21 Mei 1998
Pada awalnya, sebelum memasuki minggu tenang, aku merasa senang karena seperti merasakan liburan sebelum ujian, tapi lama kelamaan ada perasaan bosan yang kurasakan. Orangtuaku sudah cukup peka melihat gelagat kejemuanku. Pagi hari hingga sebelum makan siang tiba, aku disuruh untuk belajar sungguh-sungguh, dari siang sampai sore aku diberikan kebebasan untuk bermain nintendo bersama Ryan, dan membantu bi Tuti membuat kue di dapur. Ayah pernah bercerita bahwa ketika masa kecil dulu, sering disuruh nenek untuk membuat kue nastar. Beliau tidak merasa gengsi sama sekali untuk mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan perempuan. Uwak dan pamanku yang laki-laki pun demikian, tidak gengsi dan sungkan untuk melakukan pekerjaan di dapur. Untuk menunjukkan sifat laki-laki, mereka sering memanjat pohon, main layangan hingga kulit terbakar.
Bi Tuti membuat abon, kering tempe, teri kacang di dapur; sementara aku membuat kue di meja makan sambil mendengarkan radio. Aku selalu kagum atas pengornanan bi Tuti pada keluarga kami, jarang sekali bi Tuti mengeluh.
Lagu Inikah Cinta karya M.E Voices sering sekali diputar radio maupun kutonton klipnya di televisi. Selain lagu itu, ada banyak sekali lagu-lagu orang dewasa yang terdengar enak di telinga, baik instrumen musiknya maupun suara sang vokalisnya. Aku tidak paham apa itu cinta, tapi kunikmati sekali musik yang dikemas begitu apik dengan lirik lagu yang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar namun tidak terasa kaku, pilihan kata-katanya sopan dan berkelas, ditambah dengan permainan alat musik yang membuat irama lagu semakin dinamis.
Orangtuaku beserta Bi Tuti selalu berpesan padaku untuk menikmati masa kecil sebaik-baiknya karena belum saatnya mengenal percintaan. Bagiku, cinta adalah suatu konsep yang aku tidak mengerti, mungkin terlalu abstrak. Aku sangat menikmati lagunya, meskipun liriknya tidak sepenuhnya kupahami. Jika kusaksikan melalui video klip, selalu saja menampilkan seorang perempuan dan laki-laki yang kutaksir umurnya sekitar 20-30 tahun di mana mereka terlihat begitu dekatnya. Terus terang, di sekolah aku lebih senang bergaul dengan temanku yang laki-laki. Pernah aku main dengan seorang perempuan, lalu dia menangis, dan aku akhirnya dipanggil oleh seorang guru BK dan menasihatiku bahwa anak laki-laki yang baik tidak boleh menyakiti perempuan. Tentu saja tidak semua teman perempuanku gemar menangis, ada juga yang berpembawaan ceria.
Jika konsep cinta terlalu abstrak di mataku, tapi aku sudah bisa mengenal mana laki-laki yang ganteng dan mana perempuan yang cantik. Patokanku adalah mereka yang kerap tampil di layar kaca. Jika suatu saat di tempat umum, aku melihat ada om-om atau tante-tante yang tampangnya tidak jauh berbeda dengan bintang di layar kaca, maka kusebut dia ganteng atau cantik. Hanya karena berpenampilan yang cukup meriah, tentu saja mereka semakin terlihat good looking karena cukup banyak juga om-om ganteng berpenampilan sederhana ataupun tante-tante cantik yang tidak suka berdandan.
***
Setelah mandi sore pada pukul lima, kudengar suara klakson mobil Ayah, bi Tuti segera membuka pagar rumah. Ryan sudah siap duduk di ruang televisi hendak menonton tayangan komik kegemarannya, sementara Ibu sedang mencatat keuangan.
“Bu, tau ngga apa yang bikin Ayah seneng hari ini?” tanya Ayah sambil mencuil talam ubi sebelum dimasukkan ke mulut.
“Apa memangnya, ngomong aja, Yah.”
Sambil menyesap kopi hitamnya, dengan tenang Ayah menjawab, “Tadi waktu di kantor, Ayah dan rekan-rekan yang lain menyaksikan sendiri di dalam tayangan berita sela bahwa orang nomor satu di negeri ini akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya. Sekarang dia sudah tidak punya jabatan lagi. Ini yang aku tunggu-tunggu, Bu.”
“Ooh itu, toh, dikirain Ayah naik jabatan atau apa gitu.”
“Yang paling penting adalah adanya pergantian kepemimpinan, tidak boleh ada satu orang berkuasa begitu lamanya hingga tiga puluh tahun lebih. Mudah-mudahan aja pemimpin yang sekarang setidaknya bisa membawa perubahan yang lebih baik, kita bisa segera keluar dari krisis ekonomi.”
“Semoga begitu, Yah, Ibu sama bi Tuti pusing nih ngatur uang belanja.”
***
12 Juli 1998
Aroma masakan dari dapur tercium dari kamarku, aku segera keluar kamar dan menuju ke meja makan. Di sana sudah ada Ryan yang terlihat sudah sangat lapar, sementara Ayah yang selalu berkaus dan bersarung setelah salat magrib tampak begitu sabar menanti makanan tersaji di atas meja. Tak berapa lama setelah itu, bistik lidah sapi, tempe goreng tepung, sambal terasi, dan sayur asam tersaji di meja makan.
“Yah, nanti kalau sempat, kita tengok ya anaknya ibu Aisyah dan pak Rahmat yang namanya Zidan, ” kata Ibu membuka obrolan saat makan malam.
“Oh, Zidan itu anaknya yang keempat ya? Soalnya beliau berdua anaknya banyak, ada lima orang. Ayah ngga hafal.”
“Iya, betul, Yah,” jawabku kepada mereka.
“”Kelas berapa dia sekarang?”
“Masih kelas 1 SD, Yah” jawab Ibu.
“Sakit apa dia, Bu? ”
“Ibu denger kabar dari ibu-ibu pengajian yang lain, sih, katanya kena demam berdarah. Untungnya, cuma dirawat aja di rumah, ngga sampe masuk rumah sakit.”
“Ya, syukurlah, tapi, Bu, besok kan Ayah pagi-pagi mesti nganterin Ryan ke sekolah. Jadi besok Ibu dan Ryan aja yang datang menengok.”