Hantu bagiku
Ialah seperangkat alat
Yang dipoles ke seluruh wajah
Hantu bagiku
Ialah seperangkat kata
Yang memaksa tuk berkaca
***
"Kamu menjadi apa, atas bagaimana cara lingkungan memelukmu."
***
"Masa Kak Hum gak mau coba pakai ini dulu?"
"Enggak, Dik. Kakak gak mau."
Tempe-tempe yang sudah matang tampak begitu memikat lidah. Di sana, di atas tampah kecil dengan alas koran. Tampah bambu buatan abah-nya. Humaira memasukan lagi satu persatu tahu bunting setelah sebagian wajan ia isi dengan tempe. Di samping Humaira, sang adik berdiri di sana. Masih mencekal ponselnya.
"Ngape, Kak?"
"Dekde."
Beruntungnya, dari luar, umak memanggil Kamilah. Maka, gadis itu hanya bisa mengerucutkan bibir kemudian berlalu dari sisi Humaira. Di ruang tengah, kedua adik Kamilah sedang bermain bekel. Kamilah menyambar cermin kecil di atas lemari, dimasukannya jua ke tas. Jauh dari tujuannya akan belajar kelompok, di tas ransel Kamilah sekadar sebuah buku kecil tersudut di sana. Barang-barang pelukis wajahnya justru girang bersama teman-temannya di dalam.
"Kak Khan, tangkep!" Si kecil Haikal memantulkan bola bekel kuat-kuat. Hingga melambung tinggi.
"Dik Hai, jangan-" Perkataannya keburu dibungkus suara keluhan seseorang.
"Aw." Gadis itu memegangi kepalanya. "Untung bola bekel, bukan bola voli. Hati-hatilah mainnya," tegur Kamilah seraya mengusap-usap kepala. Berlalu lah ia dari sana. Menyusul panggilan umak yang tak usai-usai. Di luar, motornya yang sempat merengut tak mau hidup mesinnya, sudah umak bantu. Membersihkan busi motor sebentar, kemudian motor tak lagi merengut.
Di sebuah warung kecil berdindingkan anyaman bambu, di depan rumah itu, dua orang ibu menunggu pesanannya dilayani umak. Sementara itu, umak masih meminta Kamilah untuk menunggu ia membungkus gorengan.
"Nah, ini gorengan untuk abah au."
"Kak Kam mampir ke pasar dulu berarti, Umak?"
"Iya."
"Baiklah. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Kamilah mengendarai motor meninggalkan halaman rumah. Beberapa jenis bunga yang tak sengaja tumbuh di sisi selokan terbatuk-batuk menerima asap motornya.
"Berarti bakso empat bungkus, ya?" tanya Umak setelah masuk ke warungnya lagi. Ia mencuci tangan sebentar, kemudian membuat pesanan. Untungnya, bakso dibuat kemarin sore, kuahnya tadi subuh. Jadi pembeli tidak kecewa. Sedangkan untuk mi ayam, ia belum mengolah bumbunya. Tak lama kemudian, Khansa datang membawa gorengan tempe, dibuntuti oleh Haikal yang masih merengek minta diambilkan bola bekelnya yang masuk ke bawah lemari. Sulit untuk dijangkau.
Obrolan dua ibu itu tak terusik barang sedikit saja.
"Ndak ada, Bu. Waktu itu lho aku ke sana, ternyata ndak jual baju."
"Masa to, Bu? Berarti berita bohong to ya, itu?"