Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #23

Chapter 23 - Lima ratus ribu dan Sebuah kabar

Pagi itu udara masih sejuk, embun di rerumputan belum sepenuhnya hilang. Jalan setapak menuju pasar kecil desa mulai ramai oleh ibu-ibu yang membawa belanjaan, sementara beberapa anak kecil berlarian menuju sekolah. Ayla berjalan pelan sambil menenteng dompet kecil dan ponselnya. Senyumnya tipis, meski dalam hatinya masih ada rasa gelisah yang ia simpan sejak semalam.


Setelah melewati gang kecil dan beberapa rumah tetangga, akhirnya Ayla tiba di sebuah konter sederhana yang sudah biasa ia datangi. Sebuah etalase kaca berisi kartu perdana, voucher, dan aksesoris HP tampak berjejer rapi. Di dalamnya, Bang Rudi pemilik konter langganannya, sedang sibuk menulis sesuatu di buku catatan.




“Bang, top up saldo pulsa ya, buat jualan. Seratus ribu,” kata Ayla sambil tersenyum ramah ke arah pemilik konter.


Bang konter, yang akrab dipanggil Bang Rudi, mengangguk sambil menoleh ke layar komputer kecilnya. “Oke, Ay. Nomornya yang biasa kan? 0896… itu ya?” tanyanya memastikan.


“Iya, Bang. Nomor yang itu aja,” jawab Ayla sambil mengangguk pelan.


Tangannya lincah mengetik, lalu beberapa detik kemudian ponsel Ayla bergetar. Sebuah notifikasi SMS masuk: Saldo Anda bertambah Rp100.000.


“Udah masuk, Ay. Jadi totalnya seratus dua ribu ya, kayak biasa.”


Ayla merogoh dompet kecilnya, mengeluarkan uang lembaran seratus ribu dan dua ribu. Ia menyerahkan sambil tersenyum. “Iya, Bang. Makasih ya.”


Bang Rudi tersenyum ramah. “Iya sama sama ay, semoga lancar terus usaha jualan pulsa ya."


" Aamiin, makasih bang do'a ya. " 


Selesai transaksi, Ayla menunduk sopan lalu melangkah pergi. Di tangannya, HP sudah siap ia gunakan buat melayani pembeli nanti kalau ada yang order pulsa.


Namun saat perjalanan pulang, langkahnya terhenti. Dari arah berlawanan, tampak dua sosok cowok berjalan santai. Satunya berkulit sawo matang, tinggi, dengan senyum ramah.Ka Ido, teman lama dari sekolah. Di sebelahnya, ada sosok yang membuat hati Ayla tiba-tiba berdebar lebih cepat,berkulit kuning langsat, gagah, dan wajahnya masih sama seperti dulu… Revan.


Ayla terpaku sesaat. Hah? Itu Ka Revan kan? Loh… dia ada di kampung? Kapan pulang ya?



Ido melambaikan tangan begitu melihat Ayla. “Hey… kamu Ayla kan? Angkatannya Marsha, ya?” katanya dengan nada ramah.


Ayla sedikit kaget, tapi segera tersenyum sopan. “Iya, Ka. Aku Ayla. Hehe…” jawabnya agak grogi. Apalagi di sebelah Ido, Revan hanya berdiri diam dengan tatapan tenang, membuat jantung Ayla makin tak karuan.


Ido mengangguk. “Oh iya, dulu sering lihat kamu sama marsha soalnya. Kamu sekarang gimana, Ay? Kuliah atau kerja?”


Ayla menunduk sebentar, lalu menjawab jujur, “Belum kerja, Ka. Masih nyari-nyari. Sambil jualan kecil-kecilan aja di rumah.”


“Wah, bagus dong. Semangat ya, Ayla. ucap Ido sambil tersenyum tulus.


“Iya, Ka. Makasih doanya. Kalau gitu, permisi dulu ya, Ka. Aku mau pulang,” ucap Ayla sambil melangkah pelan.


Ido mengangguk sopan. “Iya, silakan, Ay.”


Ayla menunduk sedikit, lalu berjalan melewati mereka. Saat beberapa langkah menjauh, ia mendengar percakapan keduanya.


“Van, besok lu balik lagi ke Jakarta kan?” tanya Ido sambil menepuk bahu Revan.


“Iya, Do. Cuma dikasih libur tiga hari doang. Besok udah harus berangkat lagi,” jawab Revan dengan suara datar tapi cukup jelas terdengar oleh Ayla.


Langkah Ayla otomatis melambat. Dalam hatinya ia bergumam, Oh… jadi Ka Revan cuma pulang sebentar, libur tiga hari. Tapi kok nggak bareng Ka Damar ya? Bukannya mereka kerja di tempat yang sama?


Ayla menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa penasaran yang mulai tumbuh di hatinya. Ia mempercepat langkah, berusaha agar wajahnya yang sedikit memerah tak terlihat oleh siapa pun.


Di ujung jalan, Ayla menoleh sebentar. Revan masih berdiri di samping Ido, menatap ke arah sawah dengan wajah serius. Ayla buru-buru menunduk lagi, jantungnya berdegup lebih cepat.




