Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #2

Chapter 2 - Siang panas dan Rupiah pertama

Jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul sebelas siang. Matahari menyorot tajam menembus celah-celah atap rumah Ayla Larasati, menimbulkan garis cahaya di papan kayu ruang tamu. Udara desa semakin gerah. Angin hanya berembus perlahan dari jendela bambu yang terbuka setengah, membuat keringat membasahi pelipis Ayla meski ia hanya duduk bersandar di dinding.


Ia menatap layar ponsel Android-nya. Saldo pulsa yang dibeli pagi tadi di konter masih utuh. Belum ada satu pun pembeli. Hatinya diselimuti cemas dan sedikit penyesalan.


“Apa gak ada yang mau beli pulsa sama aku… atau mereka belum tau aku jualan?”




Dari dapur terdengar suara ibunya menanak nasi di atas tungku kayu. Bau asap dan aroma nasi hampir matang bercampur menenangkan hatinya, meskipun perutnya kembali keroncongan. Tadi pagi ia memang sudah sarapan nasi goreng seadanya, tapi porsinya hanya sedikit.


Ayla menatap keluar pintu. Jalanan tanah di depan rumah tampak sepi, hanya suara ayam berkokok dan anak-anak kecil berlarian sambil tertawa di kejauhan. Ia menarik napas dalam. Tubuhnya masih terasa lemas akibat obat TB paru yang rutin ia minum setiap subuh sebelum makan. Namun ia menatap layar ponselnya lagi dengan tekad kecil.





Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Ayla menoleh cepat. Seorang ibu-ibu tetangga, Bu Yani, muncul sambil menenteng dompet kecil dan tersenyum lebar.


“Assalamualaikum…” sapa Bu Yani ceria.


“Waalaikumussalam, Bu…” jawab Ayla pelan, berusaha duduk lebih tegak meski dadanya terasa sesak menahan batuk yang sering muncul tiba-tiba.


Bu Yani berdiri di ambang pintu, menatap Ayla ramah. “Ayla, denger-denger kamu sekarang jualan pulsa ya?”


“Iya, Bu… baru mulai pagi tadi.”


“Alhamdulillah… bagus atuh. Boleh isi pulsa sepuluh ribu nomor ini ya,” ucap Bu Yani sambil menyebutkan nomor anaknya.


Ayla segera mengetik di ponselnya, menekan layar Android yang sudah sedikit retak di ujung bawah. Tangannya bergetar menahan haru. Setelah memastikan transaksi sukses, ia menatap Bu Yani dengan senyum kecil.


“Udah masuk ya, Bu… tiga belas ribu.”


“Oh iya .” Bu Yani menyerahkan selembar Rp10.000, dua lembar Rp1.000 baru, dan selembar Rp1.000 yang sudah lusuh. “Ini pas ya. Semangat jualannya.”


“Terima kasih banyak, Bu…” jawab Ayla dengan suara bergetar menahan tangis bahagia.





Setelah Bu Yani pergi, Ayla menatap uang tiga belas ribu itu lama. Keuntungannya memang hanya sekitar dua ribu rupiah, tapi baginya itu adalah awal. Air matanya menetes pelan, bukan karena sedih, melainkan lega. Untuk pertama kalinya sejak ia jatuh sakit, hatinya merasakan setitik kehangatan.


Ibunya keluar dari dapur sambil mengelap tangan di daster hijau tuanya. “Kenapa, Nak?”


Ayla menoleh dengan mata berair dan tersenyum kecil. “Bu… barusan ada yang beli pulsa.”


Ibunya menatap putri bungsunya lama, lalu ikut tersenyum. “Alhamdulillah… lihat kan, Nak? Allah gak pernah tidur. Pelan-pelan, pasti ada jalannya.”


Ayla mengangguk pelan. Ia menatap wajah ibunya lama, mengukir doa dalam hati.


“Ya Allah… aku cuma ingin membantu orang tuaku. Lancarkan rezeki ku ya allah, aku cuma ingin mereka tenang di hari tua.”






Siang itu panas terasa semakin menyengat. Namun bagi Ayla, untuk pertama kalinya, ada sejuk menetes di hatinya. Rupiah pertama itu menjadi bukti kecil bahwa ia tak boleh menyerah. Ia mengepalkan tangan pelan, menatap langit biru di luar rumah.


“Aku pasti bisa… sedikit demi sedikit… aku pasti bisa bangkit.”




Ayla menaruh uang tiga belas ribu itu di kotak plastik kecil di sudut kamarnya. Kotak itu dulunya tempat benang jahit milik ibunya. Kini, ia jadikan tempat khusus menyimpan hasil jualan pulsa.


Ia bersandar di dinding kamar, menatap langit-langit bambu yang sebagian berjamur. Tubuhnya terasa lemas. Obat TB paru yang diminum subuh tadi menimbulkan mual dan pusing, namun ia menahannya sambil memejamkan mata.


Dari luar jendela terdengar suara dua ibu-ibu yang berjalan pulang dari warung. Bisikan mereka pelan, namun jelas di telinganya.


“Ih, kasihan si Ayla itu ya…” suara satu ibu terdengar iba, tapi menyimpan nada mencibir.


“Iya, udah lulus lama tapi gak kerja-kerja. Sekarang malah sakit-sakitan,” balas ibu satunya. “Padahal pinter dulu di sekolah…”

Lihat selengkapnya