CAHAYA HITAM

Keita Puspa
Chapter #19

HITAM BUKANLAH WARNA

Helvin mengulurkan tangannya pada Serj ketika melewati sebuah tebing curam yang harus mereka lalui setelah beberapa Kaum Api mengejar keduanya.

“Si Shoge itu informasinya cepat juga,” ujar Serj, masih dengan napas tersengal.

“Artinya ia punya mata-mata yang tersebar di setiap kaum. Pengaruhnya kuat juga.”

“Bukan pengaruh pria terbakar itu,” bantah Serj. “Ini pengaruh mantan istrimu. Aku sangat yakin.”

Helvin terdiam. Dalam hati ia membenarkan Serj. Kekuatan Verna yang semakin kuat tentu menyebabkan keseganan bagi kaum lain.

“Untungnya kita sudah bertemu Soyl sebelum mereka menemukan kita.” Serj berhenti bernapas. Pelan-pelan ia melangkah melewati sisi tebing yang semakin menyempit.

“Ya, Kaum Api itu merepotkan!”

“Tapi, Helvin… kenapa Verna tidak bertindak? Kok, seolah dia mau cuci tangan dengan mengerahkan Kaum Api. Sepanjang kita tiba di Umbrya, kita tidak pernah diserang Terang. Kita pernah sekali saja bertemuu Terang ketika di gunung Hitam. Beruntungnya, mereka bisa kita kelabui.”

Helvin berhenti sejenak, melirik batu-batu kecil yang terjatuh kedalam jurang yang dalam akibat pijakan kaki kirinya. Serj benar lagi. Ada yang salah dengan Kaum Terang. Mereka sepertinya…

“Lemah. Mereka menjadi lemah karena tak pernah beristirahat, Serj. Semua cahaya dari Dusun Bersinar itu adalah cahaya mereka, dari tubuh-tubuh mereka. Ketika sinar-sinar menyinari Kaum Terang, mereka sejatinya tengah menyerap sekaligus mengeluarkan energi mereka. Dalam kondisi seperti itu, mereka tak akan bisa tidur atau beristirahat. Mereka sedang menciptakan neraka bagi mereka sendiri!”

“Ti-tidak mungkin! Bukankah hal sebesar itu harusnya diketahui Verna? Dia juga bisa terkena dampak kekuatannya sendiri itu, kan?” Serj meraba dinding tebing yang kasar dan dipenuhi lumut.

“Sangat bisa!”

“Kalau begitu, bisakah kita biarkan mereka mati dengan sendirinya? Sementara itu, kita lebih baik minum teh di tempat aman.” 

Terbayang oleh Serj secangkir teh chamomile yang dicampur sedikit madu. Seperti yang ia lakukan di Xenter beberapa waktu lalu. Ketika ia dengan bekal seadanya tinggal bersama Helvin. Disambut hangat seperti keluarga.

“Bisa saja. Namun bagaimana jika Kaum Terang berhasil menghancurkan Kaum Gelap dulu sebelum mereka mati?”

Serj terdiam sesaat sebelum melompati sebuah celah yang menandakan akhir dari bibir tebing yang cukup mengerikan itu. Salah perhitungan satu inchi saja, tubuhnya akan tergelincir, terjun bebas dan berakhir di dasar jurang gelap yang dikatakan berupa pohon-pohon tak berdaun dengan ujung dahan yang tajam. Tidak ada yang selamat setelah jatuh dari jurang itu. Serj mengelus dada lega. 

“Lagipula, ketiadaan Terang sama saja dengan ketiadaan Gelap. Kaum lainnya bergantung pada cahaya, Serj,” lanjut Helvin.

“Seharusnya bulatan hitam bersinar di langit saja cukup, kan?”

“Tidak.” Giliran Helvin melompati celah. Ia melewati celah itu tanpa kesulitan. Wajahnya terlihat biasa saja, membuat Serj diam-diam iri. 

“Kenapa tidak?” tanya Serj akhirnya sedikit bingung setelah melihat Helvin menepuk-nepuk pakaiannya.

“Apa kau lupa peran Kaum Terang di Umbrya?”

“Menjadi penerang.”

“Ya, bukan hanya menerangi daratan, tetapi mereka tandingan kita, Kaum Gelap yang penuh dengan sifat-sifat buruk dan brengsek. Meskipun tidak semua Kaum Gelap benar-benar jahat. Semua ini tentang keseimbangan, Serj.”

“Oh, aku mengerti. Bahkan Kaum Terang pun memiliki sifat jahat.”

“Ya. Kita tidak bisa mundur sekarang. Lihatlah!” Helvin menunjuk sebuah jembatan pelangi yang melengkung di depan mereka.

Sekitar lima puluh meter dari tempat mereka berdiri, jalan setapak di kiri dan kanannya ditumbuhi rumput-rumput yang tampak halus. Di antara rumput-rumput itu bermekaran bunga-bunga berkelopak kecil yang bertumpuk berwarna-warni.

“Woah! Aku baru pertama kali kemari.” Serj mendahului Helvin menuju jembatan pelangi. Antusias sekali ia, ingin segera merasakan bagaimana rasanya naik lengkungan berwarna-warni yang jarang muncul di langit itu.

“Hati-hati. Kaum Gelap tak bisa naik jembatan ini,” kata Helvin memperingatkan sebelum kaki Serj menyentuh jembatan itu.

“Benarkah? Tapi ini nyata, lho.”

“Kita ini kegelapan, menyerap semua warna. Jembatan itu akan hilang begitu kau menyentuhnya.”

“Apa? Ah, ini tidak asik.”

“Perjalanan kita sudah tidak asik sejak awal.” Helvin melangkahi Serj kemudian mengeluarkan sebuah prisma dari kantong celananya. “Pakai ini.”

Lihat selengkapnya