gelap. Akan tetapi, kami adalah Air yang jernih dan selalu bisa mengalir menerobos hal-hal yang hampir mustahil. Untuk menjaga keseimbangan, kami harus tetap jernih. Tidak memihak,” jelas sosok itu tegas.

“Jadi, kalian akan membiarkan semua ini begitu saja?”

“Ya. Tetapi yakinlah satu hal, bahwa kebenaran pasti akan menang meskipun kemenangan itu berada di tangan sang waktu. Bisa saja akan terjadi beribu tahun kemudian. Namun kebenaran tetap kebenaran meskipun kejahatanlah yang berjaya, ia tidak akan menjadi kesalahan walaupun ribuan abad berlalu.”

“Ah, baiklah. Terima kasih atas waktunya,” ucap Helvin. Ia tahu bahwa Kaum Air memiliki kehidupannya sendiri. Mereka hampir tidak pernah terlihat oleh kaum lain seolah memang keberadaan mereka tidak ada. 

Air lebih senang hidup berenang-renang bebas di sungai atau danau atau lautan. Mereka tidak pernah meninggalkan perairan seumur hidup. Mereka hidup damai tanpa pernah mencampuri kehidupan darat, kecuali jika orang-orang darat itu merusak rumah mereka.

“Kalau begitu, aku undur diri.” Sosok transparan itu pun kembali menghilang ke dalam sungai, menyisakan buih-buih dan gelombang kecil di permukaan air sungai.

Helvin menunduk, memandangi kepergian pemimpin Kaum Air itu dengan takjub hingga buih terakhir lenyap. Kemudian ia berbalik dan menghampiri Serj yang tengah meringkuk memeluk kedua lututnya di bawah sebatang pohon yang cukup rindang.

“Sudah selesai?” tanya Serj.

“Ya, selesai. Mereka tidak akan bekerja sama dengan siapa pun.” Helvin berusaha keras untuk tidak menghela napas. Ia tidak ingin Serj mengetahui kekecewaannya. 

“Sayang sekali,” gumam Serj. Ia telah mengetahui kenetralan Kaum Air. Bahkan jika detik ini kiamat pun, mereka akan tetap bergeming dan memilih menenggelamkan diri di dasar laut terdalam daripada berpihak pada seseorang.

“Kalau begitu, kita ke Dusun Awan!”

“Tunggu dulu! Bagaimana kalau kita ke tempat Soyl. Siapa tahu mereka yang penuh lumpur itu mau membantu kita setelah kita membantu mereka?”

“Berarti kemarin itu kau tidak tulus?”

“Tulus, dong! Tapi… masa, mereka gak mau bantu? Mereka juga dirugikan oleh Kaum Terang.”

“Ya, pokoknya aku mau menemui Kakano terlebih dulu.”

Serj menarik napas panjang. “Ya, ya… terserah kau, Bung! Lagipula, dari awal selalu kau yang memimpin,” keluh Serj. Buru-buru ia menyusul Helvin yang sudah jauh di depan.

Dari puncak pohon yang tinggi itu, sesosok makhluk berkaus putih muncul begitu saja. Matanya tak lepas memperhatikan Helvin dan Serj. Perlahan, sinar jingga muncul dari permukaan kulitnya. Kemudian, dengan hati-hati, ia melompati dahan demi dahan hingga kakinya menjejak tanah.

Dengan gerakan terlatih, sosok bercahaya jingga itu mulai mengendap-endap mengikuti Helvin dan Serj dalam jarak aman.

***

Ketika Helvin dan Serj tiba di dusun berawan, langit Umbrya didominasi oleh awan-awan tipis—yang terlihat seperti kabut—berwarna jingga.  

“Silakan masuk. Ayah telah menunggu kalian,” ucap Kauhi dengan tangan terbuka. Pria bersurai biru itu tampak gagah dengan pakaiannya yang berjubah. Otot-ototnya lengannya menyembul tak tertutupi apa pun.

Serj memperhatikan otot itu dan diam-diam membandingkan dengan lengan miliknya sendiri. Tidak lembek tetapi tidak sekekar lengan itu. Bahkan punya Helvin pun masih kalah dengan otot Kauhi.

Mereka bertiga berjalan menyusuri lorong yang dibatasi oleh ranting-ranting pohon yang diikat menjadi kesatuan, dinding. Menariknya, ranting-ranting itu hidup. Pada beberapa bagian dinding, daun-daun hijau segar tumbuh berseri.

“Ayah, mereka sudah datang,” ucap Kauhi setelah menyibak sebuah tirai yang ditenun jarang.

Yang dipanggil tersenyum dengan sorot mata yang begitu teduh. Ia mempersilakan tamunya untuk duduk di atas kursi yang terbuat dari awan.

“Tenang, itu tidak akan basah,” ujar Kauhi ketika menyadari bahwa Serj duduk dengan gelisah. Seperti orang dengan penyakit ambien.

“Nah, kau pun duduklah bersama kami, Nak.” Kakek yang terlihat masih bugar itu memerintahkan Kauhi untuk duduk di kursi kosong.

“Ada apakah kiranya kalian berdua datang kemari? Kudengar kalian menolak perlindungan kami di tempat ini. Lalu, kiranya apakah ini berhubungan dengan penyerangan Terang terhadap kaum kalian?” lanjut kakek itu.

Lihat selengkapnya