Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #21

Chapter 21- Antara Menantu dan Mertua

Layar ponsel Ayla menyala di meja. Sebuah pesan baru masuk.

Teh Bella: “Ay, teteh lagi di jalan. Setengah jam lagi nyampe rumah.”


Sendok di tangan Ayla berhenti di udara. Jantungnya berdegup cepat.


“Kenapa, Ay?” tanya ibu dari dekat kompor.


“Teh Bella… katanya sebentar lagi mau ke sini, Bu,” jawab Ayla pelan.


Ibu terdiam sejenak. Wajahnya menegang, lalu ia duduk di kursi dapur. Ingatan lama tentang keributan dulu sempat lewat di mata mereka berdua.


“Bu… gimana kalau Teh Bella bikin keributan lagi? Dia bilang Ka Epul tiga bulan nggak ngasih nafkah. Aku takut dia salah paham lagi, nuduh ibu…” suara Ayla mengecil.


Ibu menatap Ayla mantap. “Kamu nggak usah khawatir, Ay. Ibu kan nggak pernah minta uang ke kakak kamu kecuali kalau kakak kamu sendiri yang ngasih baru ibu terima. Dan sekarang udah hampir satu tahun lebih kan Ka Epul memang nggak pernah ngasih lagi. Kalau Bella nuduh ibu lagi kayak dulu, kita jelasin aja pelan-pelan.”


Ayla mengangguk, meski napasnya masih berat. Di kamar sebelah, bapak batuk kecil.

“Ibu temenin bapak dulu, ya. Nanti kalau Bella datang, kamu yang bukain,” kata ibu lembut.



Ayla akhirnya memaksakan diri untuk menghabiskan makananya. Suapan terasa hambar di mulutnya, meski ia tahu perutnya harus tetap diisi. Begitu piringnya kosong, ia segera mencucinya lalu masuk ke kamar.


Di dalam kamar, Ayla duduk sambil memeluk bantal. Pikirannya kacau, bayangan tentang kedatangan Teh Bella membuat dadanya sesak. Ia memejamkan matanya sebentar, tiba-tiba suara nada dering ponselnya membuat ia kaget.


“Nomor Bu Yeni…” gumamnya pelan.


“Assalamualaikum, Ayla. Bisa isiin pulsa 30 ribu nggak? Soalnya saya butuh buru-buru,” suara Bu Yeni agak terburu-buru di seberang.


“Iya, Bu. Coba saya cek dulu saldonya,” jawab Ayla sambil membuka aplikasi isi pulsa di ponselnya.


Beberapa detik kemudian, wajahnya berubah. Saldo yang tersisa hanya Rp20.000. Ia menggigit bibirnya, bimbang.


“Maaf, Bu… saldo saya tinggal dua puluh ribu. Jadi nggak cukup buat yang tiga puluh,” kata Ayla pelan.


“Oh gitu ya… tapi saya butuhnya yang tiga puluh, Ay. Soalnya kemarin saya sempat minjem pulsa SOS. Kalau diisi dua puluh, nanti malah hangus semua dan nggak bisa dipaketin kuota internet,” jelas Bu Yeni dengan nada memohon.


Ayla menarik napas panjang. “Paling besok aja ya, Bu. Saya top up dulu saldo ke konter.”


“Ya sudah, kalau gitu besok aja belinya. "sahut Bu Yeni dengan nada maklum.


“Iya, Bu. Maaf ya…”


“Iya, nggak papa, Ayla,” jawab Bu Yeni sebelum telepon ditutup.


Ayla menatap layar ponselnya yang gelap. Rasa lega bercampur cemas masih menyelimuti dadanya.


Dari jendela, cahaya sore perlahan memudar. Langit yang tadinya terang mulai berwarna oranye keemasan, menandakan senja semakin dekat. Suara ayam tetangga berkokok, bercampur dengan anak-anak kecil yang masih bermain di luar. Angin sore berhembus masuk, membawa aroma tanah basah sisa hujan siang tadi.


Ayla melirik jam di dinding. Jarum jam menunjukan Pukul 16:30.


Sore semakin larut. Sebentar lagi teh Bella benar-benar tiba.




Di dekat pos ronda, beberapa ibu duduk melingkar sambil berbincang, sebagian sibuk mengupas bawang untuk persiapan acara hajatan tetangga. Pak Rahmat dan Pak Eko duduk tidak jauh dari mereka, menyeruput kopi panas dari gelas kaca. Suasana sore itu terasa hidup meski angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah sisa hujan.


Tiba-tiba, langkah seorang perempuan menarik perhatian mereka. Dari kejauhan, terlihat Bella berjalan pelan sambil menggendong anak bungsunya. Wajahnya terlihat letih, namun matanya menatap lurus ke depan.


“Eh, itu Bella, istrinya Epul, anaknya Bu Sarti kan?” celetuk salah satu ibu, setengah berbisik.


“Iya, bener, Bu,” sahut Bu Pitri, istri Pak Rahmat, yang ikut menoleh.


Bella menghampiri mereka sambil sedikit memaksa senyum. “Assalamualaikum, ibu-ibu… Pak Rahmat, Pak Eko. Apa kabar?”


“Waalaikumussalam. Alhamdulillah, baik, Neng Bella,” jawab mereka hampir bersamaan. Beberapa ibu merapikan duduknya, mempersilakan Bella bergabung walau hanya sebentar.


Bu Pitri, dengan nada hati-hati, bertanya, “Neng Bella sendirian aja? Gak sama Epul?”


Senyum Bella meredup. Wajahnya berubah sendu, bahkan suaranya bergetar saat menjawab, “A Epul udah jarang pulang, Bu. Udah hampir setahun ini jarang ngasih nafkah. Malah tiga bulan terakhir ini sama sekali nggak pernah kirim uang gaji. Saya nggak tahu uangnya dipake buat apa. Anak-anak kan ada tiga, dua udah sekolah, yang satu masih kecil baru empat tahun. Berat banget rasanya.”


Ia mengusap kepala anak bungsunya yang tertidur di bahunya. Matanya berkaca-kaca, menahan perasaan yang nyaris tumpah.


Lihat selengkapnya