Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #7

Chapter 7- Pagi yang membeku

Jam dinding bambu menunjukkan pukul lima pagi. Langit di luar masih gelap kebiruan, hanya sedikit cahaya jingga menetes di ufuk timur. Udara subuh menembus celah-celah dinding anyaman bambu rumah mereka, menimbulkan rasa dingin yang menggigit kulit.


Ayla terbangun di atas tikar tipis di lantai papan kayu dekat dipan Bapak. Selendang lusuhnya sudah tak mampu menahan dingin subuh. Ia mengusap matanya pelan, menatap Bapak yang masih terbaring dengan napas berat dan cepat. Di sampingnya, Ibu duduk bersandar di dinding, matanya terpejam menahan kantuk sejak semalam.


Perut Ayla terasa perih, kosong sejak malam. Namun ia mengabaikannya. Dengan pelan, ia bangkit dari tikar sambil menahan sakit di dada kirinya. Tubuhnya lemas, kepalanya ringan seperti melayang, tapi ia menahan semuanya dalam diam.


Pelan-pelan, ia melangkah keluar kamar Bapak, menyusuri lantai papan kayu yang mengeluarkan bunyi berderit di setiap injakannya. Ia masuk ke kamarnya sendiri, mengambil strip obat TB paru di atas rak kayu dekat bantal tidurnya. Strip plastik berisi tablet merah itu menatapnya seolah mengejek. Tangannya gemetar saat meraihnya, rasa mual langsung muncul hanya dengan melihat warnanya.


 “Bismillah… Aku harus kuat… biar cepat sembuh… biar bisa bantu orangtuaku…”




Dengan napas terengah, ia berjalan menuju kamar mandi kecil di belakang rumah. Ia mencuci muka dengan air subuh yang menusuk kulitnya. Matanya sedikit lebih segar meski dadanya masih terasa sesak. Lalu ia mengambil wudhu perlahan. Setiap gerakan terasa berat, terutama saat menunduk. Dada kirinya menekan sakit, napasnya terputus-putus.


Selesai wudhu, ia duduk sebentar di bangku kayu dekat ember. Tangannya meraih botol air putih kecil yang ia bawa dari kamar. Sebelum menunaikan sholat Subuh, ia meneguk tablet merah itu bersama air. Rasa pahit dan getirnya langsung memenuhi mulut dan kerongkongan, menimbulkan rasa mual yang menekan perut kosongnya. Namun Ayla menahannya. Ia menunduk lama, menahan sesak di dadanya, 

setelah itu ia bangkit dan pergi ke kamarnya. 




Pelan-pelan, ia berdiri menunaikan sholat Subuh di atas sajadah tipis di kamarnya. Suaranya bergetar ketika membaca Al-Fatihah. Tubuhnya lemas, tapi hatinya tetap memohon kekuatan. Setelah salam terakhir, ia menatap lantai papan kayu di bawahnya, menahan air mata yang jatuh satu per satu.


Tak lama kemudian, terdengar suara Ibu dari depan kamarnya.


“Ayla… udah minum obatnya, Nak?”


Ayla menarik napas panjang, lalu menjawab pelan sambil menahan mual di tenggorokannya.


“Udah, Bu…”


Di luar, langit mulai memerah perlahan. Suara ayam berkokok bersahutan. Pagi itu datang membawa udara dingin yang menembus lantai papan kayu rumah mereka, menambah sunyi dan takut di hati Ayla, ketika hari baru tiba tanpa membawa apa pun selain rasa khawatir kehilangan.




Ayla masih duduk di atas sajadahnya, menahan kantuk dan mual setelah minum obat. Ia menatap langit yang perlahan berubah warna dari kelabu menjadi jingga pucat. Suara ayam dan burung mulai terdengar bersahutan di luar. Di dalam kamar, udara dingin membekukan tulang, lantai papan kayu terasa menusuk telapak kakinya yang telanjang.


Tiba-tiba terdengar suara batuk keras dari arah kamar Bapak. Batuk yang dalam dan berat, seperti menahan sesuatu yang mengganjal di paru-parunya. Ayla terlonjak kaget. Ia langsung bangkit, hampir terpeleset di lantai kayu saat berlari kecil keluar kamarnya.


“Bapak…!” panggilnya panik.


Di kamar Bapak, ia melihat tubuh kurus itu menggigil hebat. Batuknya tak berhenti. Seluruh dadanya naik turun cepat, napasnya terputus-putus. Ibu yang sedari tadi duduk bersandar di dinding langsung menahan tubuh Bapak, menepuk-nepuk punggungnya pelan.


“Pak… istighfar, Pak… pelan-pelan napasnya,” ucap Ibu dengan suara bergetar menahan takut.


Ayla berdiri di dekat pintu, tubuhnya menegang. Ia melihat mata Bapak yang sayu menatap kosong ke langit-langit. Mulutnya sedikit terbuka, suara napasnya berbunyi seperti siulan kecil. Dadanya terus naik turun cepat, kemudian batuk lagi dengan suara berat yang menggetarkan lantai papan kayu.


“Bu… Bapak kenapa, Bu…?” tanya Ayla dengan suara pelan, namun matanya berkaca-kaca.


Ibu menoleh sebentar, air mata menetes tanpa ia sadari. “Cepet, ambilin air hangat sama minyak kayu putih di rak dapur, Nak… cepet…”


Ayla berbalik, berlari di sepanjang lorong rumah. Kakinya menjejak lantai papan kayu yang dingin dan berderit keras. Tangannya gemetar saat mengambil botol minyak kayu putih di rak dapur. Air matanya jatuh satu per satu. Dari dalam kamar terdengar lagi suara batuk Bapak yang semakin keras, bercampur suara Ibu yang mulai terisak sambil membaca doa-doa pendek.


Hatinya berdegup kencang. Takut. Panik. Seolah pagi itu tak membawa cahaya, melainkan kabar menakutkan yang sudah lama ia bayangkan tentang kehilangan yang perlahan tapi pasti menjemput di antara dinginnya subuh rumah mereka.



Tak lama setelah batuknya reda, napas Bapak mulai tenang meski masih berat. Ibu memijat pelan dadanya sambil mengoleskan minyak kayu putih. Ayla duduk di lantai papan kayu dekat kaki Bapak, menatap wajah lemah itu dengan hati lega bercampur takut.


“Alhamdulillah ya Allah…” ucap Ibu sambil menahan air mata. Ia menoleh pada Ayla, menepuk bahunya pelan. “Udah mendingan, Nak… Bapak udah bisa tarik napasnya lagi.”


Bapak membuka matanya perlahan. “Maaf ya, Ay… Ibu… bikin kalian repot terus…” ucapnya pelan dengan suara serak.


Ayla cepat-cepat menggeleng, menahan air matanya agar tak jatuh. “Enggak, Pak… gak papa… asal Bapak cepet sembuh.”


Ayla menatap Ibu lama. Hatinya berdebar menimbang. Lalu dengan suara pelan ia berkata,


“Bu… bawa Bapak ke puskesmas yuk… Ayla masih ada uang sedikit… dari hasil jualan pulsa kemarin…”


Ibu menatap Ayla dengan mata berkaca-kaca. Ia menghela napas panjang. “Nak… Bapakmu gak kuat jalan… badannya lemes banget. Kalau naik ojek, uang kita gak cukup… paling nanti cuma cukup buat ongkos doang, gak bisa buat bayar obat…”


Ayla menunduk menatap lantai papan kayu yang penuh goresan waktu. Dadanya terasa sesak. Ia menatap Bapak yang terbaring lemah sambil menahan nyeri di ulu hatinya.


Lihat selengkapnya