Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Tapi wajahnya, masih cukup jelas dalam ingatan.
Damar adalah kakak kelas Ayla saat SMK. Saat Ayla duduk di kelas 10, Damar sudah kelas 12. Mereka tidak pernah dekat, tapi Ayla mengenalnya karena satu hal, Damar adalah pacar Marsha waktu itu, teman sekelas Ayla yang cukup sering cerita tentang hubungan mereka.
Ayla juga tahu satu fakta lainnya: Revan adalah kakak kelas Damar. Lebih tua satu angkatan. Revan lulus lebih dulu dari dari Damar.
Dan sekarang, tahun-tahun sudah berlalu. Ayla tahu Damar dan Revan bekerja di PT yang sama daerah Jakarta. Ia pernah melihat postingan poto Damar di unggahan Revan.
Ayla menarik napas pendek. Lalu jari-jarinya mengetik pelan.
(Makasih ka☺️)
Tak butuh waktu lama, balasan muncul:
(Kamu masih inget aku gak, Ay?)
Ayla tersenyum kecil, lalu membalas:
(Inget kok. Kak Damar kan? Kelas 12 waktu aku baru masuk.)
(Haha iyaaa, bener banget. Wah aku gak nyangka kamu masih inget. Dulu kamu pendiem banget loh,) balas Damar disertai emoji tertawa.
Ayla hendak mengetik balasan, tapi suara azan duhur berkumandang dari arah surau kecil ujung gang. Suaranya lembut, seolah memanggil pelan dari sela-sela dinding bambu.
Ayla menatap layar sejenak, lalu meletakkan ponsel di atas bantal. Ia bangkit berdiri, berniat mandi sebelum menunaikan salat.
Saat melewati dapur, langkahnya terhenti.
Ibu sedang duduk di depan tungku hau, tanganya memegang songsong bambu panjang yang biasa dipakai untuk menjaga nyala api tetap besar. Di atas tungku, panci besar mengepulkan uap hangat. Aroma gurih langsung menyapa hidung Ayla.
“Ibu masak bubur buat Bapak ya?” Ayla mendekat.
Ibu menoleh sebentar dan mengangguk. “Iya, tadi Bapak bilang pengen makan bubur. Ya udah Ibu masak bubur , sekalian buat makan siang.”
Ayla duduk di bangku kecil dekat pintu dapur. Dapur itu mungil, berdinding anyaman bambu, dengan lantai papan kayu yang sedikit berderit saat diinjak. Meski sederhana, tempat itu menyimpan kehangatan sehari-hari mereka.
Ia berjalan ke belakang dapur, membuka pintu kayu kecil menuju kamar mandi.
Di sana, kamar mandi sederhana dengan dinding anyaman bambu. Di sampingnya berdiri sumur tua, dengan katrol kayu dan ember plastik tua yang masih digunakan tiap hari.
Ayla menimba air perlahan, lalu menyiramkan ke tubuhnya. Airnya dingin menggigit, tapi juga menyegarkan. Seperti membilas beban yang sempat menempel di hati.
Suara ayam dari kandang tetangga dan dedaunan pisang yang bergerak pelan terkena angin, menemani kesunyian siang itu.
Di dapur, Ibu baru saja memindahkan bubur ke mangkuk ketika suara Bapak memanggil pelan dari dalam kamar:
“Bu… HP nya bunyi. Ada yang nelpon, angkat dulu.”
Ibu mengelap tangan, lalu meraih ponsel tuanya di rak bambu. Nama “Taopik ” berkedip di layar.
“Assalamualaikum… iya, Taopik.”
Suara Kak Taopik terdengar lelah namun hangat.
“Waalaikumsalam, Bu. Apa kabar di rumah? Gimana Bapak udah sembuh?”
Ibu menahan napas sejenak, lalu tersenyum meski tak terlihat.
“Alhamdulillah, Nak. Bapak udah mendingan, kemarin udah di periksa ke puskesmas. ”
“Syukur, Bu. Kemarin aku khawatir. Baru bisa nelpon sekarang, kerjaan agak padat.”
Ibu menggenggam ponsel lebih erat. Di kepalanya berkecamuk keinginan meminjam uang gaji Taopik untuk bayar hutang pada Pak Rahmat yang sudah terlalu lama. Ia hampir membuka suara:
“Taopik… sebenernya Ibu mau...”
Taopik mendahuluinya, suaranya lirih:
“Maaf ya, Bu. Bulan ini aku juga belum bisa bantu. Istri sama Aira lagi sakit, udah habis buat berobat. Belum lagi uang sekolah belum lunas.”
Ibu menelan kata-kata yang belum sempat keluar. Hatinya tercekat, tapi ia memaksakan senyum agar suaranya tetap ringan.
“Iya, Nak. Gak apa-apa. Yang penting kalian sehat. Jaga Aira baik-baik.”
Taopik terdiam sebentar, lalu bertanya lagi.
“Ka Riyan sama Epul gimana, Bu? Mereka suka nelpon? Kirim-kirim uang gak?”
Ibu menghela napas, nadanya pelan tapi tetap lembut.
“Ka Riyan jarang nelpon, mungkin masih pemulihan juga. Kan baru dua bulan lalu operasi jantung. Ibu gak nuntut apa-apa, yang penting dia sembuh dulu.”
Ibu jeda sebentar
“Kalau Epul… ya sesekali ngabarin. Kerja di Jakarta juga, tapi gajinya kecil, katanya cuma cukup buat bayar kontrakan sama kirim buat anak istrinya. Ibu ngerti. Gak papa…”
“Iya bu.Bu maaf udah dulu ya telpon ya bentar lagi masuk kerja.Titip salam buat Bapak sama Ayla.Jaga kesehatan di rumah, ya. Assalamalaikum”