Kaum Api yang tertangkap itu tak berhennti terkekeh. “Dia aman selama kau tidak ikut campur dengan urusan kami,” ucap makhluk itu tak gentar. Meskipun suaranya tercekat tetapi tidak ada rasa takut sedikit pun darinya.
“Kalau kalian berani menyentuhnya, aku tidak akan segan menjebloskan kalian semua di lubang hitam!”
“Kau tak akan menang, Helvin. Biarkan saja Shoge dan Verna menguasai Umbrya. Soal anak itu, aku tak bisa jamin, hehehe…. Dia memiliki aura manis dan haru—”
Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, kepala makhluk itu terlepas dari badannya kemudian berubah menjadi asap hitam.
“Kita tidak perlu mendengarkan ocehan makhluk jelek itu hingga selesai,” ujar Serj yang kini tengah berusaha menarik kembali pedang hitam yang muncul dari tangan kanannya.
Helvin menghela napas panjang. Serj mungkin bertindak benar. Jika ia terus mendengarkan makhluk itu, emosinya akan semakin tersulut. Bukan tidak mungkin ia akan lepas kendali dan mengamuk.
“Helvin, sebaiknya kau menenangkan diri.” Kauhi menepuk bahu Helvin dan memberi isyarat pada Serj untuk membawanya pergi.
“Ya. Kauhi benar. Sebaiknya kita beristirahat dulu,” timpal Serj.
Helvin menurut saja ketika Serj menggandengnya menuju ke ruangan tempat mereka beristirahat. Pikiran Helvin terlalu buntu untuk berpikir. Semua tentang mimpi buruknya selama ini menjadi nyata. Ia tak sanggup membayangkan lebih jauh apa yang akan terjadi pada Auglis.
“Kita akan mencari solusinya, Helv,” ucap Serj begitu mereka tiba di sebuah ruangan gelap tanpa cahaya.
“Entahlah, tiba-tiba aku merasa jadi orang bodoh. Bagaimana bisa aku meninggalkannya sendirian? Seharusnya aku tidak pernah kembali ke sini,” racau Helvin.
“Jangan begitu, Helvin. Semua ini bukanlah salahmu.”
Helvin menoleh melihat Serj, “Ya, tentu bukan. Ini semua salahmu, Bocah! Seandainya aku tidak mengikutimu ke sini. Tidak. Seandainya kau tidak pernah datang menemui kami!” teriak Helvin.
Bukannya tidak terima, Serj sedikit tersinggung dengan ucapan Helvin. Prajurit Gelap yang baru kemarin ia lihat setangguh karang, kini berubah menjadi lapisan es di danau yang membeku. Dan, Serj kiranya telah menginjak lapisan es itu hingga kini ia bisa saja membeku di danau itu.
“Helv, a-aku sungguh menyesal. Aku tidak tahu jika mereka akan melakukan cara licik seperti ini,” kata Serj, berharap emosi Helvin sedikit surut.
“Memangnya kau pikir seperti apa kaum Api itu? Ramah dan sportif? Mereka culas!”
Helvin meraih bahu Serj dan mencengkramnya kuat-kuat. “Jika terjadi sesuatu pada Auglis, kau juga akan kugiring ke lubang hitam!” ancam Helvin sebelum ia membanting pintu di depan wajah Serj.
Serj terpaku. Ancaman barusan tidak main-main. Ia akan dijebloskan prajurit Gelap terkuat itu ke dalam sebuah lubang hitam yang berputar-putar tanpa dasar. Meskipun ia seorang Kaum Gelap, tetapi lubang hitam merupakan neraka bagi kaum Gelap juga.
Lubang hitam adalah tempat sakral bagi kaum Gelap. Dijaga oleh para prajurit Hitam yang telah terlatih. Lubang itu terdiri dari kegelapan murni yang absolut. Tidak ada yang bisa bernapas di dalamnya. Kegelapan murni absolut artinya kegelapan yang tidak bisa dikendalikan oleh kaum Gelap. Sebaliknya, kegelapan murni akan menetralkan kegelapan lainnya. Artinya, kaum Gelap akan mati dalam proses penetralan itu.
Lutut Serj melemah membayangkan dirinya memasuki neraka itu. Lebih baik mati dengan cara lain daripada dinetralkan perlahan-lahan di dalam lubang hitam.
***
Rasanya, sudah lama sekali Auglis dikurung di tempat itu. Namun, suasana tetap saja terang benderang. Jam di tangan Auglis menunjukkan pukul satu. Sembilan jam telah berlalu sejak ia pulang sekolah dan disergap para setan itu. Sekarang, ia tidak tahu harus apa lagi. Padahal Auglis berharap hari cepat malam agar matanya terlindung dari pemandangan makhluk-makhluk aneh itu.
“Permisi, Tuan Setan….” Kata-kata itu akhirnya keluar setelah ribuan kali Auglis berpikir ulang.
Sayangnya, yang ditanya tidak merespon. Entah karena suara Auglis yang terlalu kecil sehingga tidak terdengar atau memang setan itu tidak mendengarnya—mengingat Auglis tidak melihat tanda-tanda adanya telinga di kepala berapi itu. Atau mungkin juga setan yang tidak pernah bergerak sedikit pun itu sengaja tidak mau mendengarkan ucapan Auglis.
“Permisi, Tuan Setan!!!” Kali ini Auglis berteriak kencang.
Berhasil!
Setan itu menoleh padanya, kemudian dengan wajah sangar mendekati jeruji kerangkeng.
“Apa, Gadis tengil? Suaramu sungguh tidak ada merdu-merdunya!”
Auglis tersentak mendengar suara itu. Ia sedikit terkejut mendengar suara yang keluar dari makhluk itu sangat kencang dan membuat telinganya penuh.
“Tuan yang-mmm-ramah, kapan waktu malam akan datang?”
Alis api itu mengkerut, “Malam? Apa itu?”
Untuk beberapa detik, Auglis berniat kelak ketika ia kembali ke Xenter ia akan membuat status di media sosialnya tentang setan yang tak mengetahui malam.
“Eee….” Auglis berpikir sejenak. Mungkin bahasanya yang salah. “Malam hari, kebalikan siang. Waktu gelap gulita.”
“Dasar anak kegelapan! Tidak akan ada lagi waktu-waktu seperti itu. Yang ada hanyalah terang benderang dengan kobaran api yang menyala abadi. Hahaha!” Si setan itu kembali ke posisinya sambil terus tertawa.
“Aneh,” gumam Auglis. “Kenapa setan malah senang dengan cahaya?”
Detik-detik berikutnya, Auglis meringkukkan badan. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam kehidupannya. Pikirannya melanglang buana. Ia memikirkan ayahnya yang mungkin saja sudah kembali dan tentu saja akan kebingungan melihatnya tidak ada di rumah.