“Pergilah bersamaku! Aku akan mencari tempat yang nyaman dan aman untuk kita,” ucap Helvin. Tangannya menggenggam tangan Verna dengan lembut.
“Aku tak bisa, Helv. Akan lebih mudah jika aku menuruti keinginan mereka.” Verna terisak, membuat bayi yang berada di panggkuannya menggeliat.
“Kita bisa pergi dari sini. Kita bangun hidup baru. Kau, aku… dan putri kecil kita.”
“Tidak. Mereka akan mengejarmu, membunuhmu, membunuh kita, Helv!”
Helvin berdiri dan mengusap wajahnya. Ia tak menyangka bahwa hubungannya dengan Verna akan tercium secepat ini. Sesungguhnya ia sedang menyusun rencana untuk kabur dari Umbrya.
“Pergilah… biar aku yang menghadapi mereka.”
“Tidak. Aku akan bertanggung jawab, meskipun harus dibayar dengan nyawa.”
Terdengar derap langkah kaki dari balik pepohonan.
“Mereka di sini,” ujar Verna. Ia segera menciptakan portal cahaya kemudian didorongnya Helvin sehingga lelaki itu masuk ke dalamnya. Segera Verna tutup kembali portal itu.
“Rupanya kau di sini! Memalukan!”
Sebentuk cahaya mengenai tubuh Verna. Wanita itu memekik. Terlihat sebuah garis hitam melintang di punggungnya. Rupanya, cahaya itu membuat baju Verna sobek, begitu pula kulit dan dagingnya.
“Apa kau benar-benar anakku? Kau mencoreng mukaku dengan kotoran!”
Sekali lagi sebuah kilatan cahaya mengenai Verna. Untung saja ia sempat melindungi bayinya.
“Bawa dia!” perintah lelaki dengan air muka keras itu.
***
Kawah kecil itu masih mengepulkan asap ketika dua makhluk itu melompati sisi-sisinya yang berlawanan. Debu dan asap bergerak ke atas. Dua makhluk itu bernapas tersengal. Keringat telah bercucuran sedari tadi.
Auglis menyaksikan bagaimana ayah dan ibunya kini baku hantam. Tak habis pikir ia, bagaimana mungkin dulu mereka bisa bersama hingga dirinya terlahir. Sepanjang waktu, ayahnya selalu menunjukkan kecintaannya pada ibunya. Tak sekalipun air muka Helvin tidak bahagia ketika mengenang wanita yang dicintainya itu.
Akan tetapi, kini Auglis melihat sendiri bagaimana ayahnya tak segan untuk menghabisi wanita bersurai kuning itu. Begitu pun sebaliknya, wanita yang bernama Verna itu juga berusaha sekuat tenaga menyerang Helvin dengan kekuatan yang tak main-main.
“Nak, apa kau hanya ingin menonton?” Itu adalah suara Kakano yang duduk di atas awan hitamnya di udara.
“Anda sendiri?”
“Ah, aku sudah menghabiskan tenagaku. Sebentar lagi aku berakhir.” Orang tua itu terkekeh disusul batuk yang membuat awannya mengeluarkan petir.
Auglis melompat menghindari loncatan listrik dari awan Kakano.
“Apa Anda tahu caranya?”
“Cara apa?”
“Mengalahkan ibuku.”
“Tidak. Aku tidak tahu.” Kakano memutari Auglis kemudian diam di sisi kanan gadis itu. “Tapi aku tahu cara untuk membantu ayahmu.”
Mata hitam itu seketika berbinar. Dengan penuh semangat, bibir merah itu berkata, “Tolong beri tahu aku caranya.”
Suara gemuruh kembali terdengar mengangkasa. Seberkas cahaya membelah kegelapan yang menyelimuti Dusun Bersinar. Awan-awan bergerak merapat, berkumpul dengan warnanya yang gelap gulita. Petir dan guntur bersahutan di udara. Sepertinya waktu bagi Kaum Petir akan habis.
Serj melihat ke langit yang hitam. Meskipun kekuatannya bertambah, kekhawatiran perlahan menyusupi perasaannya. Karena lengah, seorang Kaum Terang berhasil membuatnya terpental sejauh lima meter. Serj mengerang dan meraba luka di lengannya. Untung saja ia masih sempat menangkis serangan itu dengan kedua tangan.
Cahaya di balik awan bergemuruh. Serj tahu apa itu artinya. Hujan. Kaum Api mungkin akan sedikit lemah karena air hujan, tetapi Kaum Terang tidak terpengaruh. Para Prajurit Api dan Prajurit Terang memiliki jumlah yang banyak. Serj kewalahan menangani mereka seorang diri.
