Takut
Dia takut tidak rapi untuk mereka
Sampai melahap masa yang setenang air di danau
Diubahnya jadi lautan yang berdebur ombak
***
"Selalu ada ketakutan yang menyala di jiwanya. Di segala ketika yang membuat ia harus turun tangan menyelesaikan urusan sosial."
***
Ia mengaduh di dalam hati, setelah melihat jarum jam dinding yang menunjukan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Lima menit lagi, jika tak lebih dulu tiba di sekolah, ia akan terlambat.
Kemudian menjadi tontonan. Disoraki. Atau sekadar diberi tatapan dingin.
Ia sudah menerka kemungkinan buruknya yang akan terjadi.
"Maaf, Umak. Karena Kak Hum jadi baru berangkat ke pasar."
"Udah cepat pakai helmnya."
"Iya."
Humaira menaiki motor seraya mengancingkan tali helm di bawah dagu. Di dalam pelukan alam yang masih berada di suhu 21 derajat celcius ini, dua hawa itu menembusnya. Dengan jaket masing-masing yang dipakai, setidaknya suhu dingin sedikit mengalah untuk meraba tubuh.
Selama dalam perjalanan, mereka acap kali bertemu dengan petani sayur yang membawa motor dengan dua keranjang bambu di belakangnya. Keranjang-keranjang yang berisi sayuran hendak mereka jajakan di pasar tradisional. Meskipun demikian, biasanya ada pengepul besar yang akan mengekspornya ke berbagai daerah.
"Ke kebun, Uwak?" Umak menyapa seorang lelaki berjanggut tipis di jalan yang menuntun sepedanya.
"Au," jawabnya sambil mengangguk dan tersenyum. "Ke pasar, Yan?" tanyanya balik. Namun, sudah keburu jauh motor yang dikendarai umak--Yanti, hingga tak sampai suaranya yang renta ke telinga umak ataupun Humaira.
Tiba di depan sekolah Humaira, gadis itu segera turun dan mencium tangan umak.
"Nanti pulang jam berapa?"
"Nanti Kak Hum tanya Bu Tiar dulu, Umak. Terus Kak Hum SMS, ya."
"Ya sudah."
Karena tak dimatikan dulu mesin motor itu ketika menurunkan Humaira, umak langsung melaju dengan motornya. Asap kendaraan roda dua itu langsung bergabung dengan udara yang masih membuat senang paru-paru. Beberapa detik memastikan umak sudah pergi, Humaira membawa langkahnya cepat-cepat ke lapangan olahraga. Belum tiba di sana, ia sudah menghentikan langkah. Mengintip aktivitas kakak kelasnya yang sedang menyusun matras, sedangkan Bu Tiar baru hadir ke lapangan.
Memang belum terlambat. Namun, di sana sudah ramai.
Bagaimana kalau saya jadi pusat perhatian?
Kekhawatiran kembali berenang di jiwa Humaira. Dia tidak suka ditonton. Meski tahu diri, bahwa dirinya tak mungkin menjadi tontonan karena kelebihan yang dimiliki. Humaira terlalu lemah untuk mengakui ia memiliki kelebihan udan diperhatikan banyak orang.
Tangan kanannya menggaruk kepala. Kaki kiri bergerak-gerak. Keraguan amat mudah terbaca dari gelagatnya.
"Bismillah aja deh."