Suara motor berhenti di depan rumah sore itu. Ayla menoleh pelan dari dapur, air matanya masih menggantung di sudut mata. Jantungnya berdegup cepat.
“Assalamualaikum…” terdengar suara berat dari luar.
Ibu yang sedang duduk menekuk jari di ruang tengah langsung bangkit, berjalan keluar sambil menjawab, “Waalaikumsalam… oh Pak Sarif…?”
Ayla mengintip pelan dari balik pintu dapur. Dilihatnya Pak Sarif berdiri di depan pintu dengan topi caping masih menempel di kepalanya. Di belakangnya, motornya terparkir miring dengan karung kosong terikat di jok belakang.
“Maaf ya Bu, saya ngerepotin sore-sore begini,” kata Pak Sarif sambil menepuk-nepuk celana kerjanya yang penuh debu tanah sawah.
“Enggak Pak… ada apa ya?” tanya Ibu dengan senyum tipis yang dipaksakan.
Pak Sarif menatap Ibu, “Ini Bu, saya mau ngambil padi yang bulan lalu Ibu sama Bapak janji mau dikasih. Kan pupuk yang tempo hari Ibu beli, sistemnya tukar sama padi pas panen.”
Ibu menunduk pelan. Ayla melihat tangan Ibu meremas ujung kerudungnya.
“Iya Pak… sebentar ya. Saya panggil Bapak dulu.”
Ibu masuk ke dalam kamar depan. Ayla hanya bisa berdiri di dapur, menatap baskom kacang kedelainya dengan dada sesak. Blender di depannya diam tak bergerak. Sekarang, urusan padi menambah kepalanya yang sudah penuh dengan kekhawatiran.
Tak lama kemudian, terdengar suara Bapak yang pelan dan serak, “Iya Pak Sarif… maaf ya harus nunggu. Biar saya bantuin ngangkatnya.”
Ayla mengintip ke ruang tengah. Dilihatnya Bapak mengenakan kaus tipis lusuh dan celana hitam longgar. Badannya masih tampak lemas, langkahnya tertatih saat keluar menemui Pak Sarif.
“Ah gak usah Pak, biar saya aja,” kata Pak Sarif cepat, menahan lengan Bapak. “Bapak istirahat aja, masih belum sembuh kan? Tadi pagi Mas Toni cerita katanya Bapak sakit sampe di bawa ke puskesmas.”
Bapak hanya tersenyum tipis. “Iya Pak Sarif… maaf ya…”
Pak Sarif mengangguk. “Gak papa Pak...”
Ayla menahan napas mendengar percakapan itu. Dadanya terasa panas. Dua petak sawah yang mereka miliki letaknya di pinggir desa, tanahnya cenderung keras, airnya kadang kurang saat kemarau. Namun setiap panen, hasil padi itu tak pernah benar-benar menjadi nasi untuk keluarga mereka.
Sejak Bapak meminjam uang ke Pak Rahmat setahun lalu untuk biaya sekolah Ayla, Pak Rahmat bersedia membantu dengan syarat: setiap panen padi, keluarga Ayla harus memberikan ‘penghasilan’ padanya. Sebesar 70 kg, Pak Rahmat selalu datang mengambil bagian, entah untuk dijual atau dipakai makan keluarganya.
Selain itu, sebagian padi dijual Ibu untuk membeli pupuk lagi. Hasil panen tak pernah tersimpan utuh dalam lumbung. Setiap karungnya langsung habis dibagi-bagi untuk melunasi utang pupuk, ngasih penghasilan ke Pak Rahmat, atau membeli kebutuhan sehari-hari.
Sementara Ayla hanya bisa menatap kosong dari dapur. Dilihatnya Pak Sarif berjalan menuju belakang rumah, ke gudang tempat Ibu dan Bapak menumpuk karung padi hasil panen 3 bulan lalu. Tak banyak, hanya satu karung kecil dan beberapa ikat padi yang masih belum dirontokkan.
Ia mendengar suara tarikan napas Bapak yang berat. “ini karung padi ya pak sarif”
Pak Sarif mengangguk pelan sambil mengangkat karung ke pundaknya. “Iya Pak…”
Saat Pak Sarif keluar rumah membawa karung padi itu, Ayla menatap lantai dapur dengan air mata menetes satu per satu. Hatinya terasa ditusuk – dua petak sawah yang mereka miliki tak pernah benar-benar memberi mereka kenyang.
Ia mendengar suara motor Pak Sarif menjauh di jalan depan rumah. Ibu masuk ke dapur dengan langkah pelan. Dilihatnya Ayla berdiri menatap blender dengan mata basah.
Ibu menatap blender itu lama, lalu menatap wajah Ayla yang berkeringat dan berlinang air mata.
“Kenapa, Nak… blendernya rusak ya?”
Ayla menahan napas. Tangannya menggenggam kabel blender erat-erat. “Iya Bu… gak mau nyala… tadi udah coba colokin beberapa kali. Ayla mau minjam blender Bu Mia dulu…”
Ibu menatap anak gadisnya itu lama. Ia mengusap pelan pundak Ayla dan berbisik, “Coba satu kali lagi, Nak. Siapa tau masih bisa…”
Ayla menarik napas. Dengan tangan gemetar, ia menancapkan steker ke stop kontak. Tombolnya ditekan pelan. Suara brrrrrrr kecil langsung terdengar. Mata Ayla membesar, menatap blender yang berputar pelan.
“Alhamdulillah…” Ibu menepuk bahu Ayla dengan lega, matanya berkaca-kaca. “Enggak usah minjam ke Bu Mia dulu ya… nanti kalau benar-benar rusak, baru kita pinjam…”