Cahaya yang Tertunda

Ririn Nuraeni
Chapter #30

Chapter 30 - Doa diantara Harap dan Cemas

Suasana kontrakan malam itu terasa hening. Lampu ruang tengah yang redup memberi bayangan lembut di dinding, hanya kipas angin kecil yang berputar pelan menemani. Dari kejauhan, suara kendaraan di jalan raya masih sesekali terdengar samar.


Diva sudah lebih dulu terlelap di kasur tipis di sudut ruangan. Nafasnya tenang, sesekali tubuh mungilnya bergerak kecil. Sementara itu, Ovi masih duduk di samping adiknya dengan mata terbuka lebar, jelas belum bisa tidur.


Bapak yang duduk bersandar di tembok ruang tamu menoleh, menatap cucu sulungnya itu dengan penuh kasih.

“Ovi… udah malem banget, Nak. Tidur ya, biar besok nggak ngantuk,” ucap Bapak lembut, suaranya lirih menahan lelah.


Ovi menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Belum ngantuk, Bah… Ovi masih kepikiran Ayah…” suaranya bergetar, lalu tangis kecil menyelip di sela-sela kata.


Bapak menarik napas panjang, lalu meraih punggung cucunya, mengusap dengan lembut. “Ayah pasti sembuh, Nak. Kita doain bareng-bareng, ya. Allah pasti dengar doa kita.”


Ovi menoleh, matanya basah, tapi ada sedikit cahaya harapan. “Iya, Bah…” jawabnya lirih.


Dengan tangan kecilnya, Ovi menengadahkan kedua telapak, lalu mulai berdoa pelan. Bibir mungil itu bergetar mengucap doa tulus untuk kesembuhan ayahnya. Setelah selesai, ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seperti meneguhkan hatinya.


Bapak tersenyum tipis, matanya ikut berkaca-kaca. “Aamiin… sekarang Ovi tidur ya, Nak”


Kali ini Ovi mengangguk patuh. Ia pun merebahkan badan di sebelah Diva, mendekap adiknya yang masih lelap. Perlahan-lahan, kelopak matanya menutup, napasnya mulai teratur.


Bapak menatap mereka lama, hatinya terasa hangat meski tubuhnya masih letih. Perlahan ia merebahkan badan di ruang tamu, hanya berjarak beberapa meter dari cucu-cucunya. Matanya menatap langit-langit kontrakan yang sederhana, pikirannya melayang pada Riyan yang sedang berjuang di meja operasi.


Dalam hatinya, Bapak berbisik doa. “Ya Allah, lindungi anak hamba malam ini… mudahkan operasinya, sembuhkan sakitnya…”


Udara malam makin pengap, suara kipas angin berderit pelan, tapi di dalam kontrakan itu, ada doa-doa yang terpanjat tulus dari seorang kakek dan cucu kecilnya untuk seorang ayah yang sedang berjuang untuk sembuh.




Jarum jam dinding di lorong rumah sakit menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Suasana sepi, hanya terdengar langkah kaki perawat yang lalu-lalang sesekali. Lampu neon putih membuat udara terasa dingin dan kaku.


Di kursi panjang dekat ruang operasi, Ibu, Teh Tia, Ka Taopik, dan Ayla masih setia menunggu. Wajah-wajah mereka terlihat lelah, tapi tidak ada yang beranjak pergi.


Ka Taopik bersandar dengan mata berat, sesekali hampir terpejam, namun cepat-cepat ia mengibaskan kepala, berusaha tetap terjaga. Ayla duduk di samping Ibu, menggenggam tangannya erat seolah memberikan kekuatan.


Ibu terus menerus berdoa dalam hati, bibirnya bergerak pelan, air matanya tak henti membasahi pipi. Sementara itu, Teh Tia mondar-mandir di lorong, gelisah tak bisa duduk diam. Sesekali ia berhenti di depan pintu operasi, lalu kembali lagi ke kursi.


Sudah tiga jam lamanya operasi berjalan. Detik-detik terasa begitu panjang, menekan dada mereka dengan rasa cemas yang tak tertahankan.


Tiba-tiba, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter dengan pakaian hijau operasi keluar, masker sudah diturunkan.


Spontan Teh Tia berlari kecil menghampiri. Suaranya bergetar penuh harap.

“Gimana, Dok… operasi suami saya? Lancar, kan?”


Dokter menatap mereka dengan senyum tipis, lalu mengangguk.

“Alhamdulillah, operasi berjalan lancar, Bu. Pasien sudah kami pindahkan ke ruang pemulihan. Tinggal proses observasi beberapa jam ke depan.”


“Alhamdulillah…” suara Ibu, Teh Tia, Ka Taopik, dan Ayla keluar hampir bersamaan. Mereka saling berpandangan, mata berkaca-kaca, lega yang sulit digambarkan.


Ibu menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis haru. Teh Tia terisak sambil berterima kasih pada dokter berkali-kali. Ayla memeluk Ibu erat, sementara Ka Taopik akhirnya menghela napas panjang, rasa kantuknya hilang oleh kabar baik itu.


Lorong rumah sakit yang dingin kini terasa lebih hangat. Doa-doa yang sejak tadi terucap akhirnya dijawab dengan kabar penuh harapan.



Jarum jam menunjuk pukul 04.00 pagi. Suasana masih sepi, hanya sesekali terdengar suara roda ranjang dorong yang dilintasi perawat. Lampu neon putih tetap menyala terang, kontras dengan kantuk yang menyelimuti.


Di bangku panjang dekat ruang operasi, Ayla, Ibu, Teh Tia, dan Ka Taopik akhirnya terlelap karena lelah. Posisi mereka seadanya, kepala bersandar ke dinding atau bahu satu sama lain.


Ibu yang paling dulu terbangun. Ia mengusap wajahnya pelan, lalu menoleh ke arah Ayla yang masih tidur di sampingnya. Dengan hati-hati, ia membangunkan putrinya.

“Ay… bangun sebentar, Nak.”


Ayla membuka mata dengan wajah bingung. “Hmm… kenapa, Bu?”


“Obat TB paru kamu, dibawa nggak?” tanya Ibu cemas.


Mata Ayla langsung membesar. “Ya Allah, Bu… Ayla lupa! Aduh, ini udah jam berapa, Bu?”


“Udah jam 4 pagi, Ay,” jawab Ibu lirih sambil menatap jam dinding.


Ibu sempat melirik ke arah Taopik dan Teh Tia yang masih tertidur pulas. Hatinya tak tega membangunkan mereka, karena pasti sama-sama kelelahan setelah semalaman menunggu operasi.


Akhirnya, Ibu memberanikan diri membangunkan Teh Tia pelan. “Tia… maaf, Ibu ganggu sebentar. Ibu mau anterin Ayla pulang dulu ke kontrakan. Soalnya Ayla harus minum obat, takut keburu telat.”


Mendengar percakapan itu, Ka Taopik ikut terbangun. Ia menegakkan tubuhnya, lalu bertanya pelan, “Kenapa, Bu?”


Lihat selengkapnya