Ayla masih terisak, tubuhnya gemetar sambil memegang HP erat-erat. Air matanya tak henti mengalir. Melihat itu, Ibu segera meraih ponsel dari tangan Ayla.
“Sini HP nya Ay… biar Ibu bicara sama Tia.”
Dengan tangan bergetar, Ibu menempelkan ponsel ke telinganya.
“Assalamu’alaikum, Tia… ini Ibu. Kamu sama Riyan apa kabar? Anak-anak sehat kan?”
Dari seberang, suara Teh Tia terdengar pecah penuh tangis.
“Wa’alaikumsalam, Bu… anak-anak sehat, tapi… A Riyan, Bu…”
Ibu langsung cemas. “Loh, kenapa, Tia? Ceritain sama Ibu…”
Sambil menangis tersedu, Teh Tia menjawab, “A Riyan kena serangan jantung, Bu. Sekarang lagi dirawat di rumah sakit…”
Ibu langsung menutup mulutnya dengan tangan, air matanya pecah tanpa bisa ditahan. “Astaghfirullah… ya Allah…” suaranya lirih penuh getar.
“Terus sekarang gimana keadaannya, Tia?” lanjut Ibu, kali ini suaranya nyaris tak terdengar karena bercampur tangis.
Dari kursi, Bapak yang sejak tadi hanya terdiam melihat Ayla menangis, kini makin bingung.
“Ada apa, Bu? Kenapa kalian sedih?” tanyanya pelan, matanya menatap cemas.
Ibu menoleh ke arah Bapak dengan wajah basah oleh air mata. Dengan suara lirih ia berkata, “Riyan, Pak… Riyan kena serangan jantung. Sekarang dirawat di rumah sakit…”
Bapak terdiam, tubuhnya seakan kaku. Bibirnya bergetar, lalu suara berat keluar pelan, “Ya Allah…” Tangannya menutup wajahnya, menahan sesak di dadanya. Air mata ikut menetes, meski ia berusaha kuat.
Ayla tak sanggup lagi menahan tangisnya. Ia langsung memeluk Ibu dari samping, tubuhnya terguncang hebat. “Bu… Ka Riyan kenapa bisa begitu, Bu…” ucapnya tersengal, seakan tak percaya dengan kabar itu.
Ibu memeluk Ayla balik, berusaha tegar meski hatinya porak-poranda. “Sabar ya, Ay… kita doakan Kakakmu semoga Allah kasih kesembuhan…”
Suasana ruang tengah berubah hening, hanya isak tangis mereka yang terdengar. Bapak duduk terkulai di kursi, wajahnya muram menahan sedih.
HP masih menempel di telinga Ibu, suara Teh Tia dari seberang terdengar lagi.
“Bu… sekarang A Riyan lagi di IGD, masih ditangani dokter. Tia takut, Bu… Tia takut kehilangan dia…” suaranya pecah, penuh rasa cemas dan putus asa.
Ibu berusaha menenangkan menantunya meski air matanya terus jatuh. “Sabar ya, Tia… jangan banyak mikir dulu. Fokus dampingi Riyan, ya. Ibu sama Bapak di sini terus doain. Kalau ada apa-apa, langsung kasih kabar Ibu…”
“Iya, Bu… makasih…” jawab Teh Tia dengan suara serak.
Setelah menutup telepon, Ibu menatap Ayla dan Bapak dengan mata sembab. “Kita harus banyak berdoa buat Riyan… semoga Allah angkat penyakitnya.”
Ayla mengangguk pelan, matanya masih bengkak karena tangis. Ia meraih tangan Ibu dan Bapak, menggenggam keduanya erat-erat. “Kita sama-sama doain Ka Riyan ya, Bu… Pak…”
Bapak mengangguk lemah, suaranya bergetar. “Iya, Ay… semoga Allah kasih kesembuhan buat ka Riyan…”
Mereka bertiga larut dalam doa dan tangis, menyatukan hati yang sama-sama diliputi cemas dan harap.
Suasana sawah, suara cangkul yang beradu dengan tanah basah terdengar berulang-ulang. Mas Toni juga ikut turun ke sawah membantu Pak Burhan, dan Pak Eko, mereka terus bekerja meski peluh mulai membasahi wajah mereka. Sesekali mereka berhenti, mengusap keringat dengan lengan baju lusuh.
