Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #19

Chapter 19 - Siang yang Mengusik Takdir

Ayla masih mematung di teras, matanya tak lepas dari dua pria yang berdiri di depannya. Pakaian mereka rapi, kemeja biru muda dengan logo kecil di dada kiri. Salah satunya membawa map cokelat tebal.


“Apa benar ini rumahnya Epul Hidayat?” ulang pria yang lebih tinggi, kali ini suaranya sedikit lebih pelan.


Ayla menarik napas, mencoba menenangkan detak jantungnya. “Ini rumah orang tuanya, Pak. Kalau rumah Kak Epul di Jakarta… ngontrak,” jawabnya hati-hati.


Dari dalam, terdengar langkah tergesa di lantai papan kayu. Ibu muncul di pintu, wajahnya sedikit terheran. “Maaf, Pak… ada apa ya?”


Pria yang membawa map itu mengangguk sopan. “Kami dari petugas BPJS, Bu.”


Ibu menautkan alis, sedikit bingung. “BPJS?”


“Iya, Bu,” lanjut pria satunya, “Kami lagi nyari Epul Hidayat. Alhamdulillah beliau dapat bantuan dari BPJS sebesar dua juta rupiah. Tapi untuk pencairan, harus ada tanda tangan beliau langsung.”


“Oh…” suara ibu terdengar pelan, seperti sedang mencoba mencerna kabar itu. “Ayo, silakan masuk dulu, Pak.”


Keduanya mengangguk dan melangkah masuk ke ruang tamu sederhana itu. Ibu lalu menoleh ke Ayla. “Ay, tolong ambilkan dua gelas air putih buat tamu.”


“Iya, Bu,” jawab Ayla, segera bergegas ke dapur.


Di ruang tamu, salah satu petugas membuka mapnya, sementara yang lain menatap ibu. “Kalau boleh tahu, Bu, Mas Epul ini masih sering pulang?”


Ibu menggeleng pelan. “Epul udah lama nggak pulang ke sini. Udah ada sekitar tiga tahunan.”


“Nomornya masih aktif nggak, Bu?” tanya petugas itu lagi.


Belum sempat ibu menjawab, Ayla datang membawa dua gelas air putih di nampan rotan. Ia meletakkannya di meja, lalu duduk di pinggir kursi, dekat ibu.


Ibu menoleh ke Ayla. “Ay, nomor Kak Epul masih aktif nggak?”


Ayla menghela napas tipis. “Nggak tahu, Bu. Udah tiga bulan nggak ada kabar dari Kak Epul. Biasanya sih suka chat nanyain kabar ibu sama bapak…” suaranya mengecil di akhir kalimat.


Salah satu petugas mencondongkan tubuh. “Kalau boleh, neng, minta nomornya ya. Biar kami coba hubungi langsung.”


Ayla mengangguk. “Boleh, Pak. Ini nomornya…” Ia menyebutkan deretan angka itu perlahan, sementara petugas mencatat di ponselnya.


Tak butuh waktu lama, petugas itu menekan tombol panggil. Semua yang ada di ruangan itu menunggu. Tapi tak ada suara sambungan, hanya nada singkat yang langsung berganti dengan pengumuman dingin: “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”


Petugas menurunkan ponselnya, lalu saling pandang sebentar. “Sayang sekali, Bu. Nomornya nggak aktif. Kalau begitu, kami akan coba cari informasi lewat kantor pusat. Kalau ada kabar atau beliau pulang, mohon segera hubungi kami, ya.”


Ibu mengangguk pelan. “InsyaAllah, Pak. Kalau Epul pulang atau kami dapat kabar, pasti kami kasih tahu.”


Ayla menatap gelas air putih yang masih penuh di meja. Pikirannya langsung melayang pada telepon dari Teh Bella pagi tadi. Dua kabar yang berbeda… tapi sama-sama mengarah pada satu hal: Kak Epul sedang entah di mana.


Di luar, suara ayam berkokok terdengar samar, sementara di dalam rumah, suasana justru terasa semakin berat.



Ayla menatap kedua pria itu yang masih duduk di kursi. Saat petugas yang lebih muda meletakkan gelasnya, Ayla memberanikan diri bicara.


“Pak… boleh minta nomor telepon yang bisa dihubungi nggak? Biar kalau ada kabar dari Kak Epul, saya bisa langsung ngabarin Bapak.”


Petugas itu sempat meliriknya sekilas, lalu menunduk pura-pura memeriksa mapnya. Yang satunya malah sibuk memainkan ponsel, seolah tak mendengar. Tidak ada jawaban.


Ayla menunggu beberapa detik, tapi suasana justru terasa kikuk. Tiba-tiba, salah satu dari mereka berdiri sambil tersenyum singkat. “Kalau begitu, kami pamit dulu, Bu.”


“Oh, iya… iya, Pak. Hati-hati di jalan,” jawab ibu sambil mengantar mereka ke pintu.


Begitu suara langkah kaki mereka menjauh dari halaman, Ayla masih memandang ke arah jalan dengan kening berkerut. Beneran petugas BPJS nggak sih mereka? pikirnya. Ada sesuatu yang terasa… janggal.


Ibu kembali duduk di kursi, menghela napas. “Sayang banget ya, Ay. Kalau ada Kak Epul, pasti uangnya bisa cair…”


“Iya, Bu…” Ayla tersenyum tipis, tapi tidak banyak bicara. Pikirannya masih setengah di pertemuan barusan.


Baru saja suasana hening, terdengar suara langkah cepat dari arah depan. Rendi, anak bu weni yang sering lewat rumahnya, muncul sambil menenteng tas belanjaan


Lihat selengkapnya