Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #14

Chapter 14 - Yang tak pernah Di rencanakan

Ayla menelan ludah pelan, menunduk menatap isi tas yang kosong. Tangannya sudah gemetar saat merogoh lagi bagian dalam, berharap keajaiban kecil terjadi tapi tidak ada.

Dompetnya hanya berisi beberapa lembar uang ribuan, jelas tidak cukup untuk membayar belanjaan.


Di depan kasir, antrian mulai bertambah. Suara bisik-bisik kecil terdengar dari belakang. Tapi Ayla tak berani menoleh. Matanya mulai berkaca, karena malu.

Ia menggumam pelan, “Maaf, Mbak... uangnya kayaknya... ketinggalan di rumah. Bisa ditaruh dulu gak ya?”


Kasir mengangguk ramah. “Gak apa-apa, Ayla. Taruh di sini aja dulu, nanti kalau udah bawa uang, tinggal ambil lagi.”


Ayla menunduk dalam-dalam, bibirnya mengucap terima kasih. Ia mengangkat tasnya dengan lemas dan hendak berbalik ketika suara langkah tergesa terdengar dari arah pintu masuk.


“Ayla!”


Ayla mengenali suara itu. Ia menoleh cepat.


Di ambang pintu, Ibu berdiri dengan napas tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, tapi matanya penuh keteguhan. Di tangan kanannya tergenggam selembar uang yang sedikit terlipat.


“Nih, uang kamu tadi jatuh di jalan, dekat pohon jambu.” katanya sambil menghampiri cepat.


Ayla terpaku. “Ya Allah… Ibu…”


“ Pas Ibu keluar nyapu halaman, Ibu lihat uang ini di tanah. Makanya Ibu cepet-cepet nyusul ke sini.”


Ayla menerima uang itu dengan kedua tangan.


“Iya Bu… ini uangnya. Ayla kira ketinggalan… ternyata jatuh. Makasih banyak ya Bu…”


Ibu menatap anak gadisnya lekat-lekat. Lelah di wajahnya tak menghapus kelembutan.


“Iya...Lain kali lebih hati-hati, ya.

Yaudah kamu bayar dulu sana. ”


Ayla menunduk, menahan isak. “iya bu."



Ia kembali ke meja kasir dan membayar belanjaan. Kasir tersenyum hangat, seolah mengerti apa yang baru saja terjadi.


Dalam perjalanan pulang, Ibu dan Ayla berjalan berdampingan. Tak banyak kata yang keluar, hanya langkah kaki yang menyatu di tanah kampung yang mereka kenal baik. Tapi hati mereka penuh. Ada rasa syukur, ada rasa lega. Dan ada semacam ikatan tak terlihat yang justru semakin menguat.



Langit mulai berubah jingga, menandai sore yang perlahan turun. Angin membawa bau daun kering dan aroma tanah yang khas. Di kejauhan, suara anak-anak tertawa di lapangan kecil dekat pos ronda.


Saat mereka melewati tikungan menuju jalan kecil ke rumah, seseorang melambai dari arah berlawanan.


“Bu…”


Ayla dan Ibu menoleh. Seorang pria bertubuh tegap dengan kemeja lengan digulung dan topi rimba menghampiri mereka. Itu Mas Toni, pemilik sebagian lahan sawah di kampung mereka. Sudah sejak lama beliau kerap mengajak Pak Dirman kerja harian di sawahnya.


“Lho, Mas Toni,” sapa Ibu dengan senyum ramah dan sedikit menunduk. “Baru pulang dari sawah?”


“Iya, Bu. Habis ngontrol irigasi. Mau lanjut ke rumah Pak Sarif, katanya stok pupuk udah datang,” jawab Mas Toni sambil mendekat.


Lalu pandangannya berpindah ke wajah Ibu, ekspresinya berubah jadi lebih serius.


“Gimana kabarnya Pak Dirman sekarang, Bu? "


Ibu mengangguk pelan, senyum di wajahnya tetap terjaga walau tampak letih.

“Alhamdulillah, Mas. Udah mulai membaik. Cuma memang masih harus banyak istirahat, badannya masih lemas. Belum kuat kerja lagi.”


Mas Toni mengangguk dengan wajah penuh empati.

“Alhamdulillah kalau udah mendingan, Bu. Tolong sampaikan, saya doakan semoga cepat pulih. Kalau udah fit, gak usah khawatir, kerjaan di sawah pasti masih ada.”


Ibu tersenyum tulus, menunduk sedikit.

“Aamiin... Terima kasih banyak, Mas Toni. Doa dan perhatiannya .”


“iya sama-sama bu.” jawab Mas Toni.


Ia lalu menoleh ke Ayla sejenak dan tersenyum sopan. “Kamu juga ayla semoga cepat sembuh ya, masih berobat jalan? "


Ayla mengangguk sopan. “Iya, masih . Terima kasih.”


"Sama- sama, kalau gitu saya pamit dulu ya, Bu. Mau buru-buru ke Pak Sarif sebelum magrib.”


“Iya, Mas. Hati-hati di jalan.”


Mas Toni melangkah pergi, meninggalkan suara sandal jepitnya yang bergesek pelan dengan jalan berdebu. Ibu dan Ayla kembali berjalan, membawa pulang lebih dari sekadar belanjaan ada rasa hangat yang ikut mereka bawa.


“Mas Toni perhatian banget sama Bapak ya bu,” gumam Ayla pelan.


“Iya,” jawab Ibu sambil tersenyum kecil. “Orang baik, Ay. Bapak juga selalu cerita, kalau kerja sama Mas Toni itu rasanya gak kayak kerja sama majikan. Lebih kayak kerja sama saudara.”


Langit makin jingga. Senja merambat pelan ke ujung hari. Di hati Ayla, ada rasa yang perlahan tumbuh: bahwa sekalipun hidup mereka tak mewah, tapi di sekeliling mereka masih ada orang-orang baik dan itu lebih dari cukup.




Sesampainya di rumah, Ayla langsung meletakkan belanjaan di dapur. Ia membuka tas kain, mengeluarkan bungkus kacang kedelai, gula pasir, dan plastik kemasan. Tanpa banyak bicara, ia menggulung lengan bajunya dan mulai bekerja.


Suara air dari kran sumur mengalir deras ke dalam baskom besar. Ayla mencuci kacang kedelai dengan telaten, mengaduk perlahan menggunakan tangan agar kulit-kulit arinya terangkat.


Ibu memperhatikannya dari pintu dapur, sambil melipat kantong belanja kain.


Setelah mencuci dua kali, Ayla merendam kacang kedelai dalam baskom lain berisi air bersih. “Besok pagi tinggal blender, terus olah deh ” gumamnya pada diri sendiri.


Ayla membasuh tangan dan berjalan ke kamar. Langkahnya pelan, tubuhnya mulai terasa lelah. Tapi hatinya ringan.



Di dalam kamar, Ayla duduk di ujung tempat tidur. Sinar senja dari jendela jatuh miring ke lantai papan, memberi suasana yang tenang dan hangat. Ia meraih ponsel dari meja kecil di samping lemari dan membuka Instagram.


Notifikasi DM dari akun bernama @damar muncul paling atas.


Damar:


(Kamu udah makan, Ay?)




Ayla tersenyum kecil dan membalas.


Ayla:


(Udah kok, tadi makan bubur)




Balasan datang cepat.


Damar:


(Wah pasti enak ya, aku jadi pengen 😅)




Lihat selengkapnya