Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #27

Chapter 27 - Pesan dari teh Tia

Ayla masih berdiri kaku di balik jendela, dadanya berdegup cepat. Nafasnya tersengal, seakan baru saja lari jauh. Tadi ia benar-benar mengira Pak Rahmat akan mengetuk pintu rumah mereka.


Namun langkah kaki itu justru berbelok, suara sapa dari seorang ibu-ibu terdengar jelas.


“Mau ke mana, Pak Rahmat?” tanya suara dari luar, cukup keras hingga Ayla bisa mendengarnya dari dalam rumah.


“Mau ke rumah Pak Cecep, ada perlu, Bu,” jawab Pak Rahmat dengan nada singkat.


Tak lama, derap langkah kakinya makin menjauh, menghilang di balik suara angin siang yang kering.


Ayla menghela napas panjang, tubuhnya seketika lemas. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, berbisik pelan, “Ya Allah… aku kira mau nagih ke sini…”


Tiba-tiba suara Bapak terdengar dari depan pintu kamar.

“Liatin siapa, Ay?”


Ayla terlonjak kaget, buru-buru menoleh. “Eh, Bapak…” ucapnya tergagap.


Bapak berdiri di pintu kamar dengan langkah tertatih, wajahnya masih pucat. Ia menatap heran ke arah putrinya yang terlihat gelisah di dekat jendela.


“Itu tadi, Pak… ada Pak Rahmat lewat. Ayla kira mau ke rumah kita. Ternyata mau ke rumah Pak Cecep,” jelas Ayla, suaranya masih bergetar.


Bapak menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat. Ia menepuk bahu Ayla lembut.

“Udah, Ay… nggak usah terlalu takut. Walaupun kita masih punya hutang sama dia, insyaAllah kalau ada rezeki pasti kita bayar.”


Ayla menunduk, bibirnya digigit pelan menahan haru. “Iya, Pak… cuma Ayla takut kalau pak Rahmat tiba-tiba marah-marah ke rumah.”


Bapak terdiam sejenak, matanya menerawang jauh. Ada sesak yang sulit ia sembunyikan, namun ia tetap berusaha tegar di depan anaknya.

“Kita sabar ya, Ay… doain aja semoga Allah kasih jalan keluar. InsyaAllah, ada waktunya nanti semua hutang kita bisa lunas.”


Ayla mengangguk pelan, meski hatinya masih diliputi cemas.


Di luar rumah, suara ayam berkokok bersahut-sahutan. Angin siang yang kering berhembus, membawa debu tipis dari jalan setapak. Ayla menutup jendela perlahan, mencoba menenangkan diri.




Suara adzan Dzuhur berkumandang dari surau kecil di ujung kampung. Lantunannya menggema di antara hamparan sawah yang menguning, berpadu dengan hembusan angin yang menerpa daun padi. Burung-burung yang sejak tadi beterbangan seakan ikut meredam sayapnya, memberi ruang pada suara panggilan Allah.


Di tengah petak sawah, Mas Toni menghentikan ayunan cangkulnya. Keringat menetes di pelipisnya, namun bibirnya tersungging senyum kecil.

“Alhamdulillah… udah adzan Dzuhur,” ucapnya pelan, sembari menengadah sesaat.


Ia lalu menoleh ke dua rekannya, Pak Burhan dan Pak Eko, yang masih sibuk menancapkan cangkul ke tanah.

“Pak Burhan, Pak Eko… udah dulu nyangkulnya. Udah adzan, ayo kita pulang bersih-bersih dulu. Abis itu bareng-bareng kita nengok Pak Dirman, ya,” ajak Mas Toni mantap.


Pak Burhan mengusap keringat di leher dengan ujung kaosnya, mengangguk pelan.

“Iya, siap mas. Yuk, kita pulang.”


Pak Eko menyahut singkat, " Ayok pak.”