“Wah, sawahnya masih banyak yang belum dicangkul, ya, Pak eko…” ujar Pak Burhan sambil menancapkan cangkul ke tanah.
Pak Eko mengangguk. “Iya… kalau ada Pak Dirman pasti lebih cepat beresnya .”
"Pak Dirman sekarang bagaimana ya keadaan ya? " Ujar pak burhan
Mas Toni menoleh, tersenyum tipis meski nafasnya ngos-ngosan. “Nanti pulang nyangkul, kita ngelongok Pak Dirman yuk. Saya juga kepikiran terus sama beliau.”
“Iya, Mas Toni,” sahut Pak Burhan pelan. “Saya juga khawatir. Pengen lihat keadaannya gimana sekarang.”
Pak Eko menimpali, “Kita langsung dari sawah, apa pulang dulu ke rumah bersih-bersih dulu?”
Mas Toni berdiri sebentar, menegakkan punggung yang pegal, lalu menjawab, “Pulang dulu aja. Bersih-bersih sebentar, baru ke rumah Pak Dirman.”
“Setuju,” kata Pak Burhan.
“Iya, biar enak juga nanti ngelongok ya ,” tambah Pak Eko.
Mereka bertiga pun kembali menunduk, melanjutkan mencangkul. Suara tanah yang terbalik bercampur dengan desir angin pagi.
Matahari yang tadi masih malu-malu di ufuk timur kini sudah naik lebih tinggi. Cahayanya mulai terasa menyengat, membuat udara berubah gerah. Bayangan pepohonan di pinggir sawah semakin pendek, menandakan siang akan segera datang.
Keringat makin deras mengucur di pelipis Mas Toni, Pak Eko dan Pak Burhan. Baju mereka basah menempel di badan, namun mereka tetap bertahan, menyelesaikan pekerjaan sebisanya sebelum panas makin menjadi
Sementara itu di rumah Ayla, Di dapur, aroma sayur bening hangat menyeruak. Ibu menata lauk sederhana di atas meja kecil, sementara Bapak keluar dari kamar dengan langkah pelan. Wajahnya masih terlihat letih, matanya sembab karena terlalu banyak menangis sejak pagi.
“Pak, ayo makan dulu…” kata Ibu pelan, berusaha terdengar biasa meski nada suaranya berat. “Nanti minum obat, ya.”
Bapak hanya mengangguk tanpa banyak kata. Ia duduk di kursi kayu, lalu mulai menyuapkan nasi perlahan. Ibu ikut duduk di sampingnya, pandangannya sesekali kosong. Wajahnya jelas-jelas menampakkan kegelisahan.
Tak lama, suara cipratan air terdengar dari arah kamar mandi. Ayla keluar sambil menenteng baskom berisi piring, gelas, mangkuk, dan sendok yang sudah ia cuci. Ia meletakkannya di meja kecil dekat dapur, lalu mendekat ke orang tuanya.
Suasana sempat hening sejenak. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring Bapak terdengar. Sampai akhirnya Ibu membuka suara, lirih dan berat.
“Pak…” Ibu menunduk, kedua tangannya saling meremas di pangkuan. “Ibu kepikiran terus soal Riyan… Ibu pengen kesana nengokin…”
Bapak berhenti mengunyah. Sendok di tangannya diletakkan pelan di atas piring. Ia menatap istrinya dengan mata yang sama-sama berkaca-kaca.
“Iya, Bu… Bapak juga pengen banget kesana,” jawabnya dengan suara parau. “Tapi sekarang… kita nggak punya uang buat ongkos.”
Ibu terdiam, wajahnya makin murung. Perlahan ia menoleh ke arah Ayla yang sejak tadi hanya berdiri memandang mereka.
“Ay… kamu ada uang dulu nggak? Dari hasil jualan pulsa itu?” tanya Ibu penuh harap.
Ayla menggeleng pelan, wajahnya ikut sedih. “Bu… keuntungan jualan pulsa Ayla cuma dapat tiga puluh ribu. Kalau modalnya udah aku beliin saldo pulsa lagi. Jadi nggak ada sisa, Bu…”
Ibu menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca. “Ya Allah…” ucapnya lirih, menahan sesak di dadanya. Air mata mulai jatuh tanpa bisa ia bendung lagi.