Ayla langsung membuka pintu kamarnya, wajahnya pucat dan jantung berdebar kencang. “Kenapa, Bu?” tanyanya panik.
“Iya, Ayla… Bapak jatuh di dapur pas mau ke kamar mandi. Katanya kepalanya pusing, keleyengan. Sekarang matanya makin sakit, penglihatannya juga buram. Tolong bantu Ibu angkat Bapak ke kamar, ayo!” suara Ibu terdengar penuh cemas dan tergesa.
“Astaghfirullah… iya, Bu. Ayo!” seru Ayla sambil menahan panik.
Tanpa menunggu lama, Ayla dan Ibu berlari menghampiri Bapak. Mereka perlahan-lahan mengangkat tubuh Bapak yang terasa lemas, Setengah membopong, setengah menuntun, mereka membawa Bapak ke kamar.
“Aduhhh…” keluh Bapak pelan, suaranya nyaris tertahan karena sakit. “Sakit banget, Bu…”
“ Aku telpon Pak Udin ya, Bapak harus segera diperiksa dokter,” ujar Ayla sambil menyiapkan ponsel.
“Iya, Ay… telpon Pak Udin sekarang,” sahut ibu tegas tapi lembut.
Segera, Ayla menekan nomor Pak Udin dan menunggu.
“Assalamu’alaikum, Pak Udin,” suara Ayla terdengar agak gemetar.
“Waalaikumsalam, Ayla. Ada apa, Nak?” suara Pak Udin terdengar serius di seberang.
“Pak, bisa minta tolong bawa Bapak ke klinik? Bapak sakit,” kata Ayla cepat, mencoba menjelaskan keadaan.
“Astaghfirullah… iya, siap Ayla. Segera saya kesana,” jawab Pak Udin.
Ibu menatap Bapak, lalu bertanya lembut, “Pak… Bapak kuat gak ganti baju dulu sebelum ke klinik?”
“Iya, Bu… kuat. Tapi tolong bantu Bapak, bawain bajunya ke sini,” kata Bapak dengan napas terengah.
“Iya, Pak,” balas Ibu.
“Ay… kamu keluar dulu, Bapak mau ganti baju,” kata Ibu pada Ayla.
“Iya, Bu,” sahut Ayla sambil pergi ke luar kamar, menahan rasa cemas yang semakin menekan.
Di luar, Ayla menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Suara langkah kaki Ibu dan Bapak di dalam kamar terdengar bergeser, diiringi suara sakit Bapak. Hatinya terasa sesak, namun ia terus berdoa dalam hati agar Bapak segera mendapat pertolongan dan bisa cepat pulih.
Sepuluh menit kemudian, terdengar suara motor Pak Udin dari luar.
“Bu… Pak Udin udah datang,” kata Ayla sambil menahan cemas.
“Iya, Ay… Ibu bantu Bapak ke depan ya,” sahut Ibu pada bapak
Pelan-pelan, mereka menuntun Bapak ke teras.
“Pelan-pelan, Pak, jangan terburu-buru,” kata Ibu lembut sambil menopang tubuh Bapak.
“Iya, Bu…” jawab Bapak lemah.
Setibanya di motor, Pak Udin membantu Bapak duduk dengan hati-hati.
“Ya Allah, kenapa lagi ini, Pak Dirman…?” gumam Pak Udin, prihatin.
“ Kepala pusing, Pak… mata sakit… penglihatan juga buram,” ucap Bapak pelan.
“Astaghfirullah…” Pak Udin menghela napas.
“Pak Udin, kira-kira jam segini ada klinik yang buka nggak ya, soalnya baru jam 5:40 pagi,” tanya Ibu.
“Ada kok, Bu Sarti,” jawab Pak Udin. “Di dekat SMP ada dokter yang praktek dari jam 5:30 pagi sampai jam 8 pagi.”
“Ya sudah, tolong antar ke sana ya, Pak,” kata Ibu tegas tapi penuh harap.
“Iya, Bu. Saya antar,” jawab Pak Udin sambil menyalakan motor.
