Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #24

Chapter 24 - Janji ayla untuk ibu

Ayla berdiri di depan kamar Teh Bella, niatnya ingin segera menyampaikan kabar dari pesan Kak Taopik. Hatinya berdebar, karena kabar itu terlalu penting untuk disimpan lama-lama. Namun saat ia hendak membuka mulut, ponsel Teh Bella berdering nyaring.


“Hallo…” suara Bella terdengar, lalu ia beranjak keluar kamar sambil tetap menempelkan ponsel ke telinganya.


Ayla terdiam di ambang pintu, sedikit ragu. Ia menghela napas, lalu melangkah pelan menuju ruang tengah. Di sana ibunya sedang duduk, masih tampak lelah usai pulang dari rumah Bu Weni.


“Bu…” suara Ayla lirih, tapi jelas. “Tadi Kak Taopik kirim pesan. Katanya Ka Epul ada di Jakarta, kerja di proyek dekat terminal.”


Mata Ibu langsung membesar. Tangan yang sedari tadi meremas ujung kainnya terhenti. “Alhamdulillah… akhirnya ada kabar dari kakakmu, Ay,” ucapnya, suaranya bergetar antara kaget dan lega. “Tolong kasih tau Teh Bella ya nanti, kasian dia sama anak-anak.”


“Iya, Bu,” jawab Ayla singkat. Hatinya sedikit tenang karena ibunya ikut bahagia, meski masih ada rasa was-was bagaimana Bella akan menanggapi kabar itu.


Tak lama, Bella kembali dari luar kamar. Ponselnya sudah ia letakkan di tangan. Wajahnya tampak datar, meski sorot matanya masih menyimpan letih.


Ibu segera bersuara, ingin menyampaikan kabar gembira itu. “Bella… Alhamdulillah, tadi Ayla dapet pesan dari Kak Taopik....”


Namun kalimat itu terpotong. Bella cepat menukas dengan nada dingin, “Kenapa? Kak Taopik kirim uang buat Ibu?”


Ibu sempat terdiam, wajahnya memerah malu. “Bukan, Bell… tapi Kak Taopik ngasih tau....”


Belum selesai, Bella kembali memotong, kali ini lebih tegas. “Udah lah, Bu. Saya mau pamit pulang aja. Tadi abang travel udah telepon, mobilnya nunggu di jalan.”


Seketika suasana ruang tengah jadi hening. Ayla menunduk, sementara Ibu hanya bisa terdiam menahan kata-kata yang belum sempat ia ucapkan.


Bella keluar kamar menghampiri Bapak yang sedang duduk di ruang tengah, lalu menyalami Ibu dan Bapak. “Saya pamit dulu ya, Bu, Pak.” Setelah itu, ia menoleh ke arah Ayla. “Teteh pulang dulu ya. Kalau ada kabar dari kakakmu, kabarin Teteh.”


Ayla spontan mengangkat kepala, berusaha berkata. “Iya, Teh. Ini tadi aku dapet chat dari Kak Taopik...”


Belum sempat Ayla melanjutkan, suara panggilan dari luar rumah memecah suasana.


“Neng Bella! Neng…!” suara Pak Rahmat menggema dari arah jalan.


Semua orang di ruang tengah menoleh. Bella bergegas keluar, diikuti pandangan Ayla, Ibu, dan Bapak.


Pak Rahmat mendekat, “Saya tadi abis ketemu Kang Ipan. Katanya mobilnya udah nunggu lama di jalan. Katanya, Neng.”


“Oh iya, Pak. Terima kasih,” jawab Bella cepat, wajahnya sedikit canggung.


Ia segera berpamitan sekali lagi. “Kalau gitu, saya pulang ya, Bu, Pak.” Lalu ia menoleh singkat ke Ayla. “Hati-hati di rumah.”


Bella masuk ke kamar tengah, mengambil tas yang sudah terlipat rapih. Setelah itu, ia menggendong Tiwi yang masih asyik bermain boneka.


“Tiwi… ayo, Nak. Kita pulang ke rumah,” ucapnya pelan.


