Cahaya Jiwaku

Ratih Frira Putri
Chapter #1

MENDENGAR NAMANYA

Panas tengah hari rasanya ingin menghitam dan mengelupaskan kulit badan. Peluh yang bercucuran rasanya sudah bercampur aduk dengan semen yang sudah siap untuk membangun sebuah kolam ikan milik Encik Mansyur Hasanuddin. Kolam ikan koi di samping laman rumahnya.

Ada empat orang pekerja, satu yang paling muda bernama Obar. Sepertinya dia hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh ketiga temannya, pekerjaannya paling banyak. 

"Panas sekali! Mana air dan makanan? Mereka kaya, tapi pelit sekali!"

Keluh salah satu dari mereka, pria berbadan besar dan hitam legam. Kumisnya begitu lebat, giginya kuning, kelihatan sekali perokok berat. 

"Aku pun tak tahu! Kita dari pagi hanya diberi minum teh manis. Baru satu hari kerja kita bisa mati kelaparan."

Pria jangkung yang juga legam juga menyambung. Dengan jari tengahnya yang tegak satu, nampak tak ia sengaja. Seperti bekas patah atau kecelakaan.

"Bahkan rokok pun tak ada! Hah! Dua hari di sini kita bisa mati," ucap pria pendek yang kulitnya agak cerah dibanding yang lain. Pria itu menoleh ke arah Obar, mendapati pria muda itu bekerja tanpa henti dari tadi.

"Bar, kau tak penat dari tadi? Aku lihat kau seperti mayat hidup yang terus bekerja. Daripada kau tak istirahat, lebih baik kau pergi dan tanyakan sama mereka. Mana makanan dan minuman kita," ucap pria pendek tadi. Dia biasa dipanggil Man.

Obar berhenti mengaduk semen, ia mengelap wajahnya yang berpeluh dengan lengan bajunya. Melihat pria yang berbicara dengannya tadi, lalu menoleh ke arah dua rekannya yang lain.

"Apa yang kau lihat? Pergilah kau minta makanan dan minuman!" ucap pria berbadan besar.

Obar tak bisa menolak, ia juga dikenal baik hati dan penurut. Ia pun meletakkan sekop di tanah, mencuci tangan dengan air keran yang berada di dekat mereka. Tak lupa membasuh kaki yang tanpa alas dan belepotan dengan semen tadi.

Dia mencuci muka, rasanya ingin langsung mandi saja sangking segarnya. Obar meminum beberapa teguk air keran, ia tak peduli. Rasa haus pun ia rasakan, bukan orang itu saja.

Dengan tanpa alas kaki ia berjalan ke halaman depan rumah, melewati tingkap kamar yang tidak ia ketahui milik siapa. Tapi, tingkap itu terbuka membuat ia melihat sekilas isi di dalam kamar itu. Rapi dan bersih, dengan cat merah muda dan nampak sejuk dan nyaman.

Dalam hati Obar, pasti Sang Tuan Encik Mansyur Hasanuddin memiliki anak gadis. Tapi, selama ia tinggal di kampung sebelah, ia tidak tahu jika Encik Mansyur memiliki anak dara.

Obar penasaran, tapi perutnya dan rekannya yang lain perlu diisi. Halaman rumah beserta rumah itu besar. Dengan seperampat beton bagian bawah, sementara di bagian atas berdinding kayu dengan nuansa Melayu.

Tidak salah jika rumah itu bernuansa Melayu, orang yang tinggal di sana berpangkat Encik. Salah satu pangkat yang tinggi bagi Masyarakat Kepulauan Riau. Obar tinggal di sana, lahir di sana dan besar di sana.

Tok Tok Tok

"Assalamualaikum," seru Obar mengetuk pintu belakang rumah.

Lihat selengkapnya