Ayla menatap layar ponselnya dengan tangan bergetar. Pesan dari Teh Tia baru saja masuk, huruf-hurufnya seakan menusuk dada.
"Ka Riyan mau operasi pasang ring jantung nanti malam."
Mata Ayla membesar, jantungnya berdetak semakin kencang. Nafasnya tercekat, lalu buru-buru ia bersuara.
“Bu… Pak…” panggilnya dengan suara bergetar.
Ibu yang sedang melipat pakaian langsung menoleh, wajahnya cemas. “Kenapa, Ay?”
Ayla menelan ludah, lalu menunjukkan layar HP-nya. “Teh Tia bilang… Kak Riyan mau operasi pasang ring jantung nanti malam…”
Ibu sontak menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca. “Ya Allah…” lirihnya, tubuhnya hampir goyah.
Bapak menunduk, wajahnya pucat dan muram. Air matanya menetes pelan meski ia berusaha tegar. “Innalillahi… Ay, coba telfon Bibi Tutih. Udah dapet belum mobil travelnya?”
“Iya, Pak.” Ayla segera menekan nomor Bibi Tutih. Nada sambung berulang, namun tak juga diangkat.
“Bu… nggak diangkat,” ucap Ayla lirih.
Ibu buru-buru berkata, “Coba telfon lagi, Ay. Mungkin tadi nggak kedengeran.”
Ayla mengangguk, lalu mencoba menelpon sekali lagi. Namun hasilnya sama tak ada jawaban. Ayla menghela napas, wajahnya semakin panik. “Masih nggak diangkat, Bu…”
Tiba-tiba, suara salam terdengar dari luar.
“Assalamu’alaikum…”
Ayla bergegas membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Bibi Tutih.
“Wa’alaikumsalam, Bi…” ucap Ayla lega, meski masih panik. “Tadi Ayla nelponin Bibi terus, tapi nggak diangkat.”
Bibi Tutih tersenyum tipis, lalu menjawab, “Oh, Bibi nggak bawa HP, Ay. HP-nya tadi dipinjem Paman kamu.”
Ibu yang mendengar dari dalam bersuara, “Pantesan nggak diangkat-angkat… Bi, gimana, dapet nggak mobil travelnya?”
Bibi Tutih melangkah masuk, lalu duduk sebentar sambil menghela napas. “Alhamdulillah ada, Teh. Mang Ujang bilang nanti habis Maghrib mau berangkat ke Jakarta. Kita bisa ikut.”
“Alhamdulillah…” seru Ibu dan Bapak hampir bersamaan. Suara mereka bergetar, namun ada secercah lega di dalamnya.
Bapak menunduk, kedua tangannya terangkat berdoa. “Ya Allah… mudahkanlah perjalanan kami, lindungi Riyan, dan lancarkan operasinya nanti malam…”
Ibu mengusap sudut matanya, sementara Ayla menatap keduanya dengan hati penuh doa dan harap. Malam ini, mereka harus berangkat.
Bibi Tutih menatap Ibu dengan wajah lembut. “Teh, saya mau pulang dulu ya. Sebentar lagi Paman Ayla pulang, saya juga belum masak.”
“Iya, Tih. Makasih ya udah dicarikan mobil travel,” kata Ibu dengan suara penuh syukur.
“Iya, Teh. Sama-sama.” Bibi Tutih tersenyum, lalu berpamitan dan melangkah pulang.
Begitu pintu tertutup kembali, Ibu menoleh ke Ayla. “Yaudah, Ay, yuk kita selesain kemasin bajunya. Oh iya… obat TB paru kamu jangan lupa dibawa ya.”
“Iya, Bu. Ini Ayla mau masukin obatnya,” jawab Ayla sambil mengambil obat dari atas lemari. “Obat Bapak juga, Bu, jangan sampai lupa.”
Bapak yang duduk di kursi menyahut tenang, “Tenang aja, Ay. Udah Bapak masukin ke tas Bapak.”
“Bagus kalau gitu,” kata Ibu, matanya sedikit lega. Ia lalu melanjutkan melipat pakaian yang tersisa.
Beberapa menit kemudian, Ibu kembali bersuara. “Ay, nanti habis selesai kemasin baju, kamu langsung mandi ya. Langsung siap-siap.”
Ayla menoleh sebentar, wajahnya bingung. “Tapi kan berangkatnya masih lama, Bu. Nanti Maghrib. Ini baru jam setengah dua siang.”
“Ya nggak apa-apa, Ay. Biar enak. Soalnya Ibu sama Bapak juga harus mandi dulu. Jadi kalau udah siap semua, tinggal nunggu berangkat aja.”
Ayla mengangguk patuh. “Oh yaudah, iya, Bu.”
Dengan hati-hati, ia merapikan lipatan terakhir, lalu memasukkannya ke dalam tas ransel. Sementara itu, Ibu menyusun pakaian Bapak ke tas besar dengan teliti. Suasana rumah terasa penuh kesibukan, tapi juga dipenuhi rasa cemas dan harap akan perjalanan sore nanti.
Di jalan pedesaan yang panas namun ramai oleh aktivitas siang, Pak Burhan, Pak Eko, dan Mas Toni berjalan berdampingan. Mereka baru saja keluar dari rumah Pak Dirman setelah menjenguknya.
Di dekat warung Bu Rina, tampak beberapa ibu-ibu sedang berkumpul sambil belanja sayuran. Ada Bu Pitri, Bu Ela, Bu Dita, dan Bu Yeni. Mereka tampak asyik bercengkerama, sesekali tertawa kecil sambil memilih cabai dan sayur segar.
Begitu melihat suaminya, Bu Dita langsung menyapa. “Abis darimana, A?” tanyanya pada Pak Burhan dengan nada penasaran.
Mendengar itu, Mas Toni dan Pak Eko spontan ikut menoleh. Begitu juga ibu-ibu lain yang mendadak ikut memperhatikan.
Pak Burhan menjawab pelan, “Abis ngelongok Pak Dirman, Bu. Ibu udah pulang rapat dari sekolah, ya?”
Bu Dita mengangguk cepat. “Oh, pantesan tadi ibu cariin di rumah nggak ada. Kirain masih nyangkul di sawah sama Mas Toni.”
Mas Toni tersenyum kecil. “Udah, Bu, tadi dzuhur udah beres. Abis itu saya sama Pak Burhan sama Pak Eko langsung mampir ke rumah Pak Dirman.”
Tiba-tiba Bu Yeni ikut bertanya, matanya serius. “Emang Pak Dirman kenapa lagi, Mas Toni?”
Mas Toni lalu maju sedikit, menjelaskan dengan suara hati-hati. “Pak Dirman sakit mata, Bu. Kata dokter, kena penyakit katarak.”
“Astaghfirullah haladzim…” seru Bu Yeni dan Bu Dita hampir berbarengan, raut wajah mereka berubah kaget dan prihatin.