Ayla melanjutkan perjalanan pulang dengan langkah yang sedikit lebih ringan. Hatinya masih berdegup kencang, tapi ada rasa hangat yang sulit ia jelaskan. Setibanya di rumah, ia langsung masuk ke kamarnya. Senyum tipis masih melekat di wajahnya.


“Meskipun cuma sebentar lihat Ka Revan… tapi itu udah cukup bikin aku bahagia,” batinnya sambil duduk di tepi kasur.


Ia lalu mengambil ponsel dari tas kecilnya. Tanpa sadar, jarinya membuka aplikasi Instagram. Hatinya bergetar ketika menuliskan nama akun Revan di kolom pencarian. Beberapa detik kemudian, profil yang sudah lama ia tahu muncul di layar.


Seketika senyum Ayla hilang. Matanya terpaku pada sorotan IG Revan. Di sana, ada beberapa foto Revan bersama seorang gadis cantik bernama Dea pacarnya. Ada foto mereka tersenyum bersama, ada juga momen jalan berdua di kota.


Ayla menarik napas dalam, menahan rasa yang tiba-tiba perih menusuk dadanya. “Ya Allah… aku ini kenapa? Kak Revan udah punya pacar. Dan sebelum ini pun aku udah tahu… tapi kenapa sih aku masih aja suka sama dia?” bisiknya lirih.


Ia menunduk, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. “Pelan-pelan, aku harus bisa ikhlasin Ka Revan…” lanjutnya, seakan menegur dirinya sendiri.


Perlahan, Ayla menutup aplikasi itu. Ia meletakkan ponselnya di samping kasur, lalu menatap langit-langit kamar. Hatinya terasa campur aduk antara bahagia karena bisa melihat Revan secara langsung, dan sedih karena sadar bahwa perasaan itu tak mungkin ia miliki.


Mata Ayla berkaca-kaca, tapi ia tersenyum tipis. “Nggak apa-apa… mungkin ini cuma perasaan kagum aja. Aku harus bisa kuat,” gumamnya pelan sebelum akhirnya memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri.




Belum lama Ayla menutup mata, terdengar suara langkah pelan mendekat. Pintu kamarnya diketuk dua kali.


“Ay, udah beli saldo ya?” suara ibunya terdengar lembut.


Ayla cepat-cepat mengusap sudut matanya lalu menoleh. “Udah, Bu. Tadi di konter Bang Rudi. Sekarang mau nge chat Bu Yeni dulu, kemarin katanya mau beli pulsa yang tiga puluh ribu,” jawabnya sambil meraih ponsel di samping.


“Oh iya, sok…” sahut ibunya, tersenyum sambil ikut duduk di tepi kasur.


Tak lama, ibunya kembali membuka suara. “Gak sekalian belanja bahan-bahan susu kedelai, Ay?”


Ayla menggeleng pelan. “Gak, Bu. Soalnya hari ini nggak ada yang pesen. Ayla biasanya bikin kalau ada pesenan aja, biar susunya fresh, gak gampang basi.”


Ibunya mengangguk, lalu menarik napas sejenak sebelum berkata lagi. “Iya, Ay… tapi kan susu kedelai itu jarang ada yang beli. Soalnya nggak semua orang suka sama rasanya. Menurut kamu, gimana kalau usaha susu kedelai diganti sama jajanan kecil lain, yang lebih disukai warga kampung?”


Ayla terdiam sebentar, menimbang. “Iya sih, Bu. Meskipun susu kedelai bagus buat kesehatan, tapi nggak semua orang suka. Tapi… kalau misalnya mau ganti, Ibu pengen dagang apa?”


Wajah ibunya tampak berbinar, seakan sudah menyimpan ide sejak lama. “Ibu pernah bilang kan sama kamu, Ibu tuh pengen jualan es kacang hijau sama cilok bumbu kacang. Gimana kalau jualan itu aja?”


Ayla tersenyum tipis, kali ini lebih lepas dibanding senyum-senyumnya tadi di jalan. “Iya, boleh, Bu. Ayla setuju. Kayaknya enak juga kalau jualan itu. Banyak yang suka, soalnya.”


Ibunya tersenyum hangat sambil menepuk bahu Ayla pelan. “Alhamdulillah kalau kamu setuju, Ay. Nanti kita atur bareng-bareng ya.”


Ayla mengangguk, tapi dalam hatinya masih tersisa bayangan tatapan Revan di pinggir jalan tadi. Namun, obrolan dengan ibunya sedikit membuatnya merasa lebih ringan seakan ada arah baru yang bisa ia jalani selain memikirkan perasaan yang sulit ia miliki.




Di luar rumah Ayla, suasana desa siang itu mulai ramai. Beberapa tetangga terlihat lalu-lalang, ada yang baru pulang dari pasar, ada pula yang duduk santai di teras rumah sambil bercakap ringan. Dari arah jalan utama, terlihat Bella baru turun dari motor bersama Pak Rahmat yang baru saja mengantarnya pulang dari kantor desa dan kecamatan.


Bella tersenyum manis sambil mengulurkan selembar uang.

Lihat selengkapnya