Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #16

Chapter 16 - Sakit yang menyusup Diam- diam

Dokter masih berdiri di balik ruang apotek, ekspresi wajahnya gelisah. lalu, ia sendiri bergegas ke dalam ruang penyimpanan obat di belakang apotek.


Ayla berdiri diam di depan ruang apotek. Matanya mengikuti langkah dokter yang mulai membuka satu demi satu laci dan lemari kecil. Bunyi laci ditarik dan dus yang digeser pelan terdengar jelas di tengah ruangan yang mendadak sunyi.


Beberapa menit berlalu. Ayla menahan napas, tubuhnya tegang.


Lalu terdengar suara dari dalam.


“Ini dia! Ketutup dus obat antibiotik!” seru dokter.


Petugas apotek yang berdiri di dekat Ayla langsung menoleh ke arah belakang, “Ketemu, Bu?”


Dokter muncul kembali dari balik pintu ruangan penyimpanan, membawa satu dus kecil berlabel 

“Rifampicin-Isoniazid-Pyrazinamide-Ethambutol (FDC)” kombinasi obat tablet untuk TB paru fase lanjutan.



“Alhamdulillah… ternyata obatnya masih ada. Banyak malah. Cuma ketutup kardus antibiotik lain,” ujar dokter sambil tersenyum lega. Ia langsung menoleh ke petugas apotek, yang tadi di suruh menelpon puskesmas kecamatan, “Gak usah hubungi puskesmas kecamatan, stoknya aman.”


Ayla menatap dus obat itu seperti menatap harapan baru. Jantungnya yang sempat berdebar kini terasa lebih ringan.


Dokter menghampirinya, lalu berbicara lembut. “Ayla, gak usah khawatir ya. Obat kamu aman. Gak perlu mulai dari awal. Stoknya ada cuma tertutup, bukan habis.”


Ayla mengangguk cepat, matanya berkaca-kaca. “Alhamdulillah, Bu… terima kasih.”


“Ini buat satu bulan dulu, ya. Nanti kontrol lagi seperti biasa,” kata dokter sambil memberikan resep yang sudah diperbarui.


Petugas apotek segera menyiapkan obat, memasukkannya ke dalam kantong plastik, lalu menyerahkannya pada Ayla. Di labelnya tertulis tanggal mulai minum dan jadwal kontrol berikutnya.


Ayla menerima obat itu seolah sedang menggenggam kembali arah hidupnya



Setelah berpamitan, Ayla melangkah keluar dari puskesmas. Di luar, Pak Udin masih menunggu, duduk santai di atas motornya.


“Udah beres, Ay?” tanyanya.


Ayla tersenyum cerah. “Udah, Pak. Alhamdulillah..."


Pak Udin tersenyum " Yaudah ayok kita pulang, pak udin anterin lagi."


Ayla naik ke boncengan, lalu menjawab, “ Iya pak”


Motor melaju pelan, menyusuri jalan kampung yang kini makin panas. Tapi di hati Ayla, udara terasa sejuk. Hari itu, bukan cuma tubuhnya yang diselamatkan tapi juga semangatnya. Pak Udin melaju pelan di jalan kampung yang berdebu. Sesekali, Pak Udin harus sedikit menepi saat berpapasan dengan warga yang berjalan kaki sambil membawa hasil kebun.


Di tikungan dekat warung, terdengar suara yang memanggil,

“Pak Udin! Eh, Pak Udin!”


Pak Udin menoleh. Di pinggir jalan berdiri Bu Eha, tetangga dari kampung sebelah yang memang sering menggunakan jasa ojeknya.


“Eh, Bu Eha!” sapa Pak Udin sambil memperlambat laju motor.


Bu Eha melangkah mendekat. Matanya langsung mengenali penumpang di boncengan. “Loh, Ayla… kamu toh. Kirain siapa. Udah lama gak kelihatan.”


Pak Udin menjawab duluan, “Ini saya abis dari puskesmas, Bu. Nganterin Ayla ngambil obat TB paru.”


Bu Eha menoleh ke Ayla, agak terkejut. “Oh, kamu sakit TB paru, ay? Udah lama? Kirain kamu kerja ke kota, soalnya jarang banget keliatan.”


Ayla tersenyum tipis, berusaha santai. “Iya, Bu… udah lama. Cuma kalau berobat jalan baru sekitar empat bulanan. Belum ke kota, Bu. Belum ada rezekinya.”


“Oh gitu…” Bu Eha mengangguk, lalu tersenyum hangat. “Ya sudah, cepat sembuh ya, Ayla. Jaga makan, jangan capek-capek.”


“Iya, Bu. Makasih banyak ya,” jawab Ayla tulus.


Pak Udin menepuk pelan setang motornya. “Ya sudah, Bu, saya anterin Ayla dulu, biar dia bisa istirahat.”


“Iya, Pak. Nanti abis nganterin Ayla, saya mau ke pasar. Jemput saya ya,” kata Bu Eha sambil melambaikan tangan.


“Siap, Bu. Nanti saya balik,” sahut Pak Udin.


Motor kembali melaju. Ayla duduk diam, memandangi jalan di depannya. 


Matahari sudah mulai condong. Motor terus melaju melewati hamparan sawah yang mulai menguning. Di kejauhan, rumah-rumah kayu kampung Ayla mulai terlihat.


Hari itu, ia merasa pulang bukan cuma ke rumah, tapi juga pulang dengan sedikit lebih banyak harapan di hatinya.




Motor berhenti pelan di depan rumah panggung sederhana milik Ayla. Angin siang yang hangat membawa bau tanah dan kayu. Ayla turun, lalu merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan selembar uang tiga puluh ribu, lalu menyodorkannya ke Pak Udin.


“Nih, Pak. Makasih udah nganterin.”


Pak Udin mengangkat tangannya pelan. “Waduh, kebanyakan, ay. Dua puluh ribu aja cukup.”


“Tapi kan dari kampung ke puskesmas lumayan jauh, Pak…”


Pak Udin tersenyum sambil menggeleng. “Udah, dua puluh aja. Sisanya buat kamu beli jajan atau apa kek. Kamu lagi berobat, jangan mikirin saya.”


Ayla terdiam sebentar, lalu menyerahkan uang dua puluh ribu sambil menatap Pak Udin dengan penuh rasa terima kasih. “Makasih banyak ya, Pak… semoga rezekinya lancar.”


“Amin… yaudah, saya pamit dulu. Mau jemput Bu Eha ke pasar,” jawab Pak Udin sambil menyalakan motornya lagi.


Lihat selengkapnya