Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #11

Chapter 11 - Hari pertama susu kedelai Ayla

Malam di desa semakin larut. Di luar rumah, suara jangkrik bersahut-sahutan menembus bilik bambu yang menjadi dinding rumah Ayla. Angin malam berhembus pelan lewat celah-celah bilik, menimbulkan suara gemerisik halus seperti bisikan rindu yang tak pernah sampai. Lantai papan kayu di rumah itu terasa dingin, menahan hawa malam yang menggigit tulang.


Lampu minyak di ruang tengah berkerlap-kerlip redup, menimbulkan bayangan samar di dinding bambu. Ibu tidur bersandar di dinding samping Bapak, dengan selimut menutupi tubuh mereka hingga dagu. Sesekali terdengar suara batuk Bapak yang serak dan pelan, namun Ibu tetap terlelap dalam tidurnya yang lelah.


Di kamar kecilnya, Ayla tidur miring membelakangi dinding. Selimut tipis menutupi tubuhnya hanya sampai pinggang. Nafasnya terdengar berat dalam tidur, menahan letih yang terlalu lama menetap di dadanya.



---


Sekitar pukul tiga dini hari, Ayla terbangun. Matanya terbuka pelan menatap langit-langit kamar yang gelap. Suara jangkrik di luar masih ramai, diselingi angin dingin yang menembus celah bilik bambu. Perlahan ia bangkit duduk, merapikan rambutnya yang menempel di pipi, lalu berdiri dengan hati-hati agar papan kayu lantainya tidak berderit keras dan membangunkan Ibu atau Bapak.


Ia berjalan menuju kamar mandi kecil di ujung dapur. Di dalam kamar mandi, ia mengambil air dari bak ember dengan gayung pelan-pelan. Suara air menetes menimbulkan gema kecil di ruangan sempit itu. Airnya dingin sekali, menembus kulit tangannya hingga tulang. Namun Ayla tetap menahannya, membasuh tangan, berkumur, lalu mengusap wajah dengan air wudhu yang terasa menyejukkan hatinya.


Selesai wudhu, ia kembali ke kamarnya. Di atas sajadah biru lusuh yang sudah dibentangkan sejak Isya, Ayla mengambil mukena putihnya yang tergantung di dinding, lalu memakainya perlahan. Ia berdiri menghadap kiblat, mengangkat takbir dengan khusyuk. Dalam gelap dan dingin subuh yang masih jauh, hanya suaranya yang pelan terdengar di sela doa tahajudnya. 




Sujudnya lama. Hening menelan seluruh keluhan, menumbuhkan keikhlasan baru dalam dadanya yang penuh sesak. Setelah salam, Ayla menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menahan isak kecil yang tak pernah sempat ia keluarkan di depan Ibu dan Bapak.




Usai tahajud, Ayla meraih Al-Qur’an kecilnya yang terletak di samping bantal. Ia membukanya perlahan. Suara pelan ayat-ayat suci terdengar di kamarnya, menemani dingin subuh yang menunggu. Sesekali suaranya bergetar, namun ia terus membaca hingga beberapa lembar selesai.


Saat adzan subuh berkumandang dari masjid kecil di ujung gang, Ayla menutup Qur’an dan berdoa lama. Ia kembali berdiri untuk melaksanakan sholat subuh. Rakaat demi rakaat ia lalui dengan tenang. Di rakaat terakhir, sujudnya lama, menumpahkan seluruh lelah dalam diam.


Setelah salam, Ayla menatap langit-langit kamar. Perlahan, ia meraih tas kecil di dekat bantal, mengeluarkan strip obat TB Paru yang harus ia minum setiap jam lima subuh. Tangannya menggenggam strip obat itu erat-erat. Ia menatapnya lama sebelum bangkit berdiri.


Ia melangkah pelan ke dapur. Lampu minyak menari di atas rak bambu, menimbulkan bayangan hangat di dinding. Ayla mengambil gelas plastik dari rak piring, menuangkan air dari teko yang diletakkan di pojok dapur. Setelah gelas terisi, ia meneguk obat TB Paru itu dengan satu kali telan, menahan pahitnya yang menempel di lidah dan kerongkongan.


Setelah menaruh gelas di rak, Ayla menatap baskom besar berisi rendaman kacang kedelai yang sudah ia siapkan sejak kemarin siang. Perlahan, ia meniriskan air rendamannya, lalu membilas kedelai satu per satu dengan air bersih agar kulit arinya mudah terlepas saat digiling nanti.


Tangannya lincah bekerja meski udara dingin menusuk tulang. Ia menyiapkan blender, botol plastik, dan kain saring dengan rapi. Sesekali ia menoleh ke ruang tengah, ibu dan bapak sudah terbangun.


Hari ini, Ayla akan kembali memulai usahanya berjualan susu kedelai. Dalam diam, ia berdoa,


> “Ya Allah, lancarkan rezeki hari ini. Biar aku bisa bantu Ibu sama Bapak, dan cukup untuk makan kami sehari - hari…”




Di luar, langit mulai berubah biru tua. Suara ayam berkokok bersahut-sahutan dari kandang tetangga. Angin subuh menembus celah bambu dapur, menyejukkan wajah Ayla yang menunduk sibuk mengolah kedelai. Dalam dingin pagi itu, hatinya tetap hangat oleh harapan.



Setelah selesai meniriskan air rendaman kacang kedelai, Ayla menyiapkan blender dan kain saring di atas meja kayu kecil di dapur. Tangannya sibuk memilah kedelai yang kulit arinya sudah mengelupas. Udara subuh masih dingin menembus celah-celah dinding anyaman bambu di dapur. 


Tiba-tiba terdengar suara langkah pelan dari ruang tengah. Ayla menoleh. Di ambang pintu dapur, Ibu berdiri sambil merapikan kerudung tipisnya yang setengah terlepas.


 “Ayla… sudah bangun dari tadi?” suara Ibu pelan, serak baru bangun tidur.




Ayla tersenyum kecil. “Iya, Bu. Tadi tahajud sekalian subuh… sekarang siapin susu kedelai dulu buat di jual .”


Ibu berjalan mendekat pelan. Wajahnya masih terlihat lelah, garis keriput di bawah matanya menandakan semalam tidurnya tak nyenyak menunggui Bapak yang batuk terus menerus.


Ibu duduk di bangku pendek dekat meja. Tangannya yang kasar tapi hangat membantu Ayla memilah kedelai, memisahkan kulit ari yang masih menempel satu per satu.


 “Sini, Ibu bantu. Kalau bareng-bareng kan cepet selesainya,” kata Ibu sambil tersenyum menatap Ayla.




Ayla menatap Ibu dengan mata berkaca. “Ibu kan capek, semalem jagain Bapak…”


Ibu menggeleng pelan, tetap menunduk pada tumpukan kacang kedelai. “Capek mah ilang kalo liat kamu semangat jualan ya”


Ayla terdiam. Hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Ia menahan tangisnya, tak ingin air matanya jatuh di hadapan Ibu pagi ini.


Sambil memblender kacang kedelai, Ibu menatap Ayla pelan.


 “Kasih pewarna makanan ya susu kedelai ya biar lebih menarik ”



 “ Iya bu,kemarin aku beli pewarna makanan warna kuning.”



Ibu tersenyum. Tangannya menekan tombol off pada blender . Ia menoleh ke rak atas dekat teko air.

Lihat selengkapnya