Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #1

Chapter 1- Kabut pagi dan Suara ejekan

Kabut pagi masih menyelimuti jalan tanah di depan rumah Ayla Larasati. Udara desa menusuk kulitnya yang kurus, membuat ia bergidik pelan. Matahari belum menampakkan diri sepenuhnya, hanya semburat kuning pucat di ufuk timur, tertutup pepohonan mangga dan rambutan milik tetangga.


Ayla menata ember cucian di samping sumur tua dengan hati-hati. Tangannya kaku karena dingin, tapi ia tetap mengucek pakaian perlahan. Suara ayam berkokok bersahutan menandai pagi telah datang.


“Aylaa… sudah cuci baju?”

Suara ibunya terdengar pelan dari dalam dapur.




Ayla menoleh cepat.

“Sudah, Bu. Tinggal bilas yang ini,” jawabnya sambil merendam kain terakhir.


Ibunya muncul di pintu dapur, mengenakan daster hijau tua yang warnanya sudah pudar. Keriput di wajahnya semakin jelas diterpa cahaya pagi. Perempuan itu menatap putri bungsunya lama, seolah menyimpan banyak kata yang tak pernah sempat diucapkan.


“Kalau sudah, sarapan ya. Ibu bikin nasi goreng seadanya,” katanya lembut.




Ayla menahan senyum meski hatinya perih. Ia tahu nasi goreng itu hanya nasi putih dicampur garam, bawang goreng, dan sedikit kecap. Di rumah ini, lauk mewah adalah kemewahan yang jarang datang.


“Iya, Bu. Sebentar lagi,” balasnya pelan.


Ia menatap jemuran pakaian yang bergoyang pelan tertiup angin. Suara ibu-ibu mulai terdengar – ada yang menyapu halaman, ada yang menimba air di sumur, dan suara anak kecil berlarian di jalan setapak depan rumah.


Ayla menunduk, menahan air mata yang tiba-tiba menggenang. Sudah satu tahun sejak ia lulus SMK, namun belum juga mendapat pekerjaan. Bukan karena malas. Hampir setiap hari ia mencari informasi lowongan, bertanya ke teman, saudara, hingga tetangga. Namun jawabannya selalu sama:


“Maaf ya, belum ada lowongan.”




Bahkan job fair pun sudah pernah ia ikuti, namun tak satupun perusahaan memanggilnya interview.





Setelah menjemur pakaian, Ayla masuk ke dapur. Ibunya sudah menyiapkan dua piring nasi goreng sederhana di atas meja kayu tua.


“Bapak mana, Bu?” tanyanya pelan.




“Masih tidur. Semalam batuk-batuk terus,” jawab ibunya sambil duduk di hadapannya.


Ayla terdiam. Ibunya menepuk pundaknya pelan.


“Makan dulu, Nak.”




Ayla mengangguk, mulai menyuap nasi goreng hambar itu perlahan. Rasanya nyaris tak ada, namun ia menelannya juga.


Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di depan rumah. Ayla menoleh cepat. Dari sela dinding bambu, ia melihat sosok lelaki tinggi mengenakan jaket kulit hitam lusuh. Hatinya langsung menciut.


“Assalamualaikum,” sapa lelaki itu dengan suara berat.




Ibunya buru-buru keluar. Ayla mendengar percakapan mereka di teras.


“Wa’alaikumussalam. Eh, Pak Rahmat. Masuk dulu, Pak.”


“Makasih, Bu. Saya nggak lama. Cuma mau mengingatkan, Bu. Hutang kemarin sudah setahun. Dulu katanya mau dibayar setelah Ayla lulus sekolah.”




Suara ibunya mengecil.


“Iya, Pak. Maaf… belum ada uangnya. InsyaAllah kalau ada kiriman dari kakaknya Ayla, kami bayar ya. Terima kasih sudah sabar, Pak.”




“Nggak apa-apa, Bu. Tapi saya lagi butuh banget. Tolong diusahakan secepatnya ya.”




“Iya, Pak… kami usahakan.”


" Yasudah saya permisi dulu bu, assalamu'alaikum."


" Iya pak, waalaikumsalam. "




Langkah kaki Pak Rahmat perlahan menjauh. Ayla menunduk, menahan tangis. Hutang itu dulu dipinjam untuk membayar UDT dan seragam sekolahnya saat kelas 12. Kini sudah setahun lulus, tapi ia belum bisa membantu membayarnya.





Setelah sarapan, Ayla menyapu halaman. Kabut mulai menipis, digantikan sinar matahari pagi. Namun kehangatan itu tak mampu mengusir dingin di hatinya.


Saat menyapu, terdengar suara dua ibu-ibu tetangga yang lewat sambil menenteng tas belanja.


“Eh, itu Ayla ya?” suara salah satu ibu terdengar sengaja dikeraskan.

“Iya, kasihan ya. Udah lulus kok nggak kerja-kerja. Mau nunggu rezeki jatuh dari langit kali,” sambung satunya dengan tawa kecil.

“Percuma sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya nganggur juga.”




Lihat selengkapnya