Mereka bertiga pun menepikan cangkul, menata peralatan seadanya di pinggir sawah. Dengan langkah tenang, mereka berjalan meninggalkan hamparan hijau menuju rumah masing-masing.





Di sisi lain kampung, suasana toko emas terasa lebih riuh. Suara pintu kaca yang terbuka, bunyi timbangan emas, dan percakapan antara pembeli serta pelayan toko bercampur jadi satu.



Ibu berdiri di depan meja kaca, wajahnya sedikit tegang namun lega.


“Jadi harga emasnya satu juta dua ratus, ya, Bu. Tapi karena potongan ongkos, jadi kurang sepuluh persen. Totalnya segini,” jelas Mbak penjaga toko sambil menyerahkan beberapa lembar uang.


Ibu menerimanya hati-hati, lalu menghitung ulang dengan teliti. Jemarinya bergetar halus, tapi matanya berbinar karena uang itu bisa sedikit meringankan beban pikiran ya untuk menjenguk anaknya Riyan.


“Alhamdulillah… makasih banyak, Mbak,” ucapnya dengan senyum tulus sebelum memasukkan uang ke tas kecilnya.


Di kursi panjang toko emas, Bi Tutih sejak tadi menunggu dengan sabar. Begitu melihat sang kakak selesai, ia langsung berdiri.

“Udah, Teh, jualnya?” tanyanya pelan.


“Udah, Tih,” jawab ibu sambil menarik napas lega.


“Yaudah, kita pulang sekarang, Teh,” kata Bi Tutih, suaranya lembut penuh pengertian.


“Iya, Tih… makasih udah nganterin Teteh,” jawab ibu, matanya berkaca-kaca karena merasa sangat terbantu.


Keduanya lalu berjalan keluar dari toko emas, menyusuri jalan yang panas terpanggang matahari siang. Meski hati masih dipenuhi beban, langkah mereka terasa sedikit lebih ringan.




Di dalam kamarnya yang sederhana, Ayla berdiri di atas sajadah. Suara adzan Dzuhur dari surau kecil masih terngiang di telinganya. Dengan khusyu, ia menunaikan sholat, gerakan demi gerakan dilakukan penuh hati-hati, seakan setiap sujudnya ingin ia panjatkan seluruh beban hidup yang sedang ia pikul.


Selesai salam, Ayla menengadahkan kedua tangannya. Suaranya bergetar lirih ketika berdoa.


“Ya Allah… tolong lancarkanlah rezeki hamba, juga rezeki kedua orang tua hamba. Izinkanlah hamba agar bisa membantu Bapak dan Ibu untuk melunasi hutang-hutang kami, ya Allah. Dan tolong sembuhkanlah Kak Riyan… angkatlah penyakitnya. Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Menyembuhkan, aamiin…”


Air mata Ayla menetes pelan, membasahi telapak tangannya. Ia usap wajahnya dengan lirih, lalu menarik napas panjang berusaha menguatkan hati.


Tiba-tiba suara Bapak memanggil dari kamar sebelah.

“Aylaaa…”


Ayla segera bangkit, menyeka sisa air mata di pipinya, lalu berjalan keluar kamar.

“Iya, Pak… ada apa?” tanyanya lembut.


Bapak yang sedang berbaring menoleh perlahan. “Tolong ambilin obat tetes mata yang dari klinik tadi. Bapak simpan di ruang tengah.”


“Iya, Pak. Sebentar.”


Ayla berjalan ke ruang tengah, mengambil botol kecil dari atas lemari, lalu kembali memberikannya pada Bapak.

“Ini, Pak.”


“Terima kasih, Ay…” Bapak meneteskan obat ke matanya dengan hati-hati, lalu menutup kembali botol kecil itu.


“Ibu masih belum pulang ya, Ay?” tanya Bapak dengan suara lemah.


“Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi,” jawab Ayla sambil duduk di kursi dekat ranjang.

Lihat selengkapnya