paginya, jam dinding sudah menunjukkan pukul 09:00 pagi ketika Iqbal akhirnya terbangun. Bukan karena alarm atau suara ibunya, melainkan suara notifikasi ponsel yang tak berhenti berbunyi. Ia membuka mata dengan berat, mengusap wajahnya, lalu meraih ponsel di samping bantal.
Grup kelas sedang ramai. Pesan-pesan dari teman dan gurunya bertumpuk, sebagian besar berisi pengingat tugas yang belum dikumpulkan. Iqbal membaca sekilas, lalu mengabaikannya. Ia membuka aplikasi media sosial, tenggelam dalam video-video singkat yang mengalihkan pikirannya dari kenyataan.
Di luar kamarnya, ibunya sudah letih menunggu. “Iqbal, ayo makan dulu. Kamu belum sarapan,” suaranya terdengar lelah, tapi tetap penuh perhatian.
Iqbal keluar dengan langkah malas. Matanya masih terpaku pada layar ponsel. Tanpa bicara, ia duduk di meja makan, dia makan sambil bermain hp.Ibunya memperhatikannya, mencoba menahan rasa sedih yang kian menumpuk.
“Kamu nggak ada kelas hari ini?” tanya ibunya.
"Ada, Ma. Nanti aja,” jawab Iqbal singkat, matanya tetap terpaku pada layar.
“Kamu mau sampai kapan begini terus?” suara ibunya bergetar, menahan emosi.
Iqbal terdiam. Ia tahu ibunya kecewa, tapi ia tidak punya jawaban. Rasanya, dunia bergerak tanpa dirinya. Pandemi memang sudah berlalu, sekolah sudah kembali normal, tapi Iqbal tetap berada di tempat yang sama tertahan dalam kebiasaan yang sulit diubah.
Hari itu berlalu tanpa ada yang berubah. Iqbal kembali ke kamarnya, kembali tenggelam dalam dunia maya. Tugas-tugas yang menumpuk ia abaikan. Peringatan dari guru-guru masuk ke ponsel orang tuanya, tapi semuanya hanya menjadi beban tambahan yang tak kunjung dihadapi.
Sore itu, ayahnya pulang lebih awal dari biasanya. Ia duduk di ruang tamu, wajahnya serius. Iqbal dipanggil, dan dengan berat hati, ia keluar dari kamarnya.
“Kita bicara,” kata ayahnya tegas.
Iqbal duduk di seberang ayahnya, merasa seperti terdakwa di pengadilan. Ibunya duduk di samping, matanya berkaca-kaca.