Teriakan itu terdengar nyaring dari kamar Bapak.
“Aaaakh…!”
Jantung Ayla seperti terhempas ke perutnya. Buku resep susu kedelai yang sedang ia baca jatuh ke lantai papan tanpa sempat ia sadari. Ia segera bangkit dari duduknya di lantai kamar, lalu berlari menyeberangi ruang tengah.
“Bapak…!”
Ibu sudah lebih dulu sampai. Di atas dipan kayu, Bapak meringkuk dengan napas memburu, dada naik turun cepat seperti seseorang yang baru saja berlari jauh. Matanya terpejam rapat, keningnya dipenuhi peluh meski matahari pagi baru menembus genting rumah, menandakan waktu belum genap jam sembilan.
“Pak… Bapak kenapa Pak…?” suara Ibu gemetar. Tangannya mengguncang lengan Bapak pelan.
“Perut… perut Bapak sakit… sesak… susah napas…” suara Bapak terdengar parau, terputus-putus di sela hembusan napasnya yang berat.
Ayla mendekat, duduk di samping dipan sambil meraih tangan Bapak yang dingin dan basah oleh keringat. Tangannya kecil dan kurus, terasa seperti memegang sebatang ranting rapuh yang mudah patah jika dipegang terlalu erat.
Bapak membuka matanya sedikit, menatap Ayla dengan pandangan kabur. Di sana ada rasa sakit yang tak mampu ia ucapkan, namun ada juga rasa takut seolah ia sedang menunggu pintu takdir diketuk malaikat.
“Bu… kita bawa Bapak ke puskesmas sekarang ya, Bu… jangan nunggu siang…” suara Ayla serak.
Ibu menatap Ayla lama. Matanya merah, kelopak bawahnya bergetar menahan air mata. Ia mengangguk kecil sambil menelan isaknya.
“Iya, Nak… kamu telepon Pak Udin ya… bilang Bapak darurat…”
Ayla segera meraih ponsel di atas meja, tangannya gemetar. Ia mencari kontak Pak Udin, tetangga mereka yang sering mengojek untuk warga kampung.
“Assalamualaikum, Pak Udin…” suara Ayla tercekat, napasnya terengah oleh panik, “…Pak… bisa ke rumah sekarang, Pak? Bapak saya sesak napas… tolong ya, Pak… kita harus ke puskesmas sekarang…”
“Waalaikumsalam, Ayla… iya , Pak Udin ke sana sekarang…” jawab suara di seberang, terdengar cemas namun sigap.
Ayla menutup telepon sambil menarik napas dalam-dalam untuk menahan tangis.
Tak sampai lima menit, suara motor Pak Udin terdengar di depan rumah. Ibu segera keluar, menahan pintu dengan satu tangan. Ia membantu Bapak bangun perlahan dari dipan, tubuhnya lemas, seperti tak lagi memiliki tulang penyangga.
“Pelan-pelan, Pak… pelan-pelan…” bisik Ibu sambil mengusap dada Bapak yang sesak. Ia mengambil jaket lusuh Bapak dan menutupkannya ke dada serta punggung Bapak.
Pak Udin masuk dan langsung menuntun Bapak ke motor. Dengan susah payah ia membantu Bapak duduk di boncengan. Tubuh Bapak semakin ringan, seakan semua tenaga dan daging perlahan hilang disedot sakitnya.
“Ibu… Ayla ikut juga ya…,” ucap Ayla pelan, menahan tangis.
Namun Ibu hanya menggeleng, suaranya parau saat berkata, “Nggak usah Nak… motor cuma muat satu penumpang… Biar kita tunggu bapak di rumah ya..”
Ayla menatap motor yang perlahan menjauh dari halaman rumah, membawa Bapak yang bersandar lemas di punggung Pak Udin. Angin pagi berhembus pelan, namun rasanya menampar dingin kulit Ayla hingga menembus ke tulang.
Ia berdiri di ambang pintu, memeluk Ibu yang gemetar sambil menatap ujung jalan.
Pak Udin memarkir motornya di depan puskesmas. Ia turun dan menahan lengan Bapak yang hampir terjatuh karena tubuhnya sudah terlalu lemah.
“Pak… pelan-pelan ya Pak…” ujarnya cemas.
Seorang satpam yang berdiri di depan pintu segera membantu menuntun Bapak masuk ke dalam. Udara puskesmas terasa sejuk pagi itu, kipas angin berputar pelan di langit-langit, menambah dingin di kulit Bapak yang menggigil.
“Pak, mau berobat ya? Silakan daftar dulu di loket administrasi,” kata satpam itu sambil menunjuk loket di sebelah kiri pintu masuk.
Pak Udin menuntun Bapak berjalan perlahan ke loket. Di sana, seorang petugas perempuan berkacamata duduk di balik meja, menatap mereka dengan ramah meski matanya tampak lelah.
“Selamat pagi, Pak. Mau periksa ya?” tanya petugas itu sambil membuka buku pendaftaran.
Bapak mengangguk pelan, napasnya tersengal. Petugas itu menatapnya sejenak, lalu bertanya:
“Bapak punya BPJS?”
Bapak menahan napasnya yang berat. “Gak punya, Bu…”
“Oh… baik, boleh lihat KTP nya, Pak,” kata petugas itu lembut.
Dengan tangan gemetar, Bapak mengeluarkan dompetnya dan memberikan KTP kepada petugas. Perempuan itu mencatat nama, alamat, dan tanggal lahir Bapak di buku pendaftaran.
“Karena gak pakai BPJS, biayanya administrasi ya sepuluh ribu ya, Pak,” ujar petugas itu sambil tersenyum tipis.
Pak Udin cepat-cepat merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu. Ia letakkan di atas meja.
Petugas itu menerima uangnya dan menyerahkan nomor antrean. “Silakan tunggu di ruang tunggu ya, Pak. Nanti dipanggil perawat untuk diperiksa.”
“Terima kasih, Bu…” ujar Pak Udin pelan.
Bapak berjalan tertatih ke kursi panjang di ruang tunggu, duduk sambil menahan sesak dan nyeri di ulu hatinya. Napasnya masih berat, pundaknya naik turun menahan sakit yang seperti menekan dadanya dari dalam.
Pak Udin duduk di sampingnya. “Bapak masih kuat, ya? Sabar dulu, bentar lagi juga dipanggil.”
Bapak menatap lantai, matanya berkaca-kaca. “Sakit banget, Din… ulu ati panas… sesak… sampai ke dada…”
Pak Udin menepuk bahu Bapak pelan. “Sabar ya Pak… semoga cepet dipanggil…”