Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #15

Chapter 15 - Satu hari yang menentukan

Pagi itu, cahaya matahari menembus celah-celah jendela dapur, jatuh hangat di atas meja kayu yang sudah mulai termakan usia.

aroma asap kayu dari tungku menyebar pelan di dapur. Api menyala tenang di bawah ceret besar yang sudah mulai berembun. Ibu duduk di bangku kecil, meniup pelan bara yang mulai meredup, memastikan air lekas mendidih.


Ayla melangkah masuk ke dapur sambil mengikat rambutnya ke atas.Ia menghampiri Ibu yang tengah mengaduk-aduk kayu bakar.


“Ibu...” sapanya pelan.


Ibu menoleh, tersenyum. “iya ayla”


Ayla duduk di tikar dekat pintu dapur, menatap api. “Bu nanti jam delapan Ayla mau ke puskesmas ya... mau ambil obat TB paru. Soalnya stok bulan ini udah hampir habis.”


Ibu mengangguk sambil menutup ceret dengan tutup alumunium. Uap tipis mulai keluar dari sela-selanya.


“Udah jalan empat bulan ya kamu berobat jalan? Gimana sekarang, badan masih sering sakit?”


Ayla menghela napas pelan, lalu tersenyum kecil. “Alhamdulillah udah lumayan Bu. Kadang masih batuk sih, apalagi kalau pagi-pagi kena dingin. Tenggorokan masih suka gatel, tapi gak separah dulu kok.”


Ibu mendengarkan dengan seksama, ekspresi wajahnya mencampur syukur dan kelegaan.


“Alhamdulillah ya, Ay... perlahan tapi pasti. Yang penting jangan lupa minum obatnya tepat waktu, jangan sampe kelewat”


Ayla mengangguk. “Iya Bu, tenang aja.”


Ibu berdiri, membuka tutup panci di atas tungku sebelah. Aroma harum langsung menyeruak.


“Yaudah kamu mandi dulu sana, nanti sarapan ya. Ibu udah bikinin nasi goreng buat kamu sama Bapak.”


Mata Ayla langsung berbinar. “Wah... nasi goreng favorit!”


Ibu tertawa kecil. “Iya, biar kamu semangat. Bapak juga udah bangun dari tadi, tuh, di depan lagi minum teh.”


Ayla berdiri, menggeliat pelan. “Oke, Ayla mandi dulu, habis itu mau siap-siap ke puskesmas.”


Di balik kesederhanaan pagi itu, ada kehangatan yang tak bisa dibeli. Api tungku yang menyala, suara sendok beradu dengan panci, dan obrolan ringan antara ibu dan anak semuanya menjadi bagian dari luka yang perlahan sembuh, bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati Ayla.




Tak lama setelah Ayla masuk ke kamar mandi, suara langkah pelan terdengar dari arah ruang depan. Bapak masuk ke dapur sambil membawa cangkir teh yang masih mengepul. Langkahnya sudah tidak selemas sebelumnya, meski tetap terlihat hati-hati.


Ibu menoleh dan tersenyum lembut. “Udah enakan, Pak?”


Bapak duduk di bangku panjang dekat dinding dapur, menyesap teh sebentar, lalu mengangguk pelan. “Alhamdulillah, Bu. Udah mulai enteng badannya. Gak sepusing kemarin-kemarin.”


Ibu menyodorkan piring kecil berisi kerupuk. “Obatnya nanti diminum ya, jangan sampe lupa.”


“Siap, Bu.” Bapak mengangguk patuh. Lalu ia menatap keluar jendela sebentar sebelum bicara lagi, “Mungkin besok Bapak mau mulai kerja lagi di sawahnya Mas Toni.”


Ibu langsung menoleh, alisnya naik sedikit. “Lho, emang Bapak yakin? Kalau belum sehat, jangan dipaksain dulu, Pak. Istirahat aja yang cukup.”


Bapak tersenyum tipis. “Insyaallah kuat, Bu. Badan juga udah mulai seger. Gak enak juga lama-lama nganggur. ”


Ibu masih kelihatan ragu, tapi ia tak menolak. “Yaudah, asal Bapak bisa jaga diri. Jangan maksain.”


Bapak mengangguk pelan, lalu menoleh ke sekitar. “Ayla mana?”


“Lagi mandi,” jawab Ibu sambil memeriksa tutup panci di tungku. “Nanti jam delapan dia mau ke puskesmas. Ambil obat TB-nya, bulan ini stoknya udah hampir abis.”


Bapak mengangguk pelan. “Oh iya... uang buat nebus obatnya ada, Bu?”


Ibu tersenyum kecil. “Ibu masih ada uang lima puluh ribu di dompet. Obat Ayla kan dari puskesmas gratis, cuma bayar pendaftaran sepuluh ribu. Sisanya buat ongkos ojek ke Pak Udin.”


“Hmm, iya ya...” Bapak mengangguk mengerti. “Kalau jalan kaki, kasian. Jauh juga dari rumah ke puskesmas.”


“Iya,” sahut Ibu sambil menyiapkan piring-piring untuk sarapan.



Keduanya diam sejenak. Hanya suara air dari kamar mandi dan api yang berderak pelan di tungku yang terdengar.


Di tengah kesederhanaan dapur mereka, di antara uap air panas dan bau nasi goreng yang masih menggantung di udara, ada rasa syukur yang tak terucap. Rasa yang tumbuh dari kekuatan yang mereka bangun bersama meski tak banyak, tapi cukup untuk terus bertahan.




Ibu membuka tudung saji dan mulai menyiapkan nasi goreng ke atas tiga piring. Ia mengambil sendok besar, membagi nasi dengan cekatan ke dua piring lebih dulu untuk dirinya dan Bapak. Ia tahu Ayla masih di kamar mandi, jadi biarkan saja nanti Ayla ambil sendiri.


“Pak, sarapan dulu, yuk.” kata Ibu sambil meletakkan piring di hadapan Bapak.


Bapak mengangguk, menyandarkan tubuh ke kursi kayu dan mulai makan perlahan. Ibu ikut duduk di sampingnya. Suasana dapur terasa tenang, hanya terdengar suara sendok yang sesekali beradu dengan piring, dan desir api yang masih menyala kecil di tungku.


Sesekali Ibu melirik ke arah meja kayu dekat jendela. Di sana ada satu baskom besar berisi rendaman kacang kedelai. Airnya mulai keruh, dan kulit ari dari kacang mengambang di permukaan. Ibu mengenali itu bahan baku susu kedelai punya Ayla.


Tak lama, Ayla keluar dari kamar mandi, mengenakan baju bersih berwarna krem muda dan handuk yang dililit sederhana. Rambutnya masih agak basah, tapi wajahnya tampak segar.


“Bu, udah siap nasi gorengnya?” tanyanya sambil mengeringkan tangan dengan handuk kecil.


Ibu menoleh dan tersenyum. “Udah, tinggal kamu yang belum makan. Ayla kamu kan ada pesanan susu kedelai hari ini, ya?”


Ayla berjalan pelan sambil duduk di kursi dekat pintu dapur, mengambil sisir kecil dari saku tasnya. “Iya, Bu. Hari ini ada pesanan delapan botol dari Bu Dita.”


Lihat selengkapnya