Dalam sebuah ruangan bawah tanah, tertutup rapat dengan hanya beberapa cahaya kilat yang berkelebat di sekeliling, terdapat sebuah meja kayu besar. Kayu itu berwarna cokelat tua dengan guratan-guratan khasnya yang dipernis manis. Sebuah kertas raksasa terlampir di atasnya. Beberapa orang tengah mengelilingi meja itu dengan wajah serius masing-masing.
“Bagaimana kita bisa mengalahkan Verna? Dia punya kemampuan menghentikan waktu,” kata Soyl yang kini tubuhnya dibalut tanah basah. Beberapa cacing dan serangga kecil bergerak-gerak di beberapa lubang kulitnya.
“Kemampuannya itu memang luar biasa, tetapi tidak bisa ia gunakan seringkali. Menghentikan waktu akan menguras energinya hingga 70%. Jadi, jika keadaan tak mendesak dia tidak akan melakukan penghentian waktu,” jelas Helvin.
“Bukankah kita bisa memanfaatkan kelemahan itu?” Serj memajukan badannya hingga bersandar di meja. “Kita butuh sebuah umpan agar Verna menghentikan waktu. Setelahnya, kita bisa mengalahkannya dengan mudah.”
“Tidak segampang itu kukira. Iya, kan, Helvin?” Kauhi memutar kepalanya melirik Helvin.
Pria itu menarik napas, “Ya. Sulit membuat Verna terdesak. Apalagi ada juga Shoge yang setia mendampinginya.”
“Kau terdengar cemburu,” ledek Serj.
Helvin hanya menatap bocah itu dengan kedua bola matanya yang telah hitam sempurna. Selama beberapa detik, tubuh Serj membeku. Ia tak dapat menggerakkan badannya sedikit pun. Serj bergidik ngeri menyesali kelancangannya.
“Ada cara lain,” ucap Kakano setelah terbatuk.
“Apa itu?” Soyl penasaran. Ia mendekati kakek tua berambut perak itu perlahan.
“Kami kaum Petir akan menyeret awan badai. Ketika suasana langit telah gelap, kami akan menyambar daratan dengan petir yang menyilaukan. Jika bayang-bayang bermunculan saat petir menyambar, kalian kaum Gelap menyerang mereka,” jelas Kakano.
Kauhi dan Soyl mengangguk-anggukan kepala sementara Serj terpana dengan rencana Kakano yang tak terpikir olehnya. Helvin hanya terdiam dengan jari-jari mencengkram pinggiran meja.
“Setuju!” ucap Soyl dan Kauhi bersamaan.
“Ide yang bagus,” timpal Serj.
“Kurasa itu lebih besar kemungkinan menangnya,” kata Helvin mengangguk mantap.
“Nah, sekarang kita hitung sekali lagi jumlah pasukan kita.” Soyl menggeser kertas di meja dan menuliskan sesuatu di selembar kertas lain yang lebih kecil.
Suasana ruangan lembap itu kini berubah. Kesuraman yang meliputi wajah-wajah itu perlahan tergantikan harapan. Sepanjang malam, mereka menyusun rencana demi rencana untuk menghentikan kegilaan Verna dan Shoge.
***
Seberkas cahaya menerpa wajah Auglis yang kini tengah meringkuk di kurungan besi berbentuk kubus. Besi-besi itu sangat dingin. Api yang menjalari tubuh anak buah Shoge pun tak mampu membuat besi itu memanas.
Auglis mengerjapkan mata. Kemudian matanya memicing, berusaha menangkap gambaran dari arah datangnya cahaya, seperti teralis besi mengurung tubuhnya. Gadis itu pun bangun, duduk dengan kedua lutut terangkat.
Ini jelas bukan kamarku! Bukan rumahku! Siapa orang-orang ini?
Mata Auglis mengekor seorang kaum Api yang memiliki ekor pendek. Wajah sosok itu berhidung besar, berbadan pink dan bersuara berat. Tidak hanya makhluk itu, Auglis juga melihat beberapa orang dengan pendaran cahaya di kulit mereka.
Oh, apakah ini akhirat? pikir Auglis.
Gadis bermata amber itu melihat sekeliling dan berusaha mencari manusia lain. Nihil. Semua yang ia lihat di tempat itu tidak wajar. Para setan dengan rambut api itu berkeliaran dan menyapa sesamanya yang Auglis pikir tengah menjaganya, dan kurungannya.
Ketika seorang Terang yang berpakaian toska melewatinya, Auglis berteriak, “Hei, tolong aku!”
Tetapi sosok bercahaya itu hanya meliriknya sekilas kemudian pergi. Beberapa kali Auglis melakukan hal yang sama ketika seorang Terang lewat. Hasilnya sama saja. Ia tak mendapatkan respon lain selain lirikan.
Tamat sudah. Bahkan tak ada malaikat yang mau menolongnya.