Langit sore perlahan berubah jingga. Cahaya matahari menembus celah genteng rumah Ayla Larasati, menimbulkan garis-garis emas di lantai papan kayu yang mulai kusam dimakan usia. Angin sore berembus pelan membawa aroma asap bakar sampah dari ujung gang, bercampur bau rumput basah yang menenangkan. Suasana desa mulai hening, hanya terdengar ayam-ayam masuk kandang dan sesekali motor melintas di jalan kecil depan rumah.
Sejak tadi siang, Ayla hanya berbaring di atas ranjang kayunya. Tubuhnya terasa lemas setelah muntah hebat siang tadi. Kepalanya masih pusing berputar setiap ia membuka mata terlalu lama. Batuk berdahaknya juga semakin parah sore ini, membuat dadanya terasa panas dan sesak.
Ia menatap layar ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Notifikasi WA sepi sejak siang. Baru ada dua pembeli hari ini. Bu Yani beli pulsa Rp10.000 dan satu nomor tak dikenal beli Rp20.000. Keuntungan kecil itu sudah ia masukkan ke kotak plastik kecil di sudut kamarnya. Namun setelah itu, tak ada lagi pembeli hingga sore.
“Apa hari ini cuma segini rezekinya, ya Allah…”
Dari ruang depan terdengar suara laki-laki memanggil pelan.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam…” terdengar suara bapaknya Ayla menjawab serak.
Ayla mendengar percakapan itu dari kamarnya. Suara tamu itu terdengar jelas.
“Pak, besok panen padi di sawah ujung sana. Bisa bantuin gak? Butuh orang buat narik gabah ke pinggir jalan.”
Bapak terdiam sejenak. Lalu menjawab pelan, “InsyaAllah bisa, Mas. Besok jam berapa?”
“Jam enam pagi ya, Pak. Maaf nih nyuruh orang tua kerja, soalnya anak-anak muda sekarang susah diajak kerja sawah,” kata tetangga itu sambil tertawa kecil sebelum pamit pulang.
Bapak hanya tersenyum lemah. “Iya, Mas… InsyaAllah besok saya datang.”
Setelah suara langkah kaki tetangganya hilang, Ayla menutup wajahnya dengan lengan. Air matanya menetes. Dadanya makin sesak menahan tangis.
“Ya Allah… Harusnya aku yang bantu Bapak… bukan Bapak yang sudah tua masih kerja narik gabah orang. Aku ini anak macam apa… gak bisa bantu apa-apa… aku gagal jadi anak…”
Tangisnya pecah pelan. Batuk berdahaknya kembali keluar, menimbulkan rasa panas dan perih di dadanya. Ia menutup mulut dengan tisu bekas agar ibunya tak mendengar.
“Ya Allah… tolong sembuhkan aku… aku pengen bantu Ibu sama Bapak…”
Senja semakin meredup. Matahari tergelincir di balik bukit, meninggalkan warna jingga kemerahan di ufuk barat. Tubuh Ayla menggigil meski udara sore tak sedingin pagi tadi. Batuk berdahaknya semakin sering, membuat tenggorokannya perih dan dadanya nyeri.
Tiba-tiba, terdengar langkah cepat dari arah jalan kecil depan rumah.
“Assalamualaikum…” suara lelaki dewasa, keras namun ramah.
Ibunya keluar cepat dari dapur. “Waalaikumsalam. Eh, Pak Burhan… ada apa ya?”
Pak Burhan, tetangga depan gang, berdiri menenteng dompet kecil hitam. Wajahnya tampak cemas.
“Bu, saya mau beli token listrik. Di warung depan habis. Kata anak-anak sekarang Ayla jualan pulsa sama token ya?”
Ibunya menoleh ke dalam rumah, menatap Ayla yang terbaring lemah.
“Ayla…” panggil ibunya pelan.
Ayla menahan batuknya, berusaha bangun meski tubuhnya berat dan kepalanya berputar. Ia berjalan pelan ke ruang depan sambil menahan dinding.
“Iya, Pak… mau beli token berapa?”
Pak Burhan tersenyum lega meski wajah Ayla pucat dan tubuhnya kurus. “Token dua puluh ribu ya, Dek. Listrik rumah mau mati, udah bunyi terus,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Ayla menekan layar ponselnya pelan. Dahaknya mengganjal tenggorokan, tapi ia menahan batuknya kuat-kuat agar tak terlihat sakit. Setelah selesai, ia menuliskan nomor token di kertas sobekan buku bekas dan menyerahkannya dengan tangan gemetar.
“Ini, Pak… dua puluh tiga ribu ya.”
Pak Burhan menyerahkan uang pas sambil menatap Ayla iba. “Makasih ya, Neng. Kamu istirahat yang banyak ya. Cepat sembuh.”