Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #29

Chapter 29 - Malam yang penuh cemas

Suara mesin mobil travel bergemuruh pelan di jalan raya yang mulai ramai sore itu. Ayla masih menunduk, kedua tangannya sibuk mengacak-acak isi ranselnya dengan wajah panik.


“Bu… tadi perasaan udah Ayla masukin ke tas, deh. Tapi kok nggak ada ya…” ucapnya lirih, napasnya terasa berat karena cemas.


Ibu yang duduk di depan ayla langsung menatap serius ke kursi belakang,suara terbata penuh kekhawatiran.

“Ada nggak, Ay? Coba dicek lagi… Kamu nggak lupa nyimpen, kan? Itu kan penting, Ay. Kalau kamu telat minum obat satu hari aja, pengobatan TB paru kamu bisa diulang dari awal lagi.”


Kata-kata Ibu membuat dada Ayla semakin sesak. Tangannya semakin cepat merogoh, mengeluarkan baju ganti, botol minum, bahkan peralatan mandi yang tadi ia selipkan. Namun tetap, bungkusan obat itu belum juga ia temukan.


Dengan wajah pucat, Ayla menoleh. “Bu… di tas Ibu ada nggak, ya? Soalnya tadi Ayla sempet nitipin mukena ke tas Ibu…”


Tanpa pikir panjang, Ibu langsung membuka tas besar yang ada di pangkuannya. Jari-jarinya gesit membongkar lipatan pakaian sambil berbisik doa pelan. Bapak ikut memperhatikan, wajahnya serius meski berusaha tenang.


Detik-detik terasa panjang. Hingga akhirnya


“Alhamdulillah…” suara Ibu lirih, tapi penuh lega. Tangannya mengangkat sebuah plastik kecil berisi obat TB paru milik Ayla.


Mata Ayla membesar, tubuhnya langsung terasa ringan. “Ya Allah… alhamdulillah ada, Bu!” serunya dengan wajah lega. Ia segera menerima obat itu dari Ibu.


Ibu menghela napas panjang. “Lain kali hati-hati, Ay. Jangan ceroboh begini.”


Ayla mengangguk cepat, matanya berkaca-kaca. “Iya, Bu… maaf. Ayla janji nggak akan ulangin lagi.”



Suasana dalam mobil kembali hening, hanya terdengar deru mesin dan suara kendaraan lain di luar. Ayla menatap plastik obat di tangannya, kali ini dengan rasa syukur mendalam.




Sementara itu, di desa…


Bu Pitri masih duduk di kursi bambu depan rumah, wajahnya cemberut sejak siang. Perkataan Bu Ela tentang Bu Sarti yang menjual perhiasan masih terngiang-ngiang.


Dengan nada pelan tapi penuh kesal, ia bergumam,

“Bu Sarti tuh emang kelewatan ya… bukannya pentingin dulu bayar hutang ke saya, malah dipake ongkos ke Jakarta. Saya juga butuh uang.”


Tak lama kemudian, Pak Rahmat muncul dari arah jalan, menenteng ember kecil berisi ikan hasil mancing. Wajahnya juga terlihat malas.

“Bu, nih ada ikan hasil mancing hari ini,” katanya cuek.


Bu Pitri cepat-cepat menyambar ember itu, lalu mengintip isinya.

“Cuman segini, Pak?” suaranya meninggi.


“Iya, tadi yang mancing banyakan, jadi ya dapet segini. Udah sana masak,” sahut Pak Rahmat ketus sambil meletakkan joran ke tembok.


Bu Pitri mendengus keras, tapi akhirnya membawa ember itu ke dapur tanpa banyak bicara. Suasana rumah jadi sama muramnya dengan wajah keduanya.



Di perjalanan menuju Jakarta mang Ujang sopir travel terlihat fokus menjalankan mobilnya. 

Seorang ibu penumpang yang duduk bersama anak laki-lakinya tiba-tiba menoleh ke Ayla. Wajahnya terlihat cemas.

“Maaf, Neng… bawa plastik nggak? Anak saya mau muntah. Maklum, mabok perjalanan.”


Ayla cepat-cepat merogoh ranselnya, lalu tersenyum kecil.

“Oh, ini ada Bu,” katanya sambil menyerahkan plastik hitam.


“Alhamdulillah, makasih ya, Neng,” jawab ibu itu lega, lalu memberikan plastik ke anaknya.


Tak lama, suara adzan Maghrib berkumandang dari masjid di pinggir jalan. Suaranya masuk samar-samar ke dalam mobil yang terus melaju.


