Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #20

Chapter 20 - Air mata yang tak Terlihat

"Bu… ibu sini, Bu!” suara Ayla terdengar panik dari ruang tamu.


Ibu yang sedang sibuk di dapur mengaduk tumisan langsung mematikan kompor. “Kenapa, Ayla?” Ia bergegas menghampiri, tangan masih sedikit berbau bawang goreng.


Ayla menunjuk ke arah jalan. “Bu… itu bapak, kan?”


Ibu menoleh cepat. “Astaghfirullah… iya itu bapak, kenapa?”


Tanpa pikir panjang, ibu melangkah cepat ke teras. “Ya Allah… bapak kenapa?” serunya, wajahnya berubah cemas.


Pak Burhan dan Pak Eko yang memapah bapak menahan langkah di depan rumah. Keringat mengalir di dahi mereka, napas sedikit tersengal.


“Tadi di jalan pulang nyangkul,” jelas Pak Eko, “katanya kepala Pak Dirman kleyengan, matanya buram, terus sakit. Makanya saya sama Pak Burhan bantu antarkan pulang. Takutnya di jalan kenapa-kenapa.”


“Ya Allah… makasih banyak ya, Pak Burhan, Pak Eko, udah nganterin,” kata ibu sambil menahan lengan bapak, membantu menuntunnya masuk.


“Iya, sama-sama, Bu,” sahut Pak Burhan, mengusap dahinya.


“Kalau gitu, kami pamit dulu ya, Bu,” lanjutnya. “Mau bersih-bersih, sebentar lagi kan sholat Jum’at.”


“Iya, Pak. Sekali lagi makasih banyak, ya.”


Pak Burhan dan Pak Eko mengangguk, lalu melangkah pergi meninggalkan halaman, suara sandal mereka berdecit di tanah kering.



Ibu memapah bapak hingga duduk di kursi dekat jendela. Napas bapak masih berat, matanya menyipit seperti menahan perih.


“Bapak kenapa?” tanya ibu, suaranya penuh cemas.


Bapak menghela napas pelan. “Tadi pas lagi nyangkul… mata bapak kecipratan tanah, Bu. Tapi langsung bapak cuci pake air selang di sawah. Cuma pas pulang malah makin perih… sakit banget. Kepala bapak juga pusing… keleyengan.”


“Ya Allah, Pak…” Ibu menatap bapak dengan khawatir. “Yaudah, bapak bersih-bersih dulu, ya. Abis itu matanya tetesin pake Insto biar nggak sakit lagi.”


“Iya, Bu,” jawab bapak lirih.


“ Ayla… ambilin handuk buat bapak,” pinta ibu cepat.


“Iya, Bu.” Ayla segera bergegas ke kamar ibu, membuka lemari kayu, lalu mengambil handuk biru yang sudah terlipat rapi. Ia membawanya ke ruang tamu dan menyerahkannya ke bapak.


“Ini, Pak.”


“Makasi, Nak,” ucap bapak, lalu bangkit perlahan sambil memegang handuk. Langkahnya agak pelan menuju kamar mandi di belakang dapur.


Suara pintu kayu kamar mandi terbuka, lalu tertutup pelan, menyisakan aroma tanah sawah yang masih menempel di pakaian bapak.



Tiba-tiba ponsel Ayla bergetar di meja. Layarnya menyala, menampilkan nama Teh Bella.


“Siapa yang nelpon, Ay?” tanya ibu sambil menoleh.


“Teh Bella, Bu,” jawab Ayla.


“Bella? Yaudah, angkat, Ay,” kata ibu lagi.


Ayla segera menggeser ikon hijau di layar. “Assalamu’alaikum,” terdengar suara Teh Bella di seberang.


“Wa’alaikumsalam, Teh,” jawab Ayla.


“Ayla, tolong bilangin ke ibu…” Suara Teh Bella terdengar agak tergesa, tapi belum sempat ia melanjutkan, sambungan telepon tiba-tiba terputus begitu saja.


“Kenapa, Ay?” tanya ibu, heran.


“Teleponnya mati, Bu,” kata Ayla sambil menatap layar ponsel. “Tadi pagi juga, sebelum sholawatan, Teh Bella sempat nelpon. Nanyain Ka Epul… katanya udah tiga bulan nggak ngasih uang gaji kerjanya ke Teh Bella.”


Ibu terkejut, tangannya refleks menutup mulut. “Astaghfirullah… kok Ka Epul kayak gitu, Ay?”


Ayla menggeleng pelan. “Aku juga nggak tahu, Bu. Biasanya Ka Epul selalu bertanggung jawab sama keluarga. Kenapa sekarang jadi kayak gini…”


Belum sempat ibu menanggapi, suara pintu kamar mandi terbuka. Bapak keluar dengan kaos tipis menempel di tubuh dan handuk yang dililitkan di leher. Rambutnya masih basah, meneteskan air ke lantai papan. 



“Bu…” panggil bapak pelan, suaranya agak serak. “Tolong bawain obat tetes mata, ya, Bu. Mata bapak masih sakit… aduhhh.”

Lihat selengkapnya