Tubuhnya miring ke depan, lututnya nyaris mencium tanah. Tapi sebelum ia benar-benar jatuh, sepasang tangan sigap menangkap lengannya dari samping.
“Hati-hati, Ayla!”
Suaranya jelas. Perempuan. Tegas, namun lembut. Ayla menoleh dengan mata membelalak dan di hadapannya berdiri Bu Weni, dengan kerudung abu-abu dan jaket panjang yang sedikit lembap oleh embun.
Bu Weni menahan tubuh Ayla dengan satu tangan dan memegangi tas kain besar yang nyaris terguling dengan tangan lainnya.
“Ya Allah… ampir aja kamu jatoh ,” ucap Bu Weni sambil menarik napas.
Ayla masih terdiam, wajahnya memerah menahan malu dan terkejut. Ia buru-buru berdiri tegak dan membenarkan letak sandalnya yang terpuntir.
“Maaf, Bu… saya nggak lihat tanahnya licin… makasih banyak ya bu.…”
Bu Weni tersenyum, matanya menyiratkan kelegaan. “Gapapa, yang penting kamu nggak kenapa-kenapa. "
"Ibu mau kemana? Ini pesanan susu kedelai ya baru mau saya anter ke rumah ibu."
"Tadi Ibu niatnya mau ambil sendiri aja ke rumah kamu sekalian ke warung… eh malah ketemu kamu di sini.”
Ayla menunduk, menahan napas panjang. Jantungnya masih berdetak cepat.
“Kalau gitu,” lanjut Bu Weni, “karena sudah ketemu di sini, pesanan ibu langsung ambil aja ya?”
Ayla tersenyum. Ia membuka tasnya, mengeluarkan dua botol susu warna kuning dan delapan warna coklat muda. Bu Weni mengambilnya satu per satu dengan hati-hati.
“Warnanya cantik sekali. Anak-anak pasti suka banget.”
Setelah selesai, Bu Weni mengeluarkan uang dari dompet kecil yang diselipkan di balik jaket. Ia menyelipkannya ke tangan Ayla.
“Ini lebihin sedikit, ya… buat kamu beli kuota juga,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Ayla tersenyum malu. “Hehe… iya, Bu. makasih banyak ya,maaf kemarin nggak langsung bales.”
Mereka tertawa pelan bersama. Di antara embun pagi yang mulai menguap oleh sinar matahari yang meninggi, suara mereka menyatu dengan udara segar dan aroma tanah basah.
Sebelum berpisah, Bu Weni menatap Ayla sekali lagi.
“Jaga kesehatan, Ayla. Jangan terlalu capek. Kamu kan masih berobat jalan kan? "
Ayla mengangguk dalam. “Iya Bu masih… makasih banyak.”
Perjalanan Ayla berlanjut. Langkahnya kini lebih hati-hati, tapi juga lebih ringan. Bukan karena beban di pundaknya berkurang, tapi karena hatinya terasa dipapah oleh kebaikan orang-orang yang peduli.
Ia mengantar pesanan ke rumah Nisa dan Bu Dita. Semuanya berjalan lancar.
Dan saat matahari mulai condong, Ayla pulang ke rumah. Ibu menyambutnya dengan senyum tenang dari bangku dapur.
Ayla melepas sandalnya perlahan di depan pintu dapur, lalu masuk sambil menenteng tas kosong yang tadinya berisi botol-botol susu kedelai. Kini tas itu benar-benar kosong tak ada sisa satu botol pun. Semuanya ludes, sesuai pesanan. Ia memang sengaja membuatnya pas, tak ingin ada yang terbuang sia-sia.
Ibu sedang duduk di bangku pendek dekat tungku, ngulek cabai di cobek batu. Tangan tuanya cekatan, gerakannya mantap meski pelan. Aroma pedas sambal mentah menguar di udara dapur yang masih sejuk.
Begitu mendengar langkah kaki Ayla, Ibu menoleh.
“Udah pulang, Nak?”
Ayla tersenyum lelah, tapi hangat. “Iya, Bu. Alhamdulillah… semua susu kedelai laku. Gak ada sisa.”
Ibu mengangguk, wajahnya mengembang pelan. “Alhamdulillah….”
Ayla duduk di lantai dapur, bersandar ke dinding bambu yang dingin. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan napasnya mengalir perlahan.
“Makasih ya, Bu… udah bantuin bikin susu kedelai tadi pagi. "
Ibu tertawa kecil. “Iya sama- sama."
Ayla tertawa tipis, lalu memandangi ke arah ruang tengah. Ia ragu-ragu sebelum bertanya, suaranya pelan:
“Bu… Bapak tadi malam batuk terus ya? Sekarang gimana kondisinya?”
Ibu terdiam sejenak. Belum sempat menjawab, terdengar suara langkah pelan dari arah dalam rumah.
“Alhamdulillah… udah mendingan, ay."
Suara itu datang dari Bapak.
Ia muncul di ambang pintu dapur dengan sarung dan kaus lengan panjang. Wajahnya masih pucat, tapi tampak lebih segar dari kemarin. Senyum kecil tersungging di bibirnya.
"lambung Bapak udah nggak sakit sekarang. Badan juga udah agak enteng. " Lanjutnya sambil duduk perlahan di bangku dekat pintu
Ayla langsung berdiri menghampiri. Wajahnya lega. “Alhamdulillah, Pak…”