Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #9

Chapter 9 - Penghasilan online kedua

matahari menyorot garang di atas atap seng rumah Ayla. Udara panas menelusup lewat celah-celah dinding anyaman bambu, membuat keringat menetes di pelipis meski hanya duduk diam.


Ayla hanya tiduran di kamarnya siang itu. Matanya memang terpejam, tapi ia tidak benar-benar tidur. Ia menatap gelap di balik kelopak matanya sambil mendengarkan suara-suara dari ruang tengah. Badannya masih lemas. Nafasnya terasa berat, tapi ia mencoba tetap diam agar Ibu tidak khawatir.


Dari luar kamar, terdengar suara Ibu sedang berbicara dengan Bapak. Suara Ibu pelan, namun jelas di telinga Ayla.


“Pak… tadi pas Bapak ke puskesmas, Mas Toni datang ke rumah,” kata Ibu.


“Oh iya? Mau apa Mas Toni?” suara Bapak terdengar pelan dan serak. Ayla tahu Bapak pasti masih merasa sakit di badannya.


“Mas Toni mau ngajak Bapak kerja lagi besok di sawah. Katanya mau nyiang rumput sama ngasih pupuk. Tapi Ibu bilang Bapak lagi sakit, belum bisa kerja dulu.”


Hening sebentar. Ayla menahan napas, menunggu jawaban Bapak.


“Iya Bu… nanti kalau Bapak udah enakan, Bapak kerja lagi…,” jawab Bapak pelan. Suaranya terdengar sedih, seperti menahan rasa bersalah karena tidak bisa bekerja hari ini.


“Iya Pak gakpapa...sekarang istirahat dulu ya. Jangan dipaksain. Biar cepet sembuh,” kata Ibu menenangkan.


Ayla membuka matanya perlahan. Ia menatap langit-langit bambu yang mulai lapuk di beberapa bagian. Ada rasa sedih yang menyesak di dadanya. Ia ingin Bapak cepat sembuh. Ia juga ingin cepat sehat agar tidak terus merepotkan Ibu dan Bapak.



Ayla keluar dari kamar pelan-pelan. Kepalanya masih terasa ringan, tapi tubuhnya sudah lumayan kuat dibanding tadi pagi. Ia melihat ibu duduk di lantai papan ruang tengah sambil menekuk-nekuk jari, entah sedang menghitung apa.


“Ibu…” panggil Ayla lirih.


Ibu menoleh cepat. “Iya, kenapa?"


Ayla mengangguk kecil. “Bu… Ayla pengen mulai jualan susu kedelai besok. Jadi hari ini Ayla mau belanja bahan dulu ke grosir.”


Ibu terdiam sesaat. Pandangannya menyiratkan lega sekaligus sedih. Lega karena Ayla mulai bangkit lagi, sedih karena ia tahu anak gadisnya itu sedang memaksa diri.


Tanpa banyak tanya, ibu bangkit dan masuk ke kamar depan. Tak lama, ia keluar sambil membawa dompet kecil bermotif bunga. Ia membukanya perlahan, mengambil selembar uang lima puluh ribu yang terlipat rapi di dalamnya. Tangannya sempat berhenti sebelum menarik uang itu sepenuhnya.


Ibu menatap Ayla sambil mengulurkan uang itu pelan.


“Nih, Nak… ini sisa uang berobat bapak tadi, kiriman dari kakakmu,” kata ibu dengan suara berat. Lalu ia menatap wajah Ayla dalam-dalam dan bertanya pelan, “Lima puluh ribu cukup nggak, Nak, buat belanja bahannya?”


Ayla menatap uang itu. Hatinya panas. Matanya berkaca-kaca. Ia menahan napas sebelum mengangguk pelan.


“Cukup, Bu… Insya Allah cukup, jawab Ayla dengan suara bergetar.Yaudah ayla berangkat dulu ya bu, assalamualaikum."


"Waalaikumsalam."


Ayla berjalan pelan menuju grosir langganannya. Hawa siang itu panas menyengat, membuat kulitnya terasa terbakar. Sesampainya di sana, ia langsung mengambil keranjang belanja dan mulai menelusuri rak demi rak.


Ia mengambil sekilo kacang kedelai kualitas bagus, dua bungkus gula pasir, pewarna makanan kuning untuk menambah daya tarik susunya nanti, juga beberapa bungkus plastik segel dan beberapa botol plastik kecil untuk kemasan jualannya.


Setelah memastikan semua bahan lengkap, Ayla menuju kasir dan meletakkan belanjaannya di meja. Kasir mulai memindai satu per satu barang belanjaan Ayla.


Saat menunggu, Ayla menoleh ke arah luar. Pandangannya kosong, pikirannya sibuk membayangkan cara memasarkan susu kedelainya nanti. Namun tiba-tiba matanya menangkap sosok familiar di pinggir jalan depan grosir.


Ka Revan.


Ayla menahan napas. Lelaki itu sedang mengendarai motor sambil tertawa lepas. Di belakangnya duduk seorang perempuan cantik berkerudung cokelat muda, memeluk pinggang Revan dengan santai. Keduanya tampak akrab, berbicara sambil tertawa di atas motor.


Hati Ayla terasa diremas. Ia buru-buru menunduk, menatap lantai putih di depannya. Dadanya panas, matanya memanas, tapi ia segera mengedipkan air matanya agar tak jatuh di depan kasir.


Dia bukan siapa-siapa buat aku, batinnya pelan. Aku juga bukan siapa-siapa buat dia. Aku nggak boleh berharap apa-apa.


“Totalnya empat puluh delapan ribu, Mbak,” kata kasir membuyarkan lamunannya.


Ayla buru-buru membuka dompet, menyerahkan uang lima puluh ribu milik ibunya. Setelah menerima kembaliannya, ia mengucapkan terima kasih dan membawa semua belanjaannya pulang.


Sesampainya di rumah, ia meletakkan plastik belanjaan di dapur. Tanpa istirahat, ia mulai membersihkan kacang kedelai satu per satu, mencucinya hingga bersih sebelum direndam dan siap dihaluskan dengan blender esok pagi.


Sambil membersihkan kacang kedelai itu, Ayla menahan air matanya yang menetes pelan ke dalam baskom.


“Ya Allah… kuatkan aku… Aku cuma mau bantu ibu sama bapak…,” bisiknya pelan, menatap kacang kedelai yang mengapung di air dengan mata berkaca-kaca.



Setelah selesai membersihkan kacang kedelai dan merendamnya di baskom besar, Ayla mencuci tangannya lalu mengusap wajahnya yang masih sedikit basah air mata. Ia menarik napas panjang, menatap baskom yang penuh kacang kedelai dengan senyum kecil.


“Bismillah… semoga laku,” gumamnya pelan.


Ia berjalan ke kamarnya, mengambil handphone yang tergeletak di atas kasur. Layarnya retak di pojok kanan atas, tapi masih bisa digunakan. Ayla membuka aplikasi media sosial dan langsung mengetik status promosi di story-nya.


Lihat selengkapnya