Ayla duduk di lantai papan kayu dekat kaki Bapak. Tangannya terus memijat pelan dada dan lengan Bapak yang kian dingin oleh keringat. Napas Bapak berat dan tersengal, matanya terpejam menahan sakit di ulu hati.
“Pak… pelan-pelan tarik napasnya ya, Pak…” ucap Ayla pelan sambil menahan air matanya.
Ibu mondar-mandir di dapur mencari minyak kayu putih dan segelas air hangat. Suara sendok beradu dengan gelas terdengar gemetar di tangannya.
“Nih, Pak… minum dulu pelan-pelan ya,” kata Ibu menahan tangis saat menempelkan gelas ke bibir Bapak.
Bapak meneguk sedikit, namun tangannya bergetar hebat. Air menetes dari ujung gelas ke baju lusuhnya. Napasnya masih berat, matanya basah menahan sakit yang mencengkeram dada dan perutnya.
Ayla menatap wajah Bapak lama. Bayangan masa kecilnya muncul satu per satu saat Bapak menggendongnya pergi ke klinik saat ia demam tinggi, saat Bapak mengantar Ayla sekolah meski hujan deras, saat Bapak membelikan jajan gorengan sepulang menggarap sawah meski uangnya tinggal seribu rupiah.
“Pak…” suara Ayla tercekat. “Bapak jangan kenapa-napa ya, Pak… Ayla belum bisa bahagiain Bapak sama Ibu…”
Bapak membuka mata pelan, menatap Ayla yang berlutut di depannya. Ia berusaha tersenyum meski wajahnya pucat pasi. Tangannya yang dingin mengusap kepala Ayla lemah.
“Bapak… gak papa… cuma… kambuh dikit… nanti juga… reda…,” ucap Bapak pelan, terputus-putus.
Ibu duduk di samping mereka, menahan bahu Bapak yang mulai lunglai. Air matanya jatuh satu per satu tanpa bisa ditahan. Hatinya menjerit melihat suami dan anak gadisnya sama-sama sakit, sama-sama menahan perih tanpa banyak keluh.
“Pak… udah ya, tiduran dulu di kamar… nanti Ibu pijitin…,” bujuk Ibu dengan suara parau.
Bapak mengangguk pelan. Dengan susah payah, mereka menuntun Bapak masuk ke kamar. Ayla menopang lengan kanannya, Ibu menahan punggung kirinya. Setiap langkah Bapak menimbulkan bunyi decit lantai papan kayu yang terdengar menyesakkan.
Saat sudah sampai di dipan, Bapak berbaring dengan napas memburu. Matanya terpejam menahan perih. Ayla duduk di lantai sambil terus memijat tangan Bapak, sementara Ibu menyiapkan minyak kayu putih dan mengoleskannya di dada dan perut Bapak.
Di luar kamar, suara ayam tetangga terdengar berkokok panjang. Angin siang itu berembus kering, membawa debu jalanan masuk lewat celah-celah jendela. Ayla menatap wajah Bapak lama, menahan tangis yang terasa mengganjal di kerongkongannya.
“Pak… nanti kalau Ayla udah sembuh, Ayla janji bakal bantu Bapak buat cari uang…,” ucapnya pelan.
Bapak tak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, menahan sesak yang berdenyut di ulu hatinya. Ibu menatap Ayla sambil mengusap bahunya pelan.
“Udah, Ay… sekarang kamu istirahat dulu ya… biar Ibu yang jagain Bapak.”
Ayla menggeleng pelan. “Ayla mau di sini aja, Bu…”
Ia menunduk, menatap lantai papan yang penuh goresan waktu. Air matanya jatuh satu per satu tanpa suara. Dalam hatinya, ia berdoa keras-keras, memohon agar Tuhan memberinya sedikit saja waktu dan kekuatan – agar ia bisa sembuh, agar Bapak juga kuat, agar mereka tak perlu terus hidup dalam rasa sakit dan sesak seperti ini.
Siang itu terasa panjang. Angin kering berembus pelan, menimbulkan suara gemerisik pada kain jendela yang kusam. Ibu duduk di samping Bapak sambil terus mengipasi wajah suaminya. Ayla bersandar di kaki dipan, menatap langit-langit kamar sambil menahan napas beratnya sendiri.
Dalam diam, ia berkata pada dirinya sendiri:
> “ Aku harus sembuh, aku harus kuat. Karena kalau bukan Aku, siapa lagi yang akan bantu Ibu dan Bapak di rumah ini…”
Dan di siang yang panas itu, dengan tubuh lemah dan dada yang sesak, Ayla menutup matanya, berusaha menahan sakit sambil terus memegang tangan Bapak erat-erat. Seolah ia ingin menukar separuh nyawanya, asalkan Bapak tak perlu menahan perih yang sama seperti dirinya.
Langit sore berubah jingga kelabu ketika suara adzan Asar menggema dari surau dekat rumah. Ayla masih duduk bersandar di dipan, menatap jendela yang retak di sudutnya. Cahaya matahari menembus celah tirai, menyorot wajah Bapak yang pucat. Napas Bapak kini lebih tenang meski masih berat.
Ibu sedang menyiapkan bubur di dapur. Suara sendok beradu dengan panci sesekali terdengar, pelan dan terburu. Sesekali Ibu terbatuk kecil, menahan sakit di tenggorokannya sendiri. Rumah itu sunyi, hanya sesekali terdengar kokok ayam dan suara motor melintas di jalan tanah depan rumah.
Ayla mengusap kening Bapak yang basah oleh keringat dingin. Tubuhnya sendiri masih lemah, sesak di dadanya belum sepenuhnya reda sejak pagi. Tapi ia tetap duduk di sana, memijat tangan dan dada Bapak pelan-pelan.
“Pak… udah mendingan?” tanyanya pelan.
Bapak membuka mata perlahan. Ia menatap langit-langit, lalu menoleh sebentar pada Ayla. Senyum tipis muncul di wajahnya, meski matanya masih basah menahan sakit.
“Lumayan… udah agak enakan…,” jawabnya pelan.
Ayla menarik napas lega, meski sesak di dadanya menimbulkan rasa perih. Ia menatap wajah Bapak lama, memperhatikan rambut Bapak yang semakin memutih di pelipisnya, kulit wajahnya yang semakin menua dan keriput.