Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #5

Chapter 5 - Diantara panas dan sesak

Suasana rumah siang itu begitu panas. Matahari menancap tegak di atas genting, menimbulkan bayangan pendek di tanah halaman depan. Angin nyaris tak berhembus, membuat udara dalam rumah seperti terkurung.


Bapak masih duduk di kursi kayu dekat tungku dapur, sementara Ayla bersandar di lututnya, memejamkan mata pelan. Tangannya yang kurus tetap menggenggam ujung sarung Bapak erat-erat, seolah tak ingin dilepas.


Ibu menatap mereka sambil menuang air panas ke dalam gelas. Aroma kopi hitam segera memenuhi ruangan sempit itu. Ia menyerahkan gelas kopi itu pada Bapak dengan pelan. “Pak, kopi dulu… biar nggak pusing. Panas banget siang ini.”


Bapak menerima gelas itu, meneguknya sedikit demi sedikit. Keringat menetes dari pelipis dan dagunya. Ia meletakkan gelas di lantai papan kayu, lalu memijat-mijat pergelangan tangannya sendiri, menahan pegal yang menyesaki sejak pagi di sawah.


Melihat itu, Ayla membuka matanya perlahan dan menatap tangan Bapak. Dengan suara pelan, ia berkata, “Bapak pegal ya? Sini Ayla pijitin…”


Bapak menatap putrinya dengan mata berkaca. Wajah Ayla terlihat semakin pucat, bibirnya kering, napasnya pendek-pendek.


“Enggak usah, Nak…” jawab Bapak sambil mengusap kepala Ayla lembut. “Kamu istirahat aja… tiduran di kamar sana biar nggak pusing.”


Ayla menggeleng lemah. “Ayla mau mijitin Bapak dulu … biar Bapak nggak capek…”


Bapak menahan napasnya yang tercekat. Ia menatap Ibu sebentar lalu kembali menatap anak gadisnya. “udah gakpapa,ini bapak cuman pegal-pegal biasa aja ko nanti juga ilang sendiri pegal nya, udah sana istirahat di kamar .”


Perlahan, Ibu menunduk dan membujuk Ayla. “iya ay… yuk pindah ke kamar. Biar tidurnya lebih enak.”


Ayla diam, menatap wajah Ibu lalu Bapak. Matanya terasa berat, kepalanya pusing, dan napasnya sesak. Akhirnya, ia mengangguk pelan. Ibu menuntunnya berdiri sambil menopang ketiaknya. Tubuh Ayla begitu ringan, namun juga terasa rapuh.


Dengan langkah perlahan, ibu membawanya ke kamar. Ayla duduk di dipan kayu dekat jendela kecil yang tertutup kain kumal. Ia bersandar pada bantal tipisnya,



Tak lama kemudian terdengar suara dari depan rumah.


“Assalamualaikum…”


Ayla membuka matanya perlahan. Ia mendengar suara seorang anak muda yang baru datang membeli pulsa siang itu. Suaranya terdengar malu-malu dari ambang pintu depan.


“Teh… isi pulsa dua puluh lima ribu ya.”


Ayla perlahan bangkit duduk di tepi dipan kayu, lalu menghampiri anak muda itu. Ia mengusap wajahnya dan berusaha menegakkan punggung meskipun kepalanya masih sedikit pusing. Ia tersenyum tipis pada anak muda itu, Rendi, tetangganya yang masih duduk di kelas 3 SMA.


“Nomornya mana, Ren?” tanyanya pelan.


Rendi menyebutkan nomor ponselnya sambil mendekat ke ambang pintu kamar. Ayla segera mengetik dengan cepat meski jarinya sedikit gemetar. Ia memastikan kembali nomor tersebut sebelum menekan tombol kirim.


“Udah masuk, Ren,” ucap Ayla sambil menoleh.


“Berapa, teh?”


“Dua puluh tujuh ribu.”


Rendi mengangguk. Ia merogoh saku celananya dan menyerahkan uang itu langsung ke tangan Ayla.


"Pas gak uang ya? "


“Pas teh makasih ya,” katanya sambil tersenyum kecil.


Ayla membalas senyumnya, meski lemah. “Iya, Ren… makasih juga.”


Rendi pun pamit pergi. Ayla menatap uang di tangannya, kemudian pergi ke kamar dan meletakkannya pelan di kotak plastik kecil di samping bantalnya.


Ia menarik napas dalam dan menatap langit-langit lagi. Meski kepalanya masih pening, hatinya sedikit lega karena bisa membantu meskipun hanya melayani satu orang yang membeli pulsa siang itu.



Ayla memejamkan matanya pelan. Tubuhnya masih terasa lelah, tapi tidak selemah beberapa bulan lalu saat baru mulai sakit. 


Ia menarik napas dalam. Udara siang itu panas, membuat keringat membasahi bagian belakang lehernya. Perlahan, ia bangkit duduk bersandar di dinding kayu kamar. Ia merapikan jilbabnya yang sedikit kusut dan menegakkan punggung.


Dari pintu kamar yang setengah terbuka, ia bisa melihat Ibu duduk di dapur menyiangi daun singkong untuk makan nanti sore. Bapak masih duduk di kursi kayu dekat tungku, menatap kosong ke arah lantai sambil memijat pergelangan tangannya yang pegal.


Ayla menatap mereka lama. Ada keinginan untuk segera pulih sepenuhnya agar bisa membantu lebih banyak di rumah. Namun ia bersyukur, sekarang ia sudah tidak sesulit dulu untuk bangun. Obat rutin yang diberikan Puskesmas cukup membantunya mengurangi rasa sakit di dadanya.


Perutnya berbunyi pelan. Ia menoleh ke arah jendela, melihat cahaya matahari menembus kain kumal yang menutupinya, menimbulkan corak kuning keemasan di lantai papan.


Dengan pelan ia berdiri dan melangkah ke luar kamar. Kakinya masih sedikit gemetar, tapi ia berusaha menapakkan langkah dengan mantap. Ia menghampiri Ibu dan duduk di sampingnya, ikut membantu memetik daun singkong.


“Udah istirahatnya, Ay?” tanya Ibu sambil menoleh.


Ayla tersenyum kecil. “Iya, Bu. Ayla udah enakan kok sekarang… Ayla bantuin ya…”


Ibu menatap wajah putrinya, menahan air mata yang hendak jatuh. Melihat Ayla yang masih mau membantu meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya membuat hatinya sesak – antara bangga dan sedih.


Lihat selengkapnya