Tok… tok… tok…!
Ketukan pintu yang keras membuat semua yang sedang makan malam menoleh. Bapak meletakkan sendoknya, Ibu menahan napas, sementara Ayla dan Bella saling pandang dengan tatapan bertanya-tanya.
Ibu berdiri pelan, langkahnya sedikit ragu. Dalam hati ia berprasangka, “Jangan-jangan Pak Rahmat datang nagih hutang lagi…” Namun ia tetap membuka pintu.
Begitu pintu dibuka, benar saja, sosok Pak Rahmat sudah berdiri di teras.
“Oh, Pak Rahmat… ayo masuk, Pak,” ucap Ibu cepat sambil berusaha tersenyum.
“Assalamualaikum, Bu Sarti,” sapa Pak Rahmat dengan memasang wajah datar
“Waalaikumussalam. Ayo, Pak, silakan masuk,” jawab Ibu sambil mempersilakan.
Pak Rahmat melangkah masuk. Di ruang tamu, Bapak segera menghampiri.
“Eh, Pak Rahmat. Ada apa ya?” tanya Bapak sambil tersenyum ramah.
Pak Rahmat duduk, lalu dengan tenang ia berkata,
“Begini, Bu Sarti, Pak Dirman… saya mau ketemu sama Neng Bella. Tadi Neng Bella nge WA saya, minta tolong ngurusin surat pindah buat anak-anaknya. Katanya alamat di KK kan masih atas nama kampung sini, mau dipindahkan ke alamat rumah orang tua Bella.”
Ibu tertegun sejenak, lalu mengangguk kecil. “Oh begitu… baiklah, saya panggil dulu Neng Bella nya.”
Ibu buru-buru masuk ke dapur memanggil Bella, sementara Ayla menyiapkan gelas air minum. Ibu juga mengambil sesikat pisang matang dari dapur untuk suguhan.
Tak lama, Bella keluar dengan wajah tenang, meski sedikit lelah. Ia menghampiri ruang tamu dan menyapa dengan sopan.
“Assalamualaikum, Pak Rahmat.”
“Waalaikumussalam, Neng Bella,” jawab Pak Rahmat sambil tersenyum tipis.
Bella langsung duduk di kursi. “Jadi gimana, Pak? Surat pindah itu bisa diurus sama Bapak aja?” tanyanya hati-hati.
Pak Rahmat mengangguk. “Bisa, Neng. Tapi caranya tetap harus sesuai aturan. Pertama, harus ada surat pengantar dari Pak RW dulu. Setelah itu baru saya dampingi urus ke kantor desa dan kecamatan.”
Bella tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk mantap. “Ya sudah, kalau begitu, besok saya minta tolong Pak Rahmat antar saya ke rumah Pak RW, terus lanjut ke kantor desa dan kecamatan bisa? Nanti tenang aja, saya kasih sedikit buat beli rokok sama kopi, Pak. Anggap saja ucapan terima kasih.”
Pak Rahmat tersenyum lega. “Iya, siap, Neng. Besok saya temani.”
Ibu dan Bapak hanya saling pandang tanpa banyak kata. Di satu sisi mereka merasa lega karena ternyata kedatangan Pak Rahmat bukan untuk menagih hutang. Tapi di sisi lain, hati Ibu terasa perih mendengar bahwa Bella benar-benar ingin memindahkan data keluarganya keluar dari alamat rumah mereka.
Di meja, pisang matang yang tadi disuguhkan masih utuh. Suasana hening kembali menyelimuti rumah, hanya suara sendok Ayla yang tak sengaja beradu dengan piring terdengar pelan dari dapur.
Sebelum pulang, Pak Rahmat menatap Ibu dan Bapak sejenak, lalu berkata pelan, “Maaf, Bu Sarti… soal hutang, tolong diusahakan ya. Soalnya saya juga butuh.”
Ibu dan Bapak menunduk malu, wajah mereka sedikit memerah.
“Iya, Pak… doakan ya, supaya saya bisa secepatnya punya uang untuk bayar hutang,” jawab Bapak pelan.
“Iya,” kata Pak Rahmat singkat. “Kalau gitu saya permisi dulu. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam,” serempak Ibu, Bapak, dan Bella menjawab.
Tak lama setelah Pak Rahmat pergi, Bella langsung masuk ke kamar tengah karena mendengar suara anaknya menangis, terbangun dari tidur. Sementara itu, Ayla keluar dari dapur dan melihat wajah Bapak dan Ibu yang sedih karena pertanyaan Pak Rahmat tentang hutang.
Ayla mencoba menghibur mereka sambil menunduk, “Do’ain Ayla ya, Bu, Pak… supaya Ayla dapat rezeki dari Allah biar bisa bantu Bapak sama Ibu bayar hutang ke Pak Rahmat.”
“Iya nak, aamiin,” kata Ibu dan Bapak serentak.
Tiba-tiba suara telepon berbunyi. Ayla melihat ke arah telepon, dan layar menunjukkan panggilan dari Ka Damar.
“Siapa yang nelpon, Ay?” tanya Ibu.
“Ka Damar, Bu… kakak kelas Ayla,” jawab Ayla.
“Yaudah, angkat atuh,” dorong Ibu.
“Ya, nanti Bu,” kata Ayla sambil menunggu suara telepon mati dengan sendirinya. Ia kemudian mengirim pesan ke Ka Damar, (Nanti ya Ka, telpon nya aku mau sholat Isya dulu.)