Mang Ujang, melirik lewat kaca spion.

“Ibu-ibu, bapak-bapak, mau sholat Maghrib dulu nggak? Atau mau diqadha nanti aja?” tanyanya sopan.


Bapak menoleh, lalu berkata, “Kalau penumpang yang lain nggak keberatan, gimana kalau kita sholat Maghrib dulu? Biar tenang di jalan.”


Penumpang yang lain saling pandang, lalu mengangguk setuju.


“Baiklah,” kata Mang Ujang sambil memutar setir. Mobil pun diarahkan menuju masjid terdekat.


Beberapa menit kemudian, travel berhenti di halaman masjid pinggir jalan. Lampu-lampu mulai menyala, dan udara sore yang sejuk terasa lebih damai.


“Ayok Bu, Ayla. Kita sholat dulu,” ajak Bapak sambil berdiri.


“Iya, Pak,” jawab Ibu dan Ayla hampir bersamaan. Mereka pun turun dari mobil bersama penumpang lain, lalu berjalan menuju masjid untuk menunaikan sholat Maghrib berjamaah.




Di halaman masjid. Udara sore sudah beralih ke dingin malam, angin berhembus pelan membawa aroma tanah basah. Lampu-lampu di halaman masjid menyala temaram, menambah suasana khidmat.


Para bapak berjalan menuju tempat wudhu pria, sementara ibu-ibu dan Ayla menuju ke sisi lain. Suara gemericik air wudhu terdengar bersahut-sahutan. Ada yang membasuh wajah dengan mata terpejam lama, ada yang sambil berbisik doa pelan. Ayla pun menunduk, air sejuk membasuh wajah dan lengannya, seakan membawa tenang setelah kepanikan tadi di mobil.


Tak lama kemudian, mereka semua masuk ke dalam masjid. Saf mulai dirapatkan. Imam berdiri di depan, suara takbirnya lantang memecah kesunyian malam. Para jamaah mengikuti, tubuh mereka menunduk serempak, menciptakan suasana damai yang hanya bisa dirasakan di tengah perjalanan panjang.


Usai salam terakhir, mereka saling melipat sajadah, beberapa ada yang berdoa lebih lama, sementara lainnya bergegas keluar.


Di halaman, Mang Ujang sudah menunggu di dekat pintu mobil. Ia tersenyum ketika melihat semua penumpang kembali satu per satu.

“Semua udah ada, ya?” tanyanya memastikan.


“Udah, Mang,” sahut seorang bapak dari kursi belakang.


Mang Ujang mengangguk, lalu duduk kembali di kursi sopir. “Ya sudah kalau gitu. Kita jalan lagi, ya. Bismillah,” ucapnya sambil memutar kunci dan menyalakan mesin mobil.


Suara deru mesin kembali terdengar, kali ini menyatu dengan malam yang mulai pekat.




Perjalanan dilanjutkan. Dari balik jendela, Ayla melihat lampu-lampu jalan berkelip seperti bintang di bumi. Kendaraan-kendaraan lain melintas, sebagian melaju kencang, sebagian lagi berhenti di pinggir jalan. Udara malam terasa berbeda, lebih sibuk, lebih ramai.


“Udah masuk perkotaan, sebentar lagi kita naik tol,” ucap Mang Ujang, sambil sesekali menyalakan lampu sein untuk menyalip truk besar di depan.


Di dalam mobil, sebagian penumpang sudah tampak mengantuk. Ada yang menyandarkan kepala ke kaca jendela, ada yang merapatkan jaket untuk mengusir dingin dari AC. Sesekali terdengar suara anak kecil yang merengek pelan lalu kembali tenang dipeluk ibunya.


Ayla duduk tenang di kursinya, menggenggam erat plastik kecil berisi obat di pangkuannya. Matanya memandang keluar, melihat gedung-gedung mulai muncul di kejauhan, tanda mereka semakin dekat dengan Jakarta. Hatinya terasa berdebar, antara cemas dan harapan baru.


Mobil travel itu terus melaju, masuk ke jalan tol yang dipenuhi cahaya lampu jalan. Malam semakin larut, dan perjalanan menuju ibu kota pun benar-benar dimulai.



Setelah menempuh perjalanan panjang kurang lebih lima jam, akhirnya mobil travel itu memasuki kawasan Jakarta. Jam di dasbor menunjukkan pukul 21.15. Suasana kota masih ramai, lampu-lampu jalanan berkelip terang, kendaraan berjejer padat meski malam sudah larut.


Lihat selengkapnya