Dalam keadaan mendesak itu, Serj hanya punya satu kesempatan untuk menghabisi mereka semua dengan satu serangan. Meskipun resikonya tinggi, Serj memutuskan untuk tetap mencobanya. Ia khawatir ketika hujan turun, keberanian serta kekuatannya hanyut terbawa arus air.
“Baiklah, hanya itu harapan satu-satunya.”
Serj merentangkan tangan, menyerap energi kegelapan yang menyelimuti daratan itu. Bersama dengan gemuruh petir di langit, Serj membentuk sebuah spiral raksasa dengan energi kegelapan yang ia miliki. Ia memutar spiral itu perlahan. Kemudian semakin cepat dan cepat hingga putaran spiral membentuk kerucut terbalik.
“Angin puyuh hitam?” gumam salah seorang Prajurit Terang yang tadi menyerang Serj.
“Kuharap kalian mati di tangannya!” seru Serj sebelum akhirnya ia melepaskan kendalinya atas pusaran hitam raksasa di depannya itu.
Pusaran hitam yang berputar cepat itu melahap apa saja yang dilewatinya. Ia menyedot para Prajurit Api dan Terang yang menghalangi jalannya. Tubuh-tubuh yang disergapnya berusaha untuk menyelamatkan diri. Mereka berenang dalam putaran kegelapan, mereka meronta demi mengeluarkan kemampuan mereka. Tetapi pusaran itu melahap mereka lebih cepat dari pergerakan mereka. Para prajurit itu tenggelam dalam pekatnya pusaran hingga tak bisa bernapas. Kemudian pusaran itu memuntahkan kembali mereka ke darat tanpa nyawa.
Titik-titik air mulai membasahi tanah ketika pusaran raksasa itu mulai memuntahkan apa saja yang ia telan.
Serj mula-mula bergeming mendapati kulitnya tertimpa air dari langit. Namun tak berapa lama, ia berusaha berlari dengan seluruh tubuh yang bergetar. Sebuah kenangan buruk kembali menghantuinya. Ia kembali menjadi seorang anak kecil.
Serj menangis, menumpahkan semua air matanya bersamaan dengan hujan yang mengguyur tubuhnya. Itu bukan hujan biasa. Hujan yang berwarna hitam dan berbau sangit. Darah dari keluarga dan saudaranya yang dibunuh secara keji oleh sekelompok orang di Lembah Sunyi.
Serj meringkuk bermandikan air dan darah keluarganya, kemudian tertimbun potongan-potongan tubuh yang berhamburan sebelum mereka berubah menjadi abu dan Serj melihat dengan kedua matanya limpahan air dari langit menghanyutkan abu-abu itu ke jurang terdalam di Umbrya. Namun, karena tertindih tubuh-tubuh yang akhirnya hanya tinggal pakaian yang sobek-sobek itulah, Serj kecil selamat. Para penjahat itu tidak mengetahui keberadaannya.
Tubuh kecil itu terus meringkuk di bawah lapisan baju-baju yang basah. Serj tidak berani bersuara meski tubuhnya menggigil hebat. Dinginnya air hujan menembus kulit tubuhnya yang kurus. Suara jeritan dan teriakan yang sedari tadi ia dengar berganti dengan suara guntur yang menemani derasnya hujan. Kemudian ia merasakan pergerakan di tumpukan kain yang menindihnya. Serj tak mampu menjerit. Ia terlalu takut untuk melakukan apa pun dan membiarkan sebuah bayangan melingkupi dan mengangkatnya.
Serj masih meringkuk, menerima tetes demi tetes air mengenai tubuhnya. Rasanya tubuhnya kaku dan sulit digerakkan. Jika ada satu saja Kaum Api atau Terang yang melihatnya, ia akan tamat.
Tiba-tiba sesuatu menyambar tubuh Serj, menariknya menjauhi tempatnya meringkuk seperti dua puluh tahun lalu. Sebuah perisai terbentuk melindunginya hingga air tak dapat menyentuhnya lagi.
“Aku sepertinya memang harus menyelamatkanmu dulu,” sahut seseorang yang telah membuat perisai untuk Serj.
Serj melirik suara itu. Masih dengan otot-otot yang kaku. Seorang gadis berambut merah dengan manik mata hitam tersenyum padanya.
“Jadi, kau tidak pernah mandi?” ucap gadis itu lagi sambil berkacak pinggang.