Motor perlahan melaju meninggalkan halaman rumah. Ibu dan Ayla berdiri di teras, menatap kepergian Bapak dengan doa yang tak putus-putus mengalir di hati mereka, berharap Bapak segera mendapat pertolongan dan kembali sehat.
Perjalanan motor pagi itu terasa begitu berat. Jalan masih sepi, hanya beberapa orang yang berangkat ke sawah. Angin pagi yang dingin menerpa wajah, namun bagi Pak Dirman semua itu tak lagi terasa.
“Sabar ya, Pak Dirman…” ucap Pak Udin dengan nada khawatir sambil sesekali menoleh ke belakang.
“Iya, Din…” jawab bapak pelan, tangannya berusaha memegang kepala yang terasa berputar. “Kepala bapak tambah pusing… mata ini… aduh… makin buram. Bapak hampir nggak bisa lihat jelas jalannya, Din…”
Pak Udin menghela napas, rasa cemas makin kuat di hatinya. “Astaghfirullah… Tahan dulu ya pak, sebentar lagi sampai ke klinik.” Ia menyalakan motor sedikit lebih cepat, namun tetap hati-hati agar Pak Dirman tidak semakin oleng di belakang.
Sementara itu, di rumah, Ayla dan Ibu mondar-mandir di ruang tengah. Wajah mereka penuh cemas, menunggu kabar dari klinik. Suasana rumah terasa sunyi, hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas.
“Ay… Ibu mau ke rumah Mas Toni dulu ya, mau minta izin kalau Bapak nggak bisa ikut kerja hari ini,” kata Ibu lirih, suaranya sedikit bergetar.
“Iya, Bu…” jawab Ayla, meski raut wajahnya masih khawatir.
Baru saja Ibu melangkah keluar rumah, tiba-tiba tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ibu terhuyung dan langsung menyender ke tiang rumah, tangannya memegang kepala.
“Astaghfirullah! Ibu, kenapa?” Ayla berlari menghampiri dengan panik.
“Gakpapa, Ay… kepala Ibu pusing… mungkin karena kebanyakan pikiran,” jawab Ibu sambil berusaha tersenyum menenangkan, meski wajahnya pucat.
Ayla menahan bahu Ibu dengan lembut. “Kalau gitu Ibu istirahat aja… biar Ayla aja yang ke rumah Mas Toni.”
Belum sempat Ibu menjawab, terdengar suara langkah seseorang dari arah jalan. Pak Eko muncul dengan cangkul di pundaknya.
“Permisi, Bu Sarti… Pak Dirman sudah berangkat ?” sapa Pak Eko.
Ibu menghela napas, lalu berkata, “Kebetulan banget ada Pak Eko… ini, Pak, suami saya matanya makin sakit, terus tadi juga kepalanya pusing. Sekarang lagi dibawa ke klinik sama Pak Udin.”
Pak Eko terkejut. “Astaghfirullah… , kemarin juga saya lihat pas lagi nyangkul pak dirman mijitin matanya terus..... Yasudah semoga lekas sembuh ya Bu. Nanti biar saya sampaikan ke Mas Toni.”
“Iya, Pak… terima kasih banyak ya,” jawab Ibu dengan lega.
“Sama-sama, Bu. Cepet sembuh buat pak Dirman” kata Pak Eko sambil mengangguk hormat sebelum kembali melangkah pergi.
Ayla menuntun Ibu masuk kembali ke dalam rumah, membantu duduk di kursi. Hatinya makin diliputi kecemasan, kini bukan hanya Bapak yang sakit, tapi kondisi Ibu juga mulai mengkhawatirkan.
“Bu… Ayla kan masih ada uang keuntungan dari jualan pulsa,” ucap Ayla pelan sambil menatap Ibu yang tampak pucat. “Gak banyak sih, tapi insyaAllah cukup kok buat beli obat. Ibu mau Ayla beliin obat, ya?”
Ibu menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. “Udah gak mempan obat warung, Ay…” suaranya lirih.
“Yaudah, kalau gitu Ayla beli ke apotek aja, Bu. Siapa tahu lebih manjur.”
“Janganlah, Ay. Apotek kan jauh, terus takutnya obatnya mahal. Udah, gakpapa… nanti juga sembuh kok,” jawab Ibu, masih berusaha menenangkan.