“Assalamualaikum…” terdengar suara perempuan, keras dan tegas.
Ibu Ayla bergegas keluar dari dapur kecil, mengusap tangannya ke kain dasternya. “Waalaikumssalam… eh, Bu Pitri… pagi-pagi sudah ke sini, ada apa ya? Masuk dulu, Bu…”
Ternyata yang datang adalah Bu Pitri, istri Pak Rahmat. “Ah, nggak usah, Bu… saya sebentar saja,” jawab Bu Pitri cepat, menolak dengan tangan terangkat setengah dada. Suaranya terdengar datar, meski ia berusaha menahan kesal.
“Oh… iya… ada apa ya, Bu?” tanya Ibu Ayla lagi, berusaha tetap ramah meski hatinya mulai merasa tak enak.
Bu Pitri menarik napas pelan. Ia menatap ke arah dalam rumah sebentar, tanpa benar-benar menoleh ke pintu kamar Ayla. Matanya hanya menyapu ruang tamu kecil itu dengan cepat, lalu menatap langsung pada Ibu Ayla dengan sorot mata tajam.
“Begini, Bu… maaf ya saya ke sini pagi-pagi. Ini soal hutang kemarin itu. Sudah setahun lho, Bu… katanya dulu mau dibayar secepatnya, tapi sampai sekarang belum ada setoran sama sekali. Suami saya sampai nyuruh saya yang nanyain, saking udah sering bolak-balik ke sini nggak dapet-dapet,” katanya dengan nada lembut yang dipaksakan, menekan kata-kata terakhir.
Ibu Ayla menunduk dalam. Kedua tangannya saling menggenggam erat, menahan gemetar. “Iya, Bu… maaf banget… kemarin-kemarin belum ada uangnya. Ayla juga masih sakit. InsyaAllah nanti kalau ada rezeki pasti saya bayar…”
Bu Pitri mendengus pelan. Ia menatap ke luar rumah, ke arah jalan desa yang masih sepi. Suaranya pelan tapi menampar hati.
“Anak Ibu kan banyak ya. Ada lima orang. Masa nggak ada satu pun yang bisa bantu bayar hutang orang tua. Empat anak laki-lakinya kan sudah pada menikah semua. Nggak ada yang kasihan sama orang tuanya? Hutang ini cuma dua juta lima ratus. Masa dari kemarin nggak ada yang bantu.”
Ibu Ayla menahan napasnya. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar sebelum pelan-pelan berkata, “Iya… nanti saya coba bicarakan sama kakak-kakaknya Ayla yang di Jakarta ya, Bu… insyaAllah nanti kalau ada rezeki saya langsung bayar.”
Bu Pitri menegakkan bahu, menghela napas kasar, namun tetap berusaha menjaga sopan santun. “Ya sudah… tolong ya, Bu… jangan bikin saya bolak-balik terus. Saya juga butuh uangnya untuk keperluan rumah.”
Ia menatap Ibu Ayla sekilas sebelum akhirnya berkata, meski nadanya dingin, “Ya sudah… saya pamit dulu ya, Bu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam… maaf ya, Bu…” jawab Ibu Ayla dengan suara pelan, menahan air mata yang hendak jatuh.
Langkah kaki Bu Pitri terdengar menjauh, menimbulkan suara berdecit di tanah basah depan rumah. Ibu Ayla menatap punggungnya sampai hilang di tikungan gang, lalu mengusap pipinya cepat, menahan isak yang mendesak di dada.
Tak lama kemudian, terdengar suara batuk pelan dari arah dapur. Bapak keluar sambil mengenakan kaos lusuhnya, menenteng sabit kecil dan caping. Di wajahnya tampak garis-garis lelah, namun sorot matanya tetap teduh.
“Bu, tadi itu Bu Pitri ya? Ada apa pagi-pagi ke sini?” tanyanya pelan.
Ibu menunduk, mengusap matanya sebelum menoleh pada suaminya. “Iya, Pak… tadi Bu Pitri nagih hutang yang dulu itu. Ibu sudah bilang nanti coba dibicarakan sama kakak-kakaknya Ayla dulu…”
Bapak diam, menatap lantai papan kayu di ruang tamu mereka. Napasnya terdengar berat. Perlahan ia berkata, “Ya sudah, Bu… Bapak berangkat kerja dulu ya. Hari ini panen di sawah, Mas Toni minta Bapak bantu narik gabah.”
Ibu mengangguk pelan, matanya masih berkaca. “Iya, Pak… hati-hati ya di sawah, jangan dipaksa kalau capek…”
Bapak tersenyum kecil, meski sorot matanya menyiratkan kepedihan yang tak diucapkan. Ia menatap pintu kamar Ayla sekilas, lalu melangkah keluar rumah, menuruni teras kayu yang berderit pelan. Suara langkahnya terdengar hilang di ujung jalan desa.
Di dalam kamar, Ayla memeluk lututnya erat. Air matanya menetes tanpa bisa dibendung. Hatinya terasa sakit menyesakkan. Ia merasa tak berguna, tak mampu membantu orang tuanya yang setiap hari menanggung beban berat seorang diri.
Setelah Bapak pergi, suasana rumah kembali sepi. Hanya terdengar suara ayam berkokok di kejauhan dan gesekan daun pisang yang ditiup angin. Ayla menatap kosong ke langit-langit kamar. Matanya sembab, dadanya terasa sesak seperti ada batu besar menindih.
Di sawah, Bapak menapaki pematang dengan langkah pelan. Caping lebar menutupi wajahnya dari matahari pagi yang mulai naik. Sabit kecil tergantung di pinggangnya, sementara tali tambang untuk mengikat karung gabah tergantung di pundak kirinya.
Sawah Mas Toni terbentang luas di tepi desa. Padi di sana menguning serempak, siap panen. Beberapa buruh tani sudah datang lebih awal, menyiapkan diri untuk memanen. Mas Toni berdiri sambil mengamati padi-padi itu dengan wajah puas. Ia mengenakan kaos biru tua dan celana selutut yang dilipat.
“Assalamualaikum, Mas,” sapa Bapak pelan sambil menunduk hormat.
“Waalaikumussalam, Pak. Wah, pas banget. Ayo bantu narik gabah nanti ya, biar cepat beres. Soalnya besok mau langsung digiling,” jawab Mas Toni, suaranya tegas tapi ramah.
“Iya, Mas…” Bapak tersenyum kecil, meski hatinya masih berat memikirkan hutang di rumah. Namun, ia menepisnya sejenak. Yang penting hari ini ia bisa bekerja, membawa pulang upah meski tak seberapa,setidaknya cukup untuk beli beras dan kebutuhan harian lainnya.