CAHAYA HITAM

Keita Puspa
Chapter #23

PASANGAN YANG BERKELAHI

Verna tengah menghadap sebuah cermin besar yang dibingkai oleh kayu ukir yang indah. Ukirannya membentuk sulur-sulur panjang yang saling sambung satu sama lain. Di ujung-ujung sulur terdapat ukiran bunga lily yang cantik, bunga kesukaannya.

“Hari ini mau diapakan rambut Anda, Nyonya?” tanya seorang pelayan yang masih sibuk menyisir rambut Verna yang kuning lurus berkilau.

“Menururtmu? Harus seperti apa rambutku hari ini?” Verna menatap pantulan dirinya yang penuh sinar terang di dalam kaca. Sangat menyilaukan.

“Memakai gaya apapun, Nyonya akan terlihat cantik,” ucap pelayan tanpa alis itu.

“Benarkah? Kau tidak sedang menjilat, kan?”

“Ampuni hamba, Nyonya. Saya tidak berani berbuat seperti itu,” ujar pelayan itu setengah ketakutan.

“Ah, baiklah. Sanggul saja seperti biasa,” ujar Verna sambil menggerakkan lengannya tak acuh.

Belum selesai pelayan itu menata rambut Verna, dua orang datang dengan beberapa gaun di tangan mereka. Gaun-gaun itu tampak sangat berat dengan masing-masing aksesoris yang menempel berkilauan. Seorang pelayan yang paling tua bergetar tangannya menahan berat gaun yang lebih dari sepuluh kilogram itu.

“Hari ini anda mau pakai yang mana, Nyonya?” tanya pelayan yang membawa gaun berwarna aquamarine.

“Wah, pakai yang mana, ya? Coba kemari kau!”

Pelayan tua yang ditunjuk Verna mendekat. Tangannya masih sedikit bergetar ketika mengangkat gaun itu ke atas sehingga modelnya terlihat jelas.

“Biasa. Coba kau….”

Sebuah gaun selutut berwarna putih gading dengan hiasan mutiara di sepanjang garis jahitannya membentang.

“Lumayan.” ucap Verna. Sudah lama sekali ia tidak pernah memakai gaun pendek. Sejak ia menikahi No’or, Verna menyimpan rapat-rapat gaun terbukanya. Bahkan gaun yang panjangnya sebetis pun tidak pernah ia pandang lagi.

“Nyonya Verna.” Seorang wanita bercadar putih menundukkan badannya di hadapan Verna.

“Ada apa, Mika?”

“Seorang kaum Gelap ingin menemui anda, Nyonya.”

“Siapa?”

“Ia mengaku sebagai seseorang bernama Helvin.”

Verna menggerakkan jarinya ke udara. Sejenak, para pelayannya membeku. Rambutnya yang tengah digenggaman pelayannya mengapung di udara. Dalam waktu dua detik itu, Verna menghapus senyum yang sempat tercipta di wajahnya. Ia menggantinya dengan wajah polos seolah tak tahu apa-apa.

“Biarkan ia menunggu. Beberapa waktu lagi aku selesai,” ucap Verna ketika rambut-rambutnya kembali ditarik ke atas membentuk bun. Dilihatnya Mika bergegas keluar.

Diam-diam Verna senang karena Helvin masih juga belum berubah. Laki-laki itu tak akan membiarkan siapa saja melukai orang-orang yang disayanginya. Menyenangkan bisa melihat lagi sosok lelaki yang seperti itu. Dan, sesungguhnya Verna tak pernah lagi menemukan yang seperti itu selama hidupnya.

“Bagaimana, sempurna?” tanya Verna yang sedang menatap pantulan dirinya di sebuah cermin besar.

“Sangat sempurna,” jawab para pelayannya bersamaan. Mereka memang telah melatih kekompakan dalam hal menyenangkan hati nyonya mereka setiap hari. Maka tak heran jika menyahut merdu bersamaan.

Verna memandangi dirinya sekali lagi dari atas hingga bawah. Memastikan semuanya sempurna, seolah ia akan kencan pertama.

“Nyonya, mantanmu itu tengah mengamuk,” bisik Mika yang datang kembali dengan tergesa-gesa.

“Aku sudah bisa menduganya. Biarkan saja,” ujar Verna mengibaskan sebelah tangan.

“Ah, berbahaya. Dia benar-benar mengamuk dan menciptakan lubang hitam di udara,” bisik wanita berambut merah muda itu. Seberkas cahaya merah jambu menyelimuti tubuhnya tipis.

“Kau kena serangannya?” tanya Verna. Ia tahu benar Mika bersinar jauh lebih terang dari ini sebelumnya.

“Itu… dia menebarkan kegelapan membabi buta. Dia mendesak agar Anda cepat menemuinya.”

“Dimana dia sekarang?”

Lihat selengkapnya