Tiwi hanya mengangguk.


Ayla berdiri di pintu, menatap punggung Bella yang melangkah pergi. Hatinya terasa berat, masih menyimpan kalimat yang belum sempat tersampaikan: kabar tentang Ka Epul yang akhirnya muncul di Jakarta.


Namun kini, ia hanya bisa terdiam. Membiarkan bayangan Bella bersama Tiwi perlahan menjauh dari halaman rumah.




HP Ayla bergetar kencang di genggamannya. Nama Kak Taopik tertera jelas di layar. Ayla langsung menekan tombol hijau.


“Assalamu’alaikum, Kak Taopik…” ucapnya hati-hati.


“Wa’alaikumussalam,” suara Kak Taopik terdengar di seberang, agak serak karena kelelahan.


Ibu yang duduk tak jauh darinya langsung menoleh. “Ay, tolong besarinin suaranya, Ibu pengen denger juga.”


Ayla menekan tombol speaker, lalu mendekatkan ponselnya ke meja.


“Bella masih di sana nggak, Ay?” tanya Kak Taopik.


Ibu cepat menjawab, “Baru aja pulang, Pik. Naik travel sama anaknya Tiwi.”


Hening sejenak di seberang, lalu terdengar helaan napas berat. “Oh gitu ya, Bu… Padahal kemarin Bella sempet nge WA ke sini. Dia cerita, katanya Epul udah tiga bulan ngilang, nggak kasih nafkah, jarang pulang juga.”


Mata Ibu berkaca-kaca, Ayla ikut tercekat.


“Nah… tadi kebetulan pas pulang kerja, aku liat Epul di dekat terminal. Kayaknya dia lagi kerja di proyek, Bu, Ay,” lanjut Kak Taopik. “Aku pengen nyamperin, tapi angkot yang Kakak naikin keburu jalan. Jadi nggak sempet.”


Ibu buru-buru menimpali, suaranya agak bergetar, “Astaghfirullah… Ibu tadi juga mau bilang ke Bella soal kabar itu. Tapi Bella motong terus omongan Ibu. Akhirnya nggak kesampean.”


“Iya, Bu,” sahut Kak Taopik. “Aku tadi udah coba telpon Bella lewat WA, tapi nggak diangkat. Aku chat juga nggak dibales.”


Ayla tiba-tiba nyeletuk, “Tapi tadi Teh Bella bisa nelpon sama Kang Ipan, tukang travel. Aku denger sendiri suaranya.”


“Oh, mungkin itu telepon biasa, Ay,” sahut Ibu cepat. “Bukan lewat WA.”


“Iya, Bu, kayaknya bener. Soalnya kalo WA, terakhir aktifnya tuh kemarin malam,” jawab Kak Taopik.


Ruangan mendadak hening, hanya suara ponsel yang berderak pelan menandakan koneksi kurang stabil.


“Yaudah, Bu, Ay…” suara Kak Taopik kembali terdengar, lebih pelan. “Besok aku coba lagi ke terminal. Siapa tau bisa ketemu langsung sama Epul. Doain aja semoga bener dia kerja di sana.”


“Iya, Pik. Hati-hati ya. Jangan lupa kabarin Ibu,” pesan Ibu dengan nada berat.


“Siap, Bu.”


Sambungan telepon terputus. Ayla menatap layar ponsel yang gelap, sementara Ibu hanya bisa menunduk, wajahnya penuh pikir.




Mobil travel berguncang pelan menyusuri jalanan aspal. Bella menatap keluar jendela, melihat hamparan sawah yang mulai menguning, diselingi pepohonan kelapa yang berdiri anggun di kejauhan. Tiwi duduk di sampingnya sambil menempelkan wajahnya ke kaca.


“Mah, bagus ya sawahnya. Kuning semua,” kata Tiwi polos, matanya berbinar.


“Iya, Nak. Itu tandanya bentar lagi panen,” jawab Bella sambil mengusap kepala putrinya.

Lihat selengkapnya