Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #18

Chapter 18 - Guncangan di pagi hari

Nama di layar ponsel itu membuat napas Ayla tertahan.


Teh Bella.


Denyut jantungnya bertambah cepat, seperti ada sesuatu yang memukul-mukul dari dalam dada. Jari-jarinya sempat ragu untuk menyentuh layar. Sudah lama ia tidak berhubungan dengan istri Kak Epul itu sejak kejadian yang membuat suasana keluarga mereka retak dan dingin.


Ayla menatap layar itu lama, pikirannya perlahan terseret kembali ke satu peristiwa bertahun lalu. Saat itu, ia masih duduk di kelas dua SMK. Pulang sekolah, ia mendapati suasana rumah tegang, suara tinggi-tinggi terdengar dari ruang tamu.


“Bu, saya tuh tahu… gaji Epul nggak pernah sampai utuh ke saya!” suara Teh Bella terdengar tajam, matanya menyala-nyala.

Ibu yang duduk di kursi rotan mencoba tetap tenang. “Loh, Bella… kamu ngomong apa? Gaji Epul itu urusannya kalian. Kalau dia mau ngasih ke ibu, itu ya sekadar bantu, ibu nggak pernah minta.”

“Sekadar bantu?” Teh Bella mengangkat alis, nadanya sinis. “Tapi buktinya tiap bulan dia kasih ke sini. Makanya di rumah saya uang selalu kurang. Jangan-jangan malah diambil diam-diam sama ibu?”


Ayla yang berdiri di dekat pintu langsung merasa darahnya berdesir panas. Ingin sekali ia membela ibu, tapi ia tidak berani, takut ikut bicara di tengah amarah orang dewasa.


Ibu menghela napas panjang. “Bella… ibu nggak pernah ambil diam-diam.Tiap epul kasih ibu selalu bilang ke dia harus minta izin dulu sama kamu. Kalau Epul kasih, ya ibu terima. Kadang cuma dua ratus, tiga ratus ribu. Paling besar itu dulu, sekali, delapan ratus ribu waktu gajinya lagi lebih. Itu pun udah lama. ”

“Ah, itu kata ibu. Mana saya tahu?” balas Teh Bella cepat, nada menuduhnya menusuk seperti jarum.


Ayla masih ingat betul wajah ibu saat itu menahan air mata, tapi tetap berusaha tegar. Dan wajah Teh Bella yang penuh curiga, membuat Ayla menunduk, menggenggam erat tali tas sekolahnya sambil berharap semua itu berhenti.


Sejak hari itu, hubungan mereka tidak pernah benar-benar pulih. Ayla menghindari kontak langsung, dan Teh Bella pun seperti tak pernah berniat memulai lagi.


Kini, suara dering ponsel kembali memanggil Ayla ke kenyataan. Nama itu tetap berpendar di layar, membuat telapak tangannya terasa dingin.


Kenapa tiba-tiba nelpon?

Apa mau bahas Kak Epul?

Atau… ada masalah baru?


Ayla menelan ludah. Di luar kamar, suara ibu memanggilnya untuk sarapan masih terdengar, tapi Ayla berdiri kaku. Panggilan itu terus bergetar, seperti mengetuk-ngetuk dinding hatinya yang sudah lama ia segel rapat.


Dengan sedikit ragu, ia akhirnya menggeser ikon hijau.


“Assalamu’alaikum…” suara Teh Bella terdengar di telinga, sama persis seperti yang ia ingat dingin, datar, tapi kali ini ada sedikit nada tergesa.


Ayla menarik napas sebelum menjawab, mencoba menyembunyikan debar di dadanya.

“Wa’alaikumussalam… Teh Bella.”



Hening sebentar di ujung sana, hanya terdengar napas cepat. Lalu suara Teh Bella keluar, terdengar tegang dan sedikit bergetar.

“Ayla… kamu tahu nggak, Kak Epul itu di mana? Udah tiga bulan ini dia nggak ngasih uang gaji sama sekali. Anak-anak butuh biaya sekolah, kebutuhan rumah juga banyak. Nomornya aku hubungin nggak aktif terus.”


Ayla terdiam sesaat, mencoba mencerna. “Teh… Kak Epul udah lama nggak pulang ke sini. Nomornya juga udah nggak aktif. Terakhir aktif itu enam bulan yang lalu.”


Di ujung telepon terdengar helaan napas panjang, bercampur nada kecewa. “Kalau kakakmu itu aktif lagi atau pulang ke situ… tolong bilangin, Ay. Bilangin kalau anaknya butuh uang buat biaya sekolah. Jangan sampai tanggung jawabnya diabaikan.”


Ayla menggenggam ponsel lebih erat. “Astagfirullah… iya, Teh. Nanti kalau nomornya aktif atau dia pulang ke sini, Ayla pasti bilangin.”


“Ya sudah. Assalamu’alaikum,” ujar Teh Bella singkat.


“Wa’alaikumussalam.”


Panggilan terputus. Ayla menatap layar ponsel yang kini gelap, namun pikirannya masih penuh tanda tanya.


Astaghfirullah… kenapa Kak Epul begini? Biasanya dia nggak kayak gini. Kayaknya keluarga Kak Epul lagi nggak baik-baik aja…


Di luar kamar, aroma tempe goreng yang tadi sempat ia cium kini terasa hambar. Ayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya, tapi bayangan wajah Teh Bella dan nada suaranya masih terngiang jelas di telinga.




Ayla menghela napas pelan, meletakkan ponsel di meja kecil. Ia lalu melangkah keluar kamar, menuju dapur. Ibu sedang menata piring dan lauk di atas meja, aroma tempe goreng dan sambal tomat kembali menyambutnya.


“Udah, Ay, sarapan dulu. Habis itu mandi, ya,” kata ibu sambil tersenyum tipis. “Nanti ibu mau ajak kamu sholawatan.”


Ayla sedikit terkejut. “Sholawatan?”


“Iya. Kamu harus mulai belajar ikut. Jangan terus-terusan di rumah aja,” ujar ibu sambil menuang teh hangat ke gelas.


Ayla hanya diam sebentar, pikirannya melayang. Memang, ia jarang sekali ikut sholawatan. Dulu alasannya karena sekolah, dan setelah lulus… ia malah makin jarang. Bukan karena tidak mau, tapi rasa malu selalu menahannya.


Ia masih ingat bagaimana beberapa ibu-ibu sering merendahkannya mengomentari bahwa ia belum kerja, belum menikah. Ditambah lagi, waktu itu ia sakit TB paru. Sebelum berobat, jangankan ikut sholawatan, untuk berjalan beberapa langkah saja ia sudah sesak napas.


Namun sekarang kondisinya sudah jauh membaik. Dan kali ini, ibu benar-benar mengajaknya.

Lihat selengkapnya