Tahun 2004
Setelah lulus SMA, aku sudah mantap untuk kuliah di jurusan yang berkaitan dengan ilmu humaniora sebagai prioritas pertama atau di jurusan manajemen sebagai prioritas kedua, dan pada akhirnya aku kuliah di jurusan manajemen di salah satu universitas di Bandung. Di kampus, aku mendapatkan suasana baru dan teman-teman baru, dan di sana pula, aku berkenalan dengan seorang perempuan yang bernama Kania Putri, atau yang biasa dipanggil Puput. Aku dan dia seangkatan dan sejurusan, meskipun tidak satu kelas, kami sering berjumpa di acara-acara yang diselenggarakan oleh himpunan mahasiswa tingkat jurusan.
Kalau diminta memilih antara pacaran dan berorganisasi, tentu aku lebih memilih yang kedua. Anggap saja aku kuliah dalam waktu empat tahun, aku hanya punya kesempatan berkontribusi di organisasi ya selama empat tahun. Aku berusaha sekuat tenaga untuk lulus tepat waktu untuk memenuhi ekspektasi ibuku, dan akan kubagi waktuku dengan baik antara kegiatan akademik dan kegiatan organisasi karena aku sangat terinspirasi oleh Ayah yang pernah menjadi seorang aktivis mahasiswa 77/78.
Aku dan Puput terus didesak oleh teman-teman kami untuk segera melakukan pendekatan, siapa tahu ke depannya kami bisa berpacaran. Mereka bilang kami cocok, aku sering disebut oppa-oppa Korea versi sawo matang, dan mereka merasa sifat dan penampilan Puput cukup sepadan denganku. Pernah kuberanikan diri mengajak Puput mengobrol berdua di taman kampus.
“Put, aku mau tau dulu nih, kamu tuh ingin hubungan pacaran yang kayak gimana, sih?”
“Kamu terlalu filosofis, apa-apa mesti didefinisikan.”
Aku menyeringai mendengar komentarnya. “Jangan sampai kita pacaran karena orang-orang pacaran, padahal kita sendiri ngga tau hubungannya mau kayak gimana. Ya kita kan masih muda, kupikir kita ngga usah terlalu serius lah.”