Memang begini
Ada tawa yang dimasak di atas api dari kayu bakar
Setelah matang dan dinikmati mereka
Sedangkan kamu, yang jadi abu
***
"Saat semua tertawa, kamu bahkan lupa apa saja bumbu yang diracik untuk menciptakannya."
**
Barisan yang semula panjang itu kian pendek setelah satu persatu insannya beranjak. Mereka berlari sesuai garis kemudian melompat dan mendarat di atas pasir. Yang telah mencoba dipersilakan gurunya untuk istirahat sejenak sebelum penilaian.
Suara peluit melangit satu kali. Seorang gadis berjilbab segiempat itu mempersiapkan diri. Tubuhnya yang sedikit gemuk dan tinggi yang hanya sampai di angka 150 sentimeter, terasa kaku bagi si empunya. Di belakang, tiga orang temannya sudah menunggu. Berkacak pinggang. Melipat kedua tangan. Bereksspresi gemas melihatnya.
Sekali lagi, suara peluit warna merah itu mengudara. Peringatan agar segera berlatih karena waktu semakin terkikis.
"Ayo lari!" Demikian perintah gurunya.
"Iya, Bu."
Seisi semesta tentu paham bahwa di lubuk hatinya ia tengah ketakutan, meski tak perlu lah susah payah melihat langsung ke hatinya. Sepasang matanya yang tajam melulu menatap tanda garis sebagai tempatnya bertolak saat akan lompat jauh. Ah, keberaniannya berkebalikan dari bentuk matanya.
"Cepat, Hum! Kamu orang ngapain lama-lama, sih? Mau berjemur biar makin eksotis, ya?"
Dari tepi lapangan suara itu menyusup ke telinganya. Menyusul dengan gelak tawa teman-teman. Terekam. Tersimpan. Menikam jiwa seorang gadis bernama Humaira.
"Humaira, ayo coba lompat jauh!" Kali ini suara Bu Tiar, guru olahraga, amat lembut. Ia mengatakannya setelah meniup peluit untuk yang ketiga kalinya, meringkus tawa dari anak murid.
Sekadar mengangguk, Humaira mulai menciptakan langkah kakinya yang cukup lebar di atas tanah. Kaki kanannya berhasil berada di garis tolakan, tanpa melampauinya. Seluruh mata di sana memandang senang, dua detik kemudian berubah. Menyipit, menahan tawa.
Humaira tak mampu melompat hingga menghasilkan jarak lompat jauh yang baik. Tubuhnya seolah berjalan biasa. Bukan melompat.