11 Februari 2008
Di ruang himpunan mahasiswa tingkat jurusan yang berukuran 5x5 meter, aku merasakan seperti berada di rumah kedua. Aku lebih senang berada di sini daripada di ruang kuliah karena saat berkumpul dengan teman-teman himpunan, aku terlibat dalam diskusi-diskusi yang hangat serta perdebatan yang sehat. Topik pembicaraan sangat luas, tidak selalu berkaitan dengan mata kuliah saja, oleh sebab itu, aku dan teman-teman selalu mengikuti perkembangan berita, selain untuk memperluas wawasan, ya supaya tidak kehabisan bahan obrolan. Kusadari atau tidak, diskusi-diskusi yang kulewati selama ini membentuk pola pikirku menjadi semakin kritis dan logis, aku pun menjadi semakin fasih dalam mengartikulasikan pemikiran.
Sejak semester kemarin, teman-temanku yang sudah menginjak tahun keempat kuliah, mulai mengentikan aktivitasnya di himpunan mahasiswa karena ingin lulus tepat waktu, namun tidak denganku, aku tetap aktif di organisasi karena ingin membuktikan bahwa aku bisa lulus tepat waktu dan juga aktif di organisasi kampus. Aku sudah tidak bisa lagi mengikuti rapat karena statusku yang demisioner, entah itu rapat kerja atau rapat koordinasi antar divisi, namun aku masih sering terlibat dalam diskusi-diskusi informal. Aku sangat senang jika adik-adik tingkatku mengajakku bertukar pikiran seputar kaderisasi, program kerja, dan sebagainya. Sengaja kugarap skripsi di ruang himpunan agar aku bisa mengikuti perkembangan himpunan mahasiswa.
“Permisi, assalamu’alaikum, eh ada kang Rendy sama Yandri,” sapa Dodi, salah seorang adik tingkatku.
“Eh, sini, Dot, masuk, bantuin aku dong merapikan bagan struktur organisasi buat ditempel di dinding,” ujar Yandri.
“Siap, Dri,” jawab Dodi sambil menghampiri Yandri yang duduk berhadapan denganku, aku dan Yandri hanya berjarak satu meter.
Oh iya, Kang, saya mau kembaliin buku ini,” katanya sembari menyodorkan buku Catatan Seorang Demonstran.
“Dot, kang Rendy lagi ngga bisa diganggu tuh, lagi serius garap skripsi,” kata Yandri sambil menunjuk ke arah tumpukan jurnal yang kubaca.
“Ah, ngga apa-apa kok, santai aja.”
Tidak terasa sudah hampir sepuluh tahun berlalu sejak peristiwa Mei 1998. Sebentar lagi, statusku bukan lagi sebagai mahasiswa. Berita mengenai meninggalnya para mahasiswa Universitas Trisakti menimbulkan kengerian di benakku kala itu, dan hingga saat ini selalu terbayang-bayang. Meskipun demikian, aku tetap ingin menjadi aktivis mahasiswa karena aku sangat mengagumi ayahku sendiri yang ternyata mantan aktivis 77/78 di Bandung.
Semenjak aku membaca buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie, aku jadi terinspirasi untuk menjadi aktivis mahasiswa yang juga brilian, bukan hanya militan. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa para demonstran dari kalangan mahasiswa selalu mengandalkan otot saja, biar bagaimanapun, para mahasiswa yang meninggal dunia saat peristiwa Mei 1998 sangatlah patut untuk terus dikenang pengorbanannya.
Ibuku terus mendesak agar aku lulus kuliah tepat waktu, dan ayahku selalu menasihatiku agar piawai membagi waktu antara berkuliah dan berorganisasi.
***
12 Mei 1998
Ada perasaan lega setelah aku berhasil mengikuti serangkaian ujian praktik agama dari mulai tes bacaan dan gerakan salat, tes baca Al-Qur;an, serta hafalan surat-surat pendek. Walaupun guru agamaku belum mengumumkan nilai, tapi aku optimis mendapatkan nilai bagus karena menurutnya aku tidak perlu mengulang ujian tersebut. Setelah selesai ujian praktik agama, beliau langsung mengumandangkan azan di masjid sekolah, sementara aku langsung menuju gerbang sekolah dan mencari-cari mobil jemputan mang Didin di area parkir di luar sekolah.
Biasanya beliau selalu memarkir mobil Mitsubishi Colt T120 berwarna merah marun di bawah pohon nangka. Kuhampiri mobil itu dan kulihat adikku, Ryan sudah berada di mobil tersebut, mengambil posisi duduk di sebelah mang Didin, teman-teman yang lain duduk di jok belakang. Karena cuaca sangat terik kala itu, serta mobil tidak dipasang penyejuk udara, terpaksa kami semua membuka jendela mobil lebar-lebar.
Dari sekolah hingga sampai ke rumah kami, memakan waktu kurang lebih satu jam. Suasana di mobil tidak pernah sepi karena kami selalu bercanda, bernyanyi, dan mengobrol. Ryan, si bocah tengil itu selalu gesit mengambil kesempatan untuk bisa duduk berdekatan dengan mang Didin dan menanyakan banyak hal, apa pun itu. Perjalanan dari sekolah hingga menuju rumah kurang lebih satu jam.
“Makasih, mang Didin,” ucap kami berdua hampir berbarengan sambil membuka pintu mobil. Setelah turun dan menutup pintu mobil kembali, aku melambaikan tangan kepada teman-teman yang masih berada di mobil.
Segera kubuka pagar rumah yang gemboknya biasa dibuka oleh bi Tuti atau Ibu pada pukul satu siang kurang sepuluh menit. Kulihat di garasi, motor astrea grand milik Ibu yang berwarna hitam dengan strip berwarna hijau yang ada keranjang di bagian belakang tidak ada. Sementara itu, Ryan begitu bersemangat mengetuk pintu, dia biasa melakukan hal itu ketika perutnya ngadat minta diisi.
“Iya, bentar,” terdengar suara bi Tuti dari dalam rumah. Sambil tersenyum, bi Tuti menjelaskan bahwa ibu sedang pergi mengantarkan kue pesanan pelanggannya lalu setelah itu pergi ke toko perlengkapan kue.
“Bi, kenapa bukan Bibi saja yang mengantarkan pesanan?” tanya Ryan sambil merebahkan diri di sofa.