Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #17

Chapter 17 - Antara harapan dan Telepon misterius

Ibu langsung bergegas mengambil gelas di rak piring, menuangkan air putih, lalu menyodorkannya ke Ayla yang sudah duduk lemas di bangku dapur.

“Nak, minum dulu… pelan-pelan,” suara ibu bergetar menahan panik.


Ayla menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Ia meneguk sedikit, lalu menunduk sambil berusaha mengatur napas. Setiap tarikan napas terasa berat, dan setiap kali ia menghirup udara, sisi kiri perutnya terasa seperti diremas dari dalam.

“Perut… ayla sakit banget, Bu… susah napas…” ucapnya lirih, matanya sedikit berkaca-kaca.


Suara derit pintu depan tiba-tiba terdengar, diikuti langkah kaki pelan.

“Assalamu’alaikum…” suara bapak terdengar dari ruang tamu.


Belum sempat ibu menjawab, telinga bapak menangkap suara lirih Ayla yang terengah-engah di dapur. Langkahnya langsung dipercepat.

Begitu sampai di pintu dapur, matanya membelalak.

“Astaghfirullah! Ayla kenapa, Bu?” serunya, suaranya penuh cemas.


Ibu menoleh cepat. “Katanya perut sisi kirinya sakit banget, Pak. Jadi susah napas…”


Bapak melangkah lebih dekat, wajahnya menegang. “Astaghfirullah… coba diurut pelan-pelan, Bu, bagian yang sakitnya.”


“Iya, Pak,” jawab ibu sambil bergegas mengambil botol kecil minyak kayu putih dari rak di dekat kompor. Ia menuangkan sedikit minyak ke telapak tangannya, lalu mulai menggosokkannya pelan di sisi kiri perut Ayla.

“Tarik napas ya pelan- pelan aja…” bisik ibu, tangannya bergerak lembut tapi mantap.


Ayla meringis, tubuhnya sedikit menunduk, mencoba menahan rasa nyeri yang menusuk setiap kali napasnya masuk. Bau hangat minyak kayu putih bercampur dengan aroma jahe dari susu kedelai yang tadi dimasak, membuat suasana dapur terasa penuh campuran antara panik dan harap.



Beberapa menit berlalu, ibu terus mengurut perlahan bagian perut Ayla yang tadi terasa nyeri. Hangat minyak kayu putih mulai meresap, perlahan rasa sakit itu berkurang. Napas Ayla yang tadinya tersengal-sengal kini mulai teratur kembali.


Ayla menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Alhamdulillah… udah mendingan, Bu.”


“Alhamdulillah…” jawab ibu dan bapak hampir bersamaan, nada lega jelas terdengar di suara mereka.


Belum sempat suasana benar-benar tenang, dari arah jalan terdengar suara motor mendekat. Ayla langsung mengenali suara khas knalpot itu.

“Itu kayaknya Pak Udin…” gumamnya.


Benar saja, motor berhenti di depan rumah Ayla. “Assalamu’alaikum!”


Bapak segera berjalan ke pintu dan membukanya. “Wa’alaikumussalam… Eh, Pak Udin!”


Pak Udin tersenyum sambil melepas helm. “Ini, Pak… mau ngambil pesenan susu kedelai. Tadi pesan tiga botol ke Ayla.”


Dari dalam dapur, Ayla berusaha bangkit. “Biar Ayla aja, Bu, ngasihnya…”


Tapi ibu segera menahan. “Udah, kamu istirahat aja. Biar ibu yang kasih ke Pak Udin.”


Tanpa menunggu, ibu mengambil tiga botol susu kedelai yang sudah disisihkan di meja, lalu menghampiri Pak Udin di teras.

“Eh, Pak Udin… ini pesanan tiga botolnya,” ujar ibu sambil tersenyum.


“Iya, Bu. Jadi berapa?” tanya Pak Udin sambil merogoh saku.


“Lima belas ribu aja, Pak,” jawab ibu.


Pak Udin mengeluarkan uang pas, menyerahkannya ke tangan ibu. “Ini Bu, makasih ya. Saya bawa pulang dulu, mau langsung dicoba sama anak-anak di rumah.”


“Sama-sama, Pak… semoga suka,” balas ibu.


Pak Udin memasukkan botol-botol itu ke dalam tas kain di motornya, lalu berpamitan. “Saya pamit dulu, Bu.”


“Iya, Pak… hati-hati di jalan,” sahut ibu sambil melambaikan tangan. Motor pun kembali melaju pelan di jalan kampung yang mulai teduh oleh bayangan sore.



Ibu kembali masuk ke dapur, menghampiri Ayla yang masih duduk di bangku.

“Gimana, Nak? Masih sakit?” tanyanya pelan, nada khawatir jelas terdengar.


Ayla menggeleng sambil tersenyum tipis. “Enggak kok, Bu… udah mendingan.”


“Alhamdulillah,” ucap ibu, diikuti hembusan napas lega.


“Yaudah, kamu makan dulu, ya. Tadi kan baru makan sekali waktu mau ke puskesmas, sekarang belum makan lagi.”


Ayla mengangguk cepat. Memang dari tadi perutnya sudah mulai lapar. “Iya, Bu.”


Ibu menoleh ke bapak yang duduk di kursi rotan. “Pak, makan juga ya. Sekalian bareng sama Ayla.”


Bapak tersenyum tipis. “Iya, Bu.”


Ibu lalu menata meja makan kecil di sudut dapur. Di atasnya, ia menghidangkan tempe goreng hangat, ikan asin kering yang baru saja digoreng renyah, dan sambal tomat segar di cobek kecil. Bau gurih tempe bercampur dengan aroma pedas sambal memenuhi ruangan.


Makanan sederhana itu terlihat begitu nikmat. Ayla duduk bersama bapak dan ibu, lalu mulai menyendok nasi putih hangat. Setiap suapan terasa istimewa, bukan hanya karena lapar, tapi juga karena kebersamaan yang menenangkan hati .




Ibu melirik ke meja, melihat empat botol susu kedelai yang masih berjejer rapi.

“Ay, susu kedelainya sisa empat botol lagi, ya?” tanyanya sambil menyendok nasi.


“Iya, Bu,” jawab Ayla sambil mengunyah tempe. “Kalau nggak ada lagi yang beli, nggak apa-apa… kita minum aja. Lumayan buat sore-sore.”


“Iya, Nak,” kata ibu sambil tersenyum.


 Ayla tahu, di kampung ini tidak semua orang tahu ia berjualan susu kedelai. Ia hanya mempromosikannya lewat status WhatsApp, dan kontaknya pun terbatas hanya tiga orang ibu-ibu sekampung yang memang dekat dengannya.


Mereka bertiga melanjutkan makan hingga habis. Meski menu sederhana tempe, ikan asin, dan sambal tomat, namun suasananya hangat.


Di luar, sore mulai menua. Langit berwarna jingga keemasan, burung-burung kecil kembali ke sarang, dan suara anak-anak bermain masih terdengar dari kejauhan. Angin sore membawa aroma padi dari sawah, bercampur dengan bau kayu bakar dari dapur rumah tetangga.


Sementara itu, di warung kecil milik Bu Rina, beberapa ibu-ibu sedang duduk di bangku panjang. Bu Ela, ibu dari Bu Rina, seperti biasa menjadi pusat percakapan. Di depannya ada Bu Pitri yang baru saja datang, awalnya hanya untuk membeli minyak goreng.


Namun, begitu melihat Bu Ela, Bu Pitri menaruh botol minyak goreng di meja dan ikut duduk. Percakapan pun mulai melebar.

“Kata orang, si Ayla tadi habis dari puskesmas ngambil obat,” ucap Bu Pitri, suaranya setengah berbisik tapi cukup keras untuk didengar yang lain. “Buat nebus obat aja, ada utang nggak dibayar-bayar. Nyicil kek…”


Lihat selengkapnya