Cakrawala Senja

Mirani Novenka Pramitasari
Chapter #2

BAB 2 SUKA DUKA ORANG KULIT KUNING

14 Mei 1998


Ayah dan Ibu selalu mengingatkan aku dan adikku untuk mengikuti perkembangan berita, baik yang ada di koran maupun berita yang ditayangkan di televisi. Aku sendiri cukup kesulitan untuk mencerna informasi yang ada di halaman koran, hanya berita-berita seputar olahraga saja yang menarik minatku. Saat menyaksikan tayangan berita di televisi, aku menonton begitu saja tanpa menyimak secara seksama, berbeda pada saat aku menyimak penjelasan guru di kelas.

Hampir setiap hari setelah makan malam, kami sekeluarga selalu menyaksikan berita. Kemarin malam, kami mendapat kabar bahwa salah satu pusat perbelanjaan di wilayah Jakarta Timur dibakar massa. Malam ini, berita yang disiarkan mengenai kebakaran pertokoan di wilayah Jakarta Selatan. Bukan hanya itu, ada kasus pembunuhan terhadap orang-orang keturunan China, para perempuan dari kalangan mereka pun mengalami pelecehan seksual.

“Wah, Bu, ini pasti ada dalangnya, ngga mungkin kalau cuma kebetulan,” kata Ayah yang memakai kaus putih bergambar pantai serta sarung.

“Untung ya kejadian bukan di Bandung, tapi kasian juga ya orang-orang Jakarta,” sahut Ibu menimpali dengan raut muka seperti orang ketakutan.

“Kalo di Bandung, sih, pasti dalangnya itu menyerang daerah Pasar Baru, atau kawasan pertokoan di sekitar alun-alun. Yang jadi pertanyaan, kenapa mesti pengusaha yang jadi sasaran? Ya kita semua tau sekarang lagi masa sulit, tapi mbok ya jangan begitu, merugikan orang lain. Menutup jalan rezeki orang lain tidak akan membuat kita jadi kaya.”

“Iya mungkin, Yah, kejadian ini semacam kecemburuan sosial.”

Ayah menggelengkan kepalanya lalu Ibu menimpali “Bukan hanya itu, Yah. Sebagai perempuan, Ibu merasa kasihan terhadap perempuan-perempuan yang mengalami pelecehan seksual. Tidak sembarangan laki-laki Pribumi bisa mendekati perempuan keturunan China begitu saja.” 

Kudengar baik-baik omelan Ayah, memang banyak benarnya juga. Guru agama di sekolah menjelaskan bahwa orang yang dewasa atau akil balig adalah mereka yang sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Para pelaku pembakaran dan penjarahan tidak bisa dikatakan orang yang akil balig atau dengan kata lain orang dewasa yang tidak sehat secara mental.

“Bu, pelecehan itu apa artinya?” tanya Ryan polos.

“Kamu masih terlalu kecil, Dek, untuk mengerti ini semua. Nanti juga kamu paham apa artinya. Ibu hanya berpesan pada kalian, Ryan dan Rendy, kalian jangan suka mempermainkan teman-teman perempuan kalian ya. Secara fisik, memang mereka lebih lemah daripada kalian.”

“Bu, kalo temen perempuan aku ada yang nakal gimana?”

“Ya tetep aja kamu ngga boleh berbuat semena-mena. Alangkah baiknya, ditegur dulu secara halus.”

“Laki-laki yang sudah melakukan pelecehan itu pasti lari dari pertanggungjawaban, mereka mana mampu menafkahi perempuan keturunan China yang jauh lebih makmur dan sejahtera daripada orang Pribumi,” kata Ayah dengan nada kesal.

“Aa, besok ujian praktik apa?” tanya Ayah.

“Ujian praktik keterampilan, Yah.”

“Kayak gimana itu kegiatannya?”

“Aku mau buat prakarya rumah-rumahan dari kertas karton. Rumahnya diliat dari tampak depan, ada pagar, garasi, dan di halaman rumahnya ada binatang peliharaan.”

“Oh, maksudnya, kamar tidur, ruang dapur gitu tidak terlihat ya?” tanya Ayah lagi.

“Agak susah, Yah, kalo seperti itu,” malah Ibu yang menjawab.

“Sudah disiapkan, kan bahan-bahannya?”

“Sudah dong, Yah, tadi setelah makan siang, Aa sama bi Tuti pergi ke toko perlengkapan keterampilan.”

Tanpa menjawab, Ayah mengacungkan jempol tangan kanannya.


***

3 Mei 1998

Pada hari Minggu, biasanya Ayah mengajak kami jalan-jalan atau piknik ke taman kota. Pada hari Minggu ini kami memutuskan untuk di rumah saja karena om Toni akan datang ke rumah. Seperti biasa, setelah makan siang, Ayah langsung mengutak-atik mobil kesayangannya; sementara aku dan Ryan main nintendo; ibu biasanya menjahit jika sedang tidak ada pesanan.

“Bi, pisang dan sukunnya digoreng, ya. Buat Bapak, kamu simpan saja di meja teras depan. Untuk saya sama anak-anak, kamu simpan saja di meja makan,” perintah Ibu pada bi Tuti

“Baik, Bu.”

“Jangan lupa, buatkan juga kopi tubruk buat Bapak.”

Bi Tuti menjawab dengan anggukan lalu segera ke dapur.

Tidak terasa, aku dan Ryan begitu asyik bermain nintendo di ruang televisi, mungkin sudah hampir sejam lamanya, lalu aku mendengar suara klakson mobil om Toni yang sudah kukenali dengan baik bunyinya. Kami masih tetap melanjutkan bermain karena sedang seru, sementara bunyi mesin jahit yang sedang digunakan oleh Ibu tiba-tiba tidak terdengar, lalu Ibu bergegas menuju ke teras rumah. Beberapa menit kemudian, Ibu, Ayah, dan om Toni terdengar berbincang-bincang sangat akrab.

Aku paling senang jika om Toni datang ke rumah karena dia selalu membawakan banyak makanan ringan seperti parcel lebaran. Tentu saja dia bukan sengaja membelinya di toko, melainkan karena dia menjabat sebagai manajer produksi di perusahaan pangan. Beliau menjadi karyawan kesayangan bosnya yang masih ada keturunan Cina. Alangkah lucunya, jajanan yang biasa kubeli di warung ternyata dibuat di pabrik pamanku bekerja. Ibu dan Ayah selalu berpesan bahwa kita mesti dermawan kepada orang lain. Saat akan mengaji di masjid, aku membawa bungkusan makanan ringan untuk dibagikan kepada teman-teman sepengajianku. 

“Anak-anak, ini ada om Toni, bawain makanan ringan untuk kalian, ayo salim dulu,” kata Ayah dengan suara beratnya sambil menaruh parcel di ruang makan yang terletak tidak jauh dari ruang televisi.

“Tolong di-pause dulu mainnya, Dek.” suruhku pada Ryan.

Aku langsung bergegas menuju om Toni, disusul oleh Ryan, lalu kami cium tangannya yang selalu wangi.

“Sudah pada besar, ya? Rendy sama Ryan kelas berapa sekarang?”

Rasanya beberapa bulan lalu, aku bertemu dengan om Toni, dan beliau hari ini masih saja mengajukan pertanyaan yang sama.

“Rendy kelas enam sekarang, bentar lagi dia lulus. Kalo Ryan masih kelas 3 SD,” jawab Ibu.

“Oh, iya-iya, kok aku lupa ya, Rendy udah mau ke SMP.”

“Ayo-ayo duduk dulu, Ton,” ajak Ayah yang sudah dalam posisi duduk. 

Aku dan Ryan mengambil posisi duduk masing-masing, lalu Ibu ke dapur mengecek persediaan sukun dan pisang goreng di dapur yang ternyata stoknya masih cukup aman untuk kami nikmati bersama-sama sembari berbincang-bincang melepas kangen. Om Toni pun sama seperti Ayah yang senang sekali minum kopi tubruk. Aku dan Ryan dilarang untuk meminum kopi dalam jumlah banyak, kami hanya boleh mencicipi sedikit saja, hanya beberapa sendok kopi saja. Kalau sudah besar, tentu kami dibolehkan untuk minum kopi yang aromanya sangat menggoda itu sampai dengan dua gelas sehari.

“Lho, kamu datang sendiri saja? Istrimu tidak diajak?” Ibu bertanya dengan penuh perhatian sambil membawa nampan yang berisi sukun goreng dan pisang goreng, serta segelas kopi tubruk.

“Ada acara reuni bareng temen SMP nya.”

“Oh, salam ya untuk dia, semoga kalian cepet dikaruniai keturunan ya.”

“Amin,” kami berempat kompak menjawab.

“Oh, iya, Ton, gimana nih dengan kerjaan kamu?” tanya Ayah.

“Ya, masih sama seperti dulu, Mas.” ucap om Toni rendah hati.

“Bosmu yang orang China itu masih percaya sama kamu kan?” tanya Ayah sambil menyeringai.

“Mas Bambang jangan menakut-nakuti saya, saya selama ini di kantor tidak pernah berbuat macam-macam.”

“Bagus kalo gitu, susah sekali ada orang pribumi yang mendapatkan kepercayaan begitu besar dari mereka. Sekalinya kamu berbuat salah dan fatal, mereka tidak segan-segan memutus hubungan. Pertahankan, Ton.”

“Siap, Mas.”

“Oh iya, saya mau minta izin nih sama mas Bambang dan mbak Nita,” ucap om Toni membuka percakapan baru.

“Minta izin apa?”

Lihat